Liputan6.com, Xinjiang - Mayoritas warga Muslim Uyghur di Republik Rakyat China (RRC) dilaporkan dilarang untuk sholat Idul Fitri pada lebaran 2023.
Warga Uyghur yang ingin sholat Id di rumah juga tidak diperbolehkan, sementara lansia boleh sholat di masjid namun diawasi oleh polisi.
Advertisement
"Orang berusia 60 tahun ke atas diizinkan untuk sholat di masjid lokal di bawah pengawasan ketat polisi selama Idul Fitri, yang jatuh pada 20-21 April tahun ini," kata sumber warga Uyghur yang dirahasiakan identitasnya.
Sejak 2017, China diketahui telah membatasi atau melarang adat etnis dan ritual keagamaan di antara sebagian besar Muslim Uyghur dalam upaya untuk membasmi "ekstremisme agama".
Dilaporkan Radio Free Asia, Jumat (28/4/2023), larangan sholat Idul Fitri ini berlaku di banyak area di Xinjiang.
Pada Idul Fitri 2023, pihak berwenang di Xinjiang dilaporkan patroli di jalanan dan memeriksa rumah-rumah untuk mencegah masyarakat sholat diam-diam di rumah.
Ada satu masjid yang buka di Prefektur Akesu. Polisi memantau sholat di masjid tersebut.
"Petugas-petugas polisi kami masuk ke masjid untuk memantau orang-orang," ujar seorang pegawai administratif di Akesu. Ia mengaku tidak tahu apakah jemaah butuh izin untuk sholat.
Di Kota Bulung juga ada satu masjid yang buka. Namun, hanya warga 60 tahun ke atas yang boleh sholat. Pemerintah tidak membolehkan warga di bawah 60 tahun untuk sholat.
Alhasil, jumlah jemaah lansia hanya ada selusin di Bulung. Polisi turut mencatat nama-nama yang hadir.
"Masjidnya buka kemarin, dan kami pergi ke sana untuk mengawasi orang-orang," ujar seorang polisi.
Seorang warga lokal yang namanya tak ingin disebutkan berkata bahwa pihak berwenang telah menghancurkan hampir semua masjid di Nilka dan Kunes county .
Di Tokkuztara county, warga juga tak diizinkan sholat. Pun demikian bagi lansia.
Seorang wanita di Maralbexi county berkata tak ada perayaan atau sholat Idul Fitri di daerahnya. Suami dari wanita itu adalah seorang polisi yang bekerja sehingga tak ada perayaan khusus.
"Masjidnya tidak buka," ujarnya kepada RFA. "Suami saya adalah seorang polisi, dan ia bekerja saat Idul Fitri. Tidak ada sholat Idul Fitri di sini. Keadaannya sepi."
Larangan Puasa
Sebelumnya dilaporkan, Kongres Uyghur Sedunia mengklaim bahwa muslim di China menghadapi larangan berpuasa.
Seorang pejabat yang menjawab telepon di biro pendidikan daerah Xinyuan, Xinjiang, mengungkapkan bahwa orang-orang di bidang pendidikan dan setiap orang dewasa yang bekerja untuk pemerintah dilarang berpuasa selama Ramadhan.
"Siswa tidak diperbolehkan berpuasa dan anggota keluarga yang menjadi pegawai negeri juga tidak diperbolehkan," kata pejabat tersebut seperti dikutip dari rfa.org, Sabtu (24/3/2023).
Seorang muslim Kazakh bernama Kamina mengatakan, siapa pun yang ditemukan berpuasa akan dikenakan pembalasan.
"Puasa benar-benar tidak diperbolehkan," katanya. "Beberapa orang dengan sukarela meninggalkan puasa karena takut, sementara yang lain berpuasa secara diam-diam."
"Beberapa tempat mengizinkan puasa tetapi kemudian mereka memantau orang-orang itu, menyebut mereka sebagai pemuja agama, dan mereka ditahan."
Juru bicara Kongres Uyghur Sedunia Dilshat Rishit mengungkap hal serupa.
"Selama Ramadhan, pihak berwenang meminta 1.811 desa (di Xinjiang) untuk menerapkan sistem pemantauan sepanjang waktu, termasuk inspeksi langsung ke rumah-rumah keluarga Uyghur," tutur Rishit.
Advertisement
Tidak Menghormati Budaya
Ketua komite agama di Kongres Uyghur Sedunia Turghunjan Alawudin menuturkan, "China tidak menghormati budaya atau menoleransi kepercayaan agama orang lain, tetapi memperlakukan budayanya sendiri sebagai yang tertinggi. Alih-alih memberi selamat kepada umat Islam atas kedatangan Ramadhan, China terus melarang umat Islam untuk berpuasa dan sholat."
"China telah menunjukkan permusuhan ekstrem terhadap keyakinan agama dan tradisi baik Uyghur dengan lebih membatasi semua aspek hari libur nasional dan keagamaan Uyghur. China melanjutkan genosida yang sedang berlangsung terhadap muslim Uyghur dalam upaya untuk menghapusnya," tutur Turghunjan.
Selain Uyghur, kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM) memperingatkan dalam laporan terbarunya bahwa 11,4 juta muslim Hui juga berada dalam bahaya di bawah aturan beragama yang diterapkan Partai Komunis China. Laporan dari koalisi kelompok HAM, termasuk jaringan Pembela HAM China, menyebutkan bahwa mereka telah diidentifikasi oleh Beijing sebagai ancaman yang harus diselesaikan melalui asimilasi paksa.
Mencari Informasi Lewat Anak-Anak
Menurut laporan yang sama, itu sangat kontras dengan kebebasan yang mereka nikmati sebelum Xi Jinping meluncurkan serangan baru terhadap keyakinan, memaksa umat Kristen, Islam, dan Buddha untuk tunduk pada kontrol partai dan penyensoran kehidupan beragama di bawah program sinisasi.
"Anggota komunitas Hui dapat berpartisipasi secara terbuka dalam komunitas masjid, belajar bahasa Arab, dan ibadah secara pribadi, meskipun di bawah batasan yang difasilitasi oleh penghubung partai," sebut laporan itu. "Pengusaha Hui didorong untuk mengembangkan hubungan bisnis dan pariwisata dengan dunia muslim yang lebih luas sebagai bagian dari Belt and Road Initiative."
Tetapi urusan agama di bawah Xi Jinping, sebut laporan itu, dipengaruhi oleh retorika Islamofobia yang telah merasuki wacana kontraterorisme global, menjadikan mereka target kampanye kontraterorisme di Xinjiang, dengan lebih dari 100.000 orang Hui dikirim ke kamp pendidikan ulang bersama orang Uyghur.
Pendiri kelompok HAM Atajurt yang berbasis di Kazakhstan, Serikjan Bilash, menyebutkan bahwa sekolah-sekolah di Prefektur Otonomi Ili Kazakh memanfaatkan anak-anak untuk mendapatkan informasi tentang ketaatan beragama orang tua mereka.
"(Mereka diberikan) formulir yang menanyakan pertanyaan terperinci tentang praktik normal dalam keluarga Muslim," kata dia. "Misalnya, apakah orang tua menggunakan (ucapan) assalamualaikum ketika menyapa kerabatnya. Juga, apakah orang tua mereka makan atau minum air di tengah hari dan apakah mereka sarapan setelah matahari terbit."
Advertisement