47 Perusahaan Antre di Pipeline IPO BEI, Dominan Aset di Bawah Rp 250 Miliar

Adapun sampai dengan 28 April 2023, terdapat 34 perusahaan yang mencatatkan saham di Bursa. Dana yang berhasil dihimpun dari IPO 34 emiten itu sebesar Rp 32 triliun.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 29 Apr 2023, 08:06 WIB
Ilustrasi IPO 3 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Liputan6.com, Jakarta Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat sejumlah perusahaan tengah antre di pipeline pencatatan perdana saham (initial public offering/IPO).

Adapun sampai dengan 28 April 2023, terdapat 34 perusahaan yang mencatatkan saham di Bursa. Dana yang berhasil dihimpun dari IPO 34 emiten itu sebesar Rp 32 triliun.

Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna menyebutkan, saat ini ada 47 perusahaan yang siap debut di Bursa.

Dari sisi asetnya, perusahaan dengan skala menengah masih mendominasi. Sedangkan dari sisi sektornya, paling banyak berasal dari sektor consumer cyclycals.

“Hingga saat ini, terdapat 47 perusahaan dalam pipeline pencatatan saham BEI," kata Nyoman kepada wartawan, dikutip Sabtu (29/4/2023).

Merujuk POJK Nomor 53/POJK.04/2017, terdapat 16 perusahaan dengan aset skala besar di atas Rp 250 miliar. Kemudian 28 perusahaan dengan aset skala menengah antara Rp 50 miliar sampai Rp 250 miliar, sisanya 3 perusahaan dengan aset skala kecil di bawah Rp 50 miliar.

Rincian sektornya adalah sebagai berikut:

• 5 Perusahaan dari sektor basic materials

• 9 Perusahaan dari sektor consumer cyclicals

• 6 Perusahaan dari sektor consumer non-cyclicals

• 2 Perusahaan dari sektor energy

• 2 Perusahaan dari sektor financials

• 1 Perusahaan dari sektor healthcare

• 4 Perusahaan dari sektor industrials

• 3 Perusahaan dari sektor infrastructures

• 5 Perusahaan dari sektor properties & real estate

• 5 Perusahaan dari sektor technology

• 5 Perusahaan dari sektor transportation dan logistik

 


EY Sebut IPO Indonesia Unggul di Kawasan Asia Tenggara, Ini Alasannya

Ilustrasi IPO 2 (Liputan6.com/M.Iqbal)

Kantor akuntan publik (KAP), Ernst and Young atau dikenal sebagai EY menilai Indonesia menjadi negara yang paling aktif pada kuartal I 2023 dengan 30 penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) yang menghasilkan pendapatan senilai USD 828 juta atau setara Rp 12,28 triliun (asumsi kurs Rp 14.831 per dolar AS).

Selain itu, Indonesia juga konsisten mengungguli pasar IPO di tengah prospek ekonomi makro kawasan Asia Tenggara atau ASEAN yang optimistis.

EY Indonesia Strategy and Transactions Partne Sahala Situmorang mengatakan, selama empat tahun terakhir, Indonesia telah melihat total nilai emisi ekuitas meningkat dari Rp 15 triliun pada 2019 menjadi Rp 33 triliun pada 2022. 

"Faktanya, pada 2022, pasar modal nasional mencatat jumlah deals terbesar dalam sejarah dengan 59 IPO, penawaran publik perusahaan teknologi GoTo menjadi yang paling terkenal dengan nilai Rp 14 triliun rupiah dalam penawaran ekuitasnya," kata Sahala dalam keterangan resminya, dikutip Rabu (26/4/2023).

Dia bilang, hingga kuartal I 2023, pasar IPO Indonesia telah menyaksikan 30 IPO dengan nilai penerbitan berkisar dari USD 1,91 juta dari Mitra Tirta Buwana dan USD 596 juta dari Pertamina Geothermal.

Untuk prospek kuartal II 2023, EY melihat terlepas dari latar belakang ekonomi dan geopolitik yang tidak kondusif, terdapat secercah harapan, sejalan dengan puncak inflasi, pelemahan harga energi, dan pemulihan ekonomi Tiongkok Daratan. Akan tetapi, pekerjaan rumah untuk IPO terus bertambah karena perusahaan masih menunggu stabil dan pulihnya pasar saham sebelum memutuskan untuk melantai.

 


Strategi Menuju Profitabilitas dan Kas

Ilustrasi IPO 1 (Liputan6.com/M.Iqbal)

 

Dalam kondisi inflasi yang sangat tidak terduga dan terus-menerus, investor yang sebelumnya berorientasi pada pertumbuhan dan potensi pendanaan, saat ini lebih fokus pada strategi menuju profitabilitas dan arus kas. 

"Kolaborasi antar pemerintah, termasuk kerja sama dan program stock-connect, bersamaan dengan selera investor yang beragam juga dapat menyebabkan gelombang pencatatan ganda dan deals lintas negara tahun ini.Bisnis perlu menavigasi pengeluaran high-cost dan menurunkan likuiditas sedikit lebih lama," kata dia.

Begitu ada bukti pasar yang lebih stabil dengan kepastian yang lebih tinggi, kepercayaan investor akan kembali dan perusahaan terkemuka yang telah menunda rencana IPO dapat melanjutkan kembali rencananya, walaupun dengan valuasi yang lebih rendah.

 

 

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya