Saat Romo Mangun Protes 'Pendidikan Gaya Bank'

Anak didik bukanlah wadah untuk menampung segala rumusan dan dalil pengetahuan belaka.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 02 Mei 2023, 10:37 WIB
Ilustrasi Hari Pendidikan Nasional. (Photo by Sasin Tipchai on Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Sekolah dan institusi pendidikan lainnya, sejatinya bukan cuma mengajari, menggurui, dan menjejali siswa dengan materi-materi pelajaran dogmatis belaka, yang membuat siswa kurang tereksplorasi bakat dan minatnya. Pendidikan harus menjadi ruang pembebasan pemikiran, mengingat setiap anak punya daya ingin tahu yang tinggi.

Dasar pemikiran itu yang membuat Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau YB Mangunwijaya atau yang akrab disapa Romo Mangun setuju dengan pandangan Paulo Freire, seorang tokoh perjuangan pendidikan di Brazil. Freire mengkritisi pola 'pendidikan gaya bank' yang kerap diterapkan institusi pendidikan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Pada pola 'pendidikan gaya bank', anak didik tidak dilihat sebagai individu yang dinamis dan punya kreasi, tapi dilihat sebagai benda seperti wadah untuk menampung segala rumusan dan dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukkan, semakin guru merasa telah bekerja secara baik. Jadi, siswa hanya dididik untuk menghafal dari A sampai Z ucapan guru di kelas dan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. 

Pendidikan gaya bank, hanya menjadikan siswa sebagai pengepul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, yang pada akhirnya dirinya sendiri lah yang 'disimpan' karena miskin daya cipta. Oleh karena itu, dalam pandangan Freire pendidikan gaya bank hanya menguntungkan kaum pendindas karena bisa melestarikan pendindasan itu. 

Dalam pandangan Romo Mangun, tugas dasar pendidikan bukan menggiring peserta didik ke satu arah dan satu komando yang bermental seragam. Tapi sebaliknya, tugas pendidikan adalah menolong peserta didik mengenal dan mengembangkan beragam potensi yang ada pada dirinya, sehingga menjadi manusia yang mandiri dan utuh.

Seperti dikutip dari buku Impian dari Yogyakarta: Kumpulan Esai Masalah Pendidikan (2003), Romo Mangun memaparkan enam impiannya untuk pendidikan di Indonesia yang menjadi konsep pendidikan ideal menurut seorang YB Mangunwijaya. Keenam konsep tersebut antara lain: pertama, jika sila 'Kemanusiaan yang adil dan beradab' dari Pancasila diterapkan pada anak, maka perlu UU yang melindungi anak. Kedua, MPR dan DPR RI beramanat tentang pelaksanaan Mukadimah UUD 1945 dengan cara yang lebih cerdas dari sekarang.

Ketiga, adanya UUPokok Pendidikan yang sejati, yang komprehensif, yang menyentuh pengajaran dan pendidikan seutuhnya, bukan menjadi etatisme absolut yang mau mengatur segala bentuk pendidikan.

Keempat, wajib belajar 9 tahun yang berarti anak di bawah usia 15-16 tahun harus sekolah dan dibiayai oleh pemerintah alias gratis. Kelima, sekolah murah yang dibiayai oleh seluruh rakyat haruslah dinikmati dan diperuntukkan bagi anakyang tidak mampu, yang membutuhkan pendidikan murah, bukan malah dinikmati oleh anak-anak kaya. Dan Keenam, adanya penghargaan dan perlindungan anak sehingga anak terpupuk dan berkembang secara alami dan kultural.

 


Strategi Pendidikan Romo Mangun

Dalam tulisannya itu, strategi pendidikan di Indonesia menurut Romo Mangun harus mengikuti jiwa-jiwa besar pejuang kemerdekaan yang tulus membela rakyat. Dengan demikian, sistem sekolah formal yang digunakan dapat merdeka dari belenggu feodalisme dan gengsi kosong, yang membuat anak-anak kurang mampu tidak bisa mengenyam pendidikan yang bagus. Dia lalu mengkritisi pembagian pendidikan formal, nonformal, dan informal menurut UNESCO.

Bagi Romo Mangun pembagian itu bermaksud baik, namun, dalam praktiknya kerap ditafsir keliru, seolah-olah pendidikan formal itu normatif, standar, yang sempurna yang harus dicapai oleh setiap warga masyarakat yang wajar, yang beradab, yang normal. Sehingga pendidikan nonformal dianggap pendidikan kelas dua, yang dianggap hanya miliki si bodoh dan miskin yang seharusnya mengikuti pendidikan formal tetapi tidak mampu. Padahal, bagi Romo Mangun, jalur nonformal dan informal itu jalur yang sama-sama terhormat dan sederajat, walaupun tidak setingkat jalur formal, dan fungsinya, metodiknya, dan sasarannya. Manusia modern yang mengakui prinsip belajar seumur hidup memerlukan jalur formal maupun nonformal/informal untuk terus mendapat pendidikan. 

Romo Mangun mengingatkan, pendidikan ibarat pedang bermata dua, di satu sisi dapat membela kaum lemah, tapi di sisi lain bisa menjadi penikam kaum yang lemah pula. Untuk itu, penting baginya meletakkan dasar atau posisi sistem pendidikan di Republik Indonesia. Romo Mangun sendiri punya strategi pendidikan yang disebutnya Pendidikan dan Kebudayaan Rakyat Semesta (P dan K Rata). Dengan dana dan sarana yang terbatas, tidak mungkin menghadirkan pendidikan yang layak. Maka Romo Mangun berpandangan basis operasional pendidikan harus diperluas melalui segala saluran yang ada di masyarakat, sehingga menjadi padu dan saling melengkapi.tisasi sehinggaberpadu menjadi sarana organis yang utuh dan saling melengkapi.

Strategi Romo Mangun lainnya adalah Masyarakat Belajar (MB), yaitu semua struktur masyarakat, termasuk sekolah formal dari jenjang PAUD sampai universitas, saling tukar informasi menjalani proses belajar. Penekanannya pada proses belajar bukan hasil. Romo Mangun juga punya strategi Sistem Belajar Seumur Hidup (BUH). Tidak hanya arah usia pagi saja jenjang pendidikan harus diperluas,melainkan sampai akhir usia senja, seumur hidup. Dalam sistem Belajar Seumur Hidup ada pelipatgandaan kreativitas, institusi sekolah tidak menjadi menara gading yang sulit dijangkau si lemah. Dan yang terpenting, sekolah formal akan dikembalikan ke marwahnya sebagai tempat menimba ilmu yang sesungguhnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya