Dubes Sudan Berharap Ada Bantuan Kemanusiaan dari Pemerintah Indonesia

Duta Besar Sudan untuk Indonesia Yassir Mohamed Ali Mohamed menyebut negaranya membutuhkan bantuan internasional di tengah konflik yang terjadi, terutama dari pemerintah RI.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 03 Mei 2023, 14:44 WIB
Sebagai informasi, konflik militer di Sudan antara Sudan Armed Forces dan Rapid Support Forces terjadi pada tanggal 15 April 2023. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar Sudan untuk Indonesia Yassir Mohamed Ali Mohamed menyebut negaranya membutuhkan bantuan internasional di tengah konflik yang terjadi, terutama dari pemerintah RI.

"Ya, kami membutuhkan bantuan internasional, terutama bagi korban yang mengalami luka-luka akibat konflik," kata Dubes Yassir Mohamed Ali Mohamed dalam press conference di kediamannya yang terletak di Kuningan, Jakarta, Rabu (3/5/2023).

"Banyak rumah sakit di Sudan kini dalam kondisi hancur diserang oleh kelompok biadab dari pasukan pendukung fanatik," katanya mengacu pada kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF).

Dubes Yassir Mohamed Ali Mohamed juga berharap bisa bertemu dengan Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin terkait upaya bantuan bagi korban di Sudan.

"Kami berharap dapat segera bertemu dengan Menteri Kesehatan (Budi Gunadi Sadikin) dan berusaha mencari dukungan dari saudara-saudara kami," katanya.

Dubes Yassir Mohamed Ali Mohamed menyebut negaranya telah menerima beberapa dukungan dan batuan dari beberapa negara. Meski begitu, pihaknya masih berharap ada bantuan lain.

"Kami juga sudah menerima beberapa dukungan dari beberapa negara, saya pikir di antara mereka sendiri banyak dari Oman dan mungkin Mesir," ujarnya.

Terkait upaya penyelesaian konflik, Dubes Yassir menyebut RSF tidak mau duduk bersama dengan pemerintah.

"Mereka hanya memiliki dua pilihan antara terus mempersenjatai diri dan menyerah atau mereka harus menghadapi konsekuensinya."

"Saya menyebutnya sebagai kelompok pemberontak yang melawan seluruh negeri dan mereka ingin merebut kekuasaan dengan paksa karena mereka berusaha membunuh presiden Sudan," kata Dubes Yassir.


Perang Saudara Sudan, Kelompok Paramiliter RSF: Tidak Akan Ada Dialog Sampai Serangan Dihentikan

Suasana perang antara kelompok militer dan paramiliter di Sudan. (Dok: AP News)

Di satu sisi, pemimpin kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) Sudan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo atau yang lebih dikenal Hemedti menegaskan bahwa dia tidak akan bernegosiasi jika pihak lawan terus melancarkan serangan. Menurutnya, pasukannya telah dibom tanpa henti sejak gencatan tiga hari diperpanjang.

"Kami tidak ingin menghancurkan Sudan," ungkapnya seperti dilansir BBC, Sabtu (29/4/2023), seraya menyalahkan pemimpin Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) Jenderal Abdel Fattah al-Burhan atas perang saudara Sudan.

Jenderal Burhan sendiri dikabarkan telah menyetujui dialog langsung di Sudan Selatan.

Perpanjangan gencatan senjata pada Kamis (27/4), dipicu upaya diplomatik intensif oleh sejumlah pihak termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan PBB.

Kepada BBC, Hemedti mengatakan bahwa dia terbuka untuk menjalin pembicaraan, dengan syarat gencatan senjata harus dipatuhi.

"Hentikan permusuhan. Setelah itu, kita dapat bernegosiasi," kata Hemedti.


Pemicu Perang Saudara Sudan

Warga hanya bisa pasrah dengan kondisi ini, sebagian dari mereka memilih mengungsi. (AP Photo/Marwan Ali)

Hemedti mengaku bahwa dia tidak memiliki masalah pribadi dengan Jenderal Burhan, namun menganggapnya sebagai pengkhianat karena mengangkat orang-orang yang setia kepada mantan Presiden Omar al-Bashir.

Omar al-Bashir sendiri digulingkan bersama-sama oleh SAF dan RSF pada tahun 2019 setelah protes massal. Rezim Bashir, yang berkuasa selama tiga dekade, dikenal dengan ideologi Islam dan penerapan ketat syariat (hukum Islam).

"Sayangnya, Burhan dipimpin oleh para pemimpin front Islam radikal," ungkap Hemedti.

Pada tahun 2021, Hemedti dan Jenderal Burhan membatalkan perjanjian untuk berbagi kekuasaan dengan warga sipil. Mereka memegang kendali penuh.

Keduanya berselisih tahun ini menyusul usulan pengembalian pemerintahan sipil, khususnya tentang jangka waktu untuk mengintegrasikan 100.000 pasukan RSF Hemedti ke dalam SAF.

"Saya menantikan pemerintahan sipil... pemerintahan sipil yang sepenuhnya. Itu adalah prinsip saya," kata Hemedti kepada BBC.

Ini bukan pertama kalinya pemimpin RSF berbicara tentang komitmennya terhadap demokrasi, meskipun analis menunjukkan bahwa pasukan RSF telah secara brutal menghentikan protes sipil di masa lalu.

Hemedti menuturkan bahwa pejuang RSF bukanlah musuh SAF. Dia menggarisbawahi perjuangan kedua belah pihak untuk melindungi negara itu pasca era Bashir.


Ketakutan Terus Tumbuh

Sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Arab Saudi, Jepang, hingga Korea Selatan telah mulai mengevakuasi warganya dari Khartoum. (AP Photo/Marwan Ali)

Dilaporkan jutaan orang masih terjebak di ibu kota Khartoum, di mana terjadi kekurangan makanan, air, dan bahan bakar.

AFP melaporkan bahwa di beberapa bagian kota, parit-parit telah digali di tengah pertempuran.

PBB mengatakan pasukan RSF memaksa orang-orang keluar dari rumah mereka dan penjarahan serta pemerasan sedang terjadi. Namun, menurut Hemedti, lawannya telah mengenakan seragam RSF untuk mendiskreditkan para pasukannya.

Hemedti dengan tegas membantah terlibat dalam penjarahan dan pengambilalihan rumah sakit. Dia mengatakan pasukannya berusaha membantu penduduk kota yang terhuyung-huyung akibat bentrokan sengit yang dimulai 14 hari lalu.

"Tim saya sedang mengerjakan pasokan air dan listrik untuk wilayah yang kami kuasai. Sayangnya semua teknisi dan insinyur menghilang. Dan ini masalah utama kami," katanya.

Menurut angka kementerian kesehatan, sedikitnya 512 orang tewas dan 4.193 terluka akibat perang saudara Sudan. Jumlah korban sebenarnya diyakini jauh lebih tinggi.

PBB mengatakan ratusan ribu orang Sudan kini telah meninggalkan rumah mereka, seringkali membayar sejumlah besar uang untuk mengungsi, dan menghadapi perlakuan tidak layak dalam perjalanan.

Selain ribuan orang asing yang telah dievakuasi, puluhan ribu orang Sudan telah menyeberang ke negara tetangga, termasuk Chad, Mesir, dan Sudan Selatan.

Laporan Reuters yang mengutip seorang pejabat PBB menyebutkan bahwa beberapa telah berjalan kaki dari Khartoum ke perbatasan Sudan Selatan, jaraknya lebih dari 400 km (250 mil). Dan mereka yang tersisa di Khartoum menggambarkan hidup dalam keadaan ketakutan terus-menerus.

"Kami mendengar suara pesawat dan ledakan. Kami tidak tahu kapan neraka ini akan berakhir," kata Mahasin al-Awad (65), warga Bahri, Khartoum utara.

Kekerasan dilaporkan sangat buruk di El Geneina, sebuah kota di Darfur, Sudan barat. RSF dan milisi yang terkait dengan kelompok tersebut dilaporkan telah menjarah dan membakar pasar, gudang bantuan, dan bank.

Infografis Penyebab Perang Bersaudara Berkecamuk di Sudan. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya