Liputan6.com, Khartoum - Perang saudara Sudan ikut merenggut nyawa artis kawakan negara itu Asia Abdel-Majid. Perempuan usia 80 tahun itu meninggal pada Rabu (3/5/2023), setelah peluru menerjang rumahnya di Bahri, utara Khartoum
Tidak jelas apakah kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) atau Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) yang melepaskan tembakan yang menewaskan Asia Abdel-Majid.
Advertisement
Negosiasi yang gagal antara pemimpin RSF Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo dan pemimpin SAF Jenderal Abdel Fattah al-Burhan soal pengaturan pembagian kekuasaan meledak menjadi kekerasan pada pertengahan April, memicu eksodus massal dan mengakibatkan setidaknya 528 orang meninggal.
Gencatan senjata yang berulang kali disepakati dan janji pembicaraan damai antara kedua pemimpin dinilai masih gagal mengekang konflik. Saksi mata melaporkan bahwa pertempuran masih terjadi pada Kamis (4/5), meski telah ada kesepakatan gencatan tujuh hari sebelumnya.
Menurut keponakannya seperti dilansir CNN, Jumat (5/5), Asia Abdel-Majid dimakamkan di halaman sebuah taman kanak-kanak karena tidak aman untuk menguburkannya di pemakaman.
Taman kanak-kanak itu sendiri berada di sebelah rumahnya, tempat dia sendirian saat baku tembak terjadi.
Asia Abdel-Majid disebut sebagai artis teater pertama di Sudan. Dia mendirikan taman kanak-kanak di Bahri dan mengajar di sana ketika pensiun.
Krisis Air dan Makanan
Saksi mata mengatakan bahwa SAF dan RSF bertempur menggunakan senjata ringan dan berat di sekitar Istana Kepresidenan saat perang saudara mendekati minggu keempat.
Laporan yang diterima UNICEF menyebutkan bahwa setidaknya 190 anak tewas dan 1.700 lainnya terluka sejak perang meletus bulan lalu. Karena intensitas kekerasan, UNICEF tidak dapat mengonfirmasi angka tersebut.
Sekretaris Jenderal Dewan Pengungsi Norwegia (NRC) Jan Egeland memperingatkan pada Rabu bahwa orang-orang yang terjebak di medan perang kehabisan air dan makanan.
"Keluarga di seluruh Sudan, termasuk rekan-rekan kami... harus memilih antara tetap terjebak di medan perang atau mempertaruhkan nyawa mereka untuk melarikan diri atau mencapai rumah sakit yang penuh sesak," kata Egeland.
"Mereka kehabisan segalanya, termasuk air, makanan, listrik, bahan bakar, dan uang tunai. Kami membutuhkan komunitas internasional untuk berupaya keras dalam mengamankan akses kemanusiaan, terlepas dari gencatan senjata dan dalam memberikan bantuan kepada jutaan orang seperti yang mereka lakukan dalam mengevakuasi warganya sendiri," tambahnya.
Badan pengungsi PBB (UNHCR) pada Kamis mengatakan bahwa diperlukan dana US$ 445 juta untuk membantu 860.000 pengungsi Sudan.
Pada Rabu, ratusan pengungsi dari Sudan tiba di Nigeria setelah ditahan selama berhari-hari di perbatasan Mesir menyusul chaos-nya layanan perbatasan yang dibarengi dengan meningkatnya aliran pengungsi.
"Kontingen pertama dari 376 warga Nigeria diterbangkan pulang dengan pesawat militer dan kapal induk lokal dan tiba di ibu kota Abuja sesaat sebelum tengah malam," demikian menurut Komisi Diaspora Nigeria (NIDCOM).
NIDCOM menuturkan bahwa pekan lalu, lebih dari 7.000 warga negara Nigeria, yang sebagian besar pelajar yang melarikan diri dari perang saudara Sudan terlantar di perbatasan Mesir karena tidak tersedianya visa. NIDCOM memohon kepada pihak berwenang Mesir agar mengizinkan warga negaranya yang sudah trauma untuk transit ke tujuan akhir mereka.
Advertisement