Liputan6.com, Jakarta - Volume sampah di laut makin mengkhawatirkan dari waktu ke waktu. Gaung untuk membentuk kesadaran menjaga laut dan ekosistemnya terus disuarakan berbagai pihak, termasuk aktris Indonesia, Prilly Latuconsina.
Dalam video yang diunggah di akun Instagram-nya, beberapa waktu lalu, pesan ini disampaikan Prilly melalui momen miris penemuan sampah kemasan bumbu dapur saat menyelam. Dalam rekaman singkat yang dimaksud, tampak bintang film Danur ini memungut polutan tersebut dari dasar laut.
Advertisement
Ia menulis, "Nemu sampah pas lagi diving huhu! Ini satu dari beberapa sampah yang aku temukan. Sedih sekali karena bumbu dapur yang biasa kita dapetin di warung ini, akhirnya mengendap di laut juga."
"Harganya bumbu dapur ini murah, tapi kerusakan alam yang harus kita bayar di masa depan mahal harganya," ia menyambung. "Yuk kita buang sampah pada tempatnya! Kalau lagi diving atau lagi liburan terus enggak ada tempat sampah, kalian bisa bawa dulu sampai menemukan tempat untuk kalian buang sampahnya. #GenerasiPeduliBumi."
Di kolom komentar, tidak sedikit warganet yang mengamini pendapat Prilly. "Bumbu dapurnya enggak salah, tapi yang buang itu otaknya belum sampe," kata salah satunya. Beberapa juga mengaku mendapati pengalaman serupa, entah di laut maupun gunung.
"Sama, aku juga paling kesel kalau ke gunung terus nemu sampah yang sengaja dibuang berserakan tanpa rasa bersalah, padahal bisa di bawa pulang, dan tidak berat kok!! Padahal udah dikasih nikmat sama Allah untuk bisa menikmati alamnya, tapi kita sering kali lupa dalam menjaganya," sambung pengguna lain.
Polutan di Laut Dunia
Selain sampah kemasan, limbah plastik juga sudah lama jadi momok menakutkan lain bagi ekosistem laut. Melansir CNN, Jumat (5/5/2023), lautan dunia telah tercemar "kabut plastik" yang terdiri dari sekitar 171 triliun partikel plastik yang jika dikumpulkan akan berbobot sekitar 2,3 juta ton, menurut sebuah studi baru.
Tim ilmuwan internasional menganalisis data global yang dikumpulkan antara tahun 1979 dan 2019 dari hampir 12 ribu titik pengambilan sampel di samudra Atlantik, Pasifik, dan Hindia, serta Laut Mediterania. Mereka menemukan peningkatan polusi plastik laut yang "cepat dan belum pernah terjadi sebelumnya" sejak 2005, menurut penelitian yang diterbitkan pada 8 Maret 2023 di jurnal PLOS ONE.
"Ini jauh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya," Lisa Erdle, direktur penelitian dan inovasi di Institut 5 Gyres dan penulis laporan tersebut, mengatakan pada CNN. Tanpa kebijakan yang mendesak, laju plastik yang masuk ke lautan dapat meningkat sekitar 2,6 kali lipat antara sekarang dan 2040, demikian temuan studi tersebut.
Advertisement
Hanya 9 Persen Sampah Plastik yang Didaur Ulang
Produksi plastik telah melonjak dalam beberapa dekade terakhir, terutama plastik sekali pakai, dan sistem pengelolaan limbah tidak dapat mengimbanginya. Hanya sekitar sembilan persen dari plastik global yang didaur ulang setiap tahun.
Sejumlah besar sampah plastik itu berakhir di lautan. Sebagian besar berasal dari daratan, tersapu ke sungai oleh hujan, angin, saluran pembuangan badai yang meluap, dan kebiasaan membuang sampah sembarangan, hingga terbawa ke laut. Jumlah yang lebih kecil tapi masih signifikan, seperti alat tangkap, hilang atau dibuang begitu saja ke laut.
Begitu plastik masuk ke laut, itu terurai jadi potongan-potongan kecil. Partikel-partikel ini "benar-benar tidak mudah dibersihkan, kami terjebak dengannya," kata Erdle. Kehidupan laut bisa terjerat dalam plastik atau salah mengartikannya sebagai makanan. Plastik juga dapat melarutkan bahan kimia beracun ke dalam air.
Polutan ini bukan hanya jadi bencana lingkungan. Plastik juga merupakan masalah iklim yang sangat besar. Bahan bakar fosil adalah bahan mentah untuk sebagian besar plastik, dan menghasilkan polusi yang memanaskan planet sepanjang siklus hidupnya, mulai dari produksi hingga pembuangan.
Intervensi Kebijakan Internasional
Mencari tahu persis berapa banyak plastik di lautan adalah tugas yang sulit. "Lautan adalah tempat yang kompleks. Ada banyak arus laut, ada perubahan dari waktu ke waktu karena cuaca dan kondisi di darat," kata Erdle.
Para ilmuwan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk meneliti makalah peer-review, serta temuan yang tidak dipublikasikan dari ilmuwan lain untuk mencoba menyusun catatan paling luas yang mereka bisa, baik dalam jangka waktu tertentu maupun geografi.
Sebagian besar sampel penelitian dikumpulkan di Pasifik Utara dan Atlantik Utara, tempat sebagian besar data tersedia. Penulis penelitian mengatakan masih diperlukan lebih banyak data untuk wilayah lain, termasuk Laut Mediterania, Samudra Hindia, Atlantik Selatan, dan Pasifik Selatan.
"Penelitian ini membuka mata saya tentang betapa sulitnya mengukur dan mengkarakterisasi sampah plastik di laut. Juga, menggarisbawahi perlunya solusi nyata untuk masalah ini," kata Win Cowger, seorang ilmuwan penelitian di Institut Penelitian Polusi Plastik Moore di California dan seorang penulis penelitian, dalam sebuah pernyataan.
Sejak tahun 1970-an, ada banyak kesepakatan yang ditujukan membendung gelombang polusi plastik yang mencapai lautan. Namun, sebagian besar bersifat sukarela, terfragmentasi, dan jarang menyertakan target terukur, catat studi tersebut.
Para penulis penelitian menyerukan intervensi kebijakan internasional yang mendesak. "Kami jelas membutuhkan beberapa solusi yang gigih,” kata Erdle.
Advertisement