Liputan6.com, Moskow - Serangan drone yang diklaim akan membunuh Presiden Rusia Vladimir Putin rupanya bukan dari pihak Ukraina.
Otoritas Kremlin pada Kamis (4/5) mengatakan bahwa Amerika Serikat berada di balik serangan pesawat tak berawak tersebut.
Advertisement
Kremlin mengklaim tujuan penyerangan pakai drone itu untuk membunuh Presiden Vladimir Putin, dikutip dari laman Channel News Asia, Jumat (5/5/2023).
Putin akan memimpin pertemuan Dewan Keamanan Rusia yang dijadwalkan pada Jumat ini dan insiden Kremlin dapat menjadi agenda, lapor kantor berita TASS.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, berbicara di Den Haag setelah mengunjungi Mahkamah Internasional. Ia mengatakan Putin harus diadili atas perang tersebut dan bahwa Kyiv akan bekerja untuk membentuk pengadilan.
Dalam diplomasi lain, Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield mengatakan dalam kunjungannya ke Brasil bahwa dia mendorong pemerintah untuk memasukkan Ukraina dalam setiap upaya negosiasi untuk mengakhiri perang.
Dia merujuk pada komentar Presiden Luiz Inacio Lula da Silva yang meminta Barat untuk berhenti mempersenjatai Ukraina agar pembicaraan damai dapat dimulai.
Rusia Sebelumnya Menuduh Ukraina
Sebelumnya, Rusia menuduh Ukraina mencoba melakukan serangan pesawat tak berawak ke Kremlin dengan tujuan membunuh Presiden Vladimir Putin.
Ini dianggap sebagai tuduhan paling keras yang pernah dilontarkan Moskow terhadap Kyiv sejak perang terhadap tetangganya dimulai.
Dikutip dari laman Al Jazeera, Kamis (4/5/2023) tuduhan itu dibuat oleh pemerintah Rusia dan dilaporkan oleh beberapa kantor berita negara.
Putin tidak berada di gedung pada saat itu dan tidak ada kerusakan material di Kremlin, kata pejabat Rusia.
“Kremlin menilai tindakan ini sebagai upaya teroris yang direncanakan dan upaya pembunuhan terhadap presiden pada malam Hari Kemenangan atau Parade 9 Mei,” lapor outlet berita negara RIA.
Kantor berita itu juga menambahkan bahwa Putin tidak mengubah jadwalnya dan bekerja di kediaman Novo-Ogaryovo di luar Moskow.
Moskow telah berjanji pawai akan terus berlanjut, di tengah seruan untuk reaksi keras terhadap Ukraina.
Komite Investigasi Rusia, yang menyelidiki kejahatan besar mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pihaknya telah membuka "kasus pidana terorisme."
Advertisement
AS Klaim 100.000 Lebih Pasukan Rusia Jadi Korban Perang
Amerika Serikat (AS) meyakini bahwa lebih dari 20.000 pasukan Rusia tewas selama perang Ukraina dalam lima bulan terakhir.
"Sebanyak 80.000 lainnya terluka," ujar juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby mengutip intelijen seperti dilansir BBC.
Menurut AS, separuh dari korban tewas berasal dari kompi tentara bayaran Wagner, yang menyerang Kota Bakhmut.
Rusia telah mencoba merebut Bakhmut sejak tahun lalu melalui perang gesekan yang sengit. Pertempuran untuk sebuah kota kecil, di mana tersisa beberapa ribu warga sipil, disebut telah menjadi sangat penting secara simbolis bagi kedua belah pihak.
Pejabat Ukraina mengatakan bahwa mereka menggunakan pertempuran di Bakhmut untuk membunuh sebanyak mungkin pasukan Rusia dan menghabiskan cadangannya. Namun, sejauh ini, Ukraina dilaporkan hanya menguasai sebagian kecil kota itu.
"Upaya serangan Rusia di Donbas yang sebagian besar melalui Bakhmut telah gagal," klaim Kirby. "Rusia tidak dapat merebut wilayah strategis dan signifikan."
"Kami memperkirakan Rusia telah menderita lebih dari 100.000 korban, termasuk lebih dari 20.000 yang tewas."
Korban di Bakhmut, sebut AS, telah menyumbang kerugian bagi Rusia sejak awal Desember.
"Intinya adalah upaya ofensif Rusia telah menjadi bumerang pasca pertempuran berbulan-bulan dan kerugian luar biasa," beber Kirby.
Alasan Kirby tidak mengungkapkan perkiraan jumlah korban di Ukraina adalah, "Karena mereka korban di sini. Rusia adalah agresor."
Rusia sejauh ini belum memberikan komentarnya terkait pernyataan Kirby.
Nilai Strategis Bakhmut
Perebutan Bakhmut akan membawa Rusia sedikit lebih dekat pada tujuannya untuk mengendalikan seluruh wilayah Donetsk, salah satu dari empat wilayah Ukraina yang dianeksasinya pada September 2022.
Analis menilai bahwa Bakhmut memiliki nilai strategis yang kecil, tetapi telah menjadi titik fokus bagi para komandan Rusia yang berjuang untuk menyampaikan berita positif ke Kremlin. Dan kelompok tentara bayaran Wagner menjadi pusat perhatian dalam serangan Rusia ke Bakhmut.
Pemimpin Wagner, Yevgeny Prigozhin, disebut-sebut telah mempertaruhkan reputasinya dan pasukan pribadinya untuk merebut Bakhmut. Namun, baru-baru ini dia mengancam akan menarik pasukannya keluar dari Bakhmut jika Kementerian Pertahanan Rusia tidak memberi pasokan amunisi yang sangat mereka butuhkan.
Pasukan Wagner, sebut Prigozhin, dapat dikerahkan kembali ke Mali.
Prigozhin kerap bentrok dengan Kementerian Pertahanan Rusia selama perang. Dia menuduh para pejabat tidak memberikan dukungan yang cukup kepada para pejuangnya.
Belum lama, Prigozhin meminta pimpinan militer dan media Rusia untuk berhenti berbohong kepada rakyat menjelang serangan balasan Ukraina.
"Kita harus berhenti berbohong kepada rakyat Rusia dengan mengatakan kepada mereka bahwa semuanya baik-baik saja," katanya.
Di lain sisi, Prigozhin memuji komando dan operasi militer yang baik dan benar Ukraina.
Seorang jenderal Ukraina mengatakan pada Senin bahwa serangan balik telah menggulingkan pasukan Rusia dari beberapa posisi di Bakhmut. Namun, situasinya tetap "sulit".
"Unit-unit baru Rusia, termasuk pasukan terjun payung dan pejuang dari Wagner, terus-menerus diterjunkan ke dalam pertempuran, meskipun mengalami kerugian besar," ungkap Komandan Angkatan Darat Ukraina Jenderal Oleksandr Syrskyi via Telegram.
"Tapi musuh tidak bisa menguasai kota," imbuhnya.
Advertisement