Liputan6.com, Jakarta Dalam rangka menyuarakan hak dan keadilan bagi para buruh, Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) mendeklarasikan petisi untuk menolak rencana pemerintah menyejajarkan tembakau dan produk turunannya dengan narkotika dan psikotropika lewat Rancangan Undang-undang atau RUU Kesehatan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS, menyebutkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang tengah disusun secara omnibus law ini akan sangat berdampak dan mengganggu kesejahteraan maupun kelangsungan hidup para pekerja di Industri Hasil Tembakau atau IHT Indonesia.
Advertisement
“Lapangan kerja [baru] juga sulit, sementara lapangan kerja yang ada tergerus habis, turun drastis,” kata Sudarto di sela-sela perayaan Hari Buruh di Semarang, Jawa Tengah.
Menurut Sudarto, dalam 10 tahun terakhir, jumlah pekerja industri rokok yang merupakan bagian dari anggota FSP RTMM – SPSI telah mengalami penurunan hingga 60.000 orang menjadi sekitar 148.000 orang. Hal ini lantaran berbagai batasan atau pengetatan yang timbul akibat regulasi yang ada.
Kondisi ini dikhawatirkan akan terus memburuk, jika RUU Kesehatan yang menyejajarkan tembakau dengan narkotika dan psikotropika diloloskan.
Ratusan ribu buruh di sektor industri tembakau dan jutaan masyarakat yang menggantungkan hidupnya di sektor pertembakauan akan terdampak status sosialnya hingga dapat terancam di PHK, sementara mereka adalah penggerak ekonomi keluarganya dengan pendidikan terbatas.
Ia menyayangkan bahwa industri yang sudah memiliki tenaga kerja signifikan ini tidak dilindungi. “Pemerintah saja membuat perubahan undang-undang dalam rangka menarik investor. Yang ada kok malah enggak dilindungi?” serunya.
Belum lagi, rencana penyejajaran ini sebenarnya bertentangan dengan Putusan MK No. 34/PUU-VIII/2010 yang arahnya lebih kepada pengamanan atas konsumsi dan bukan menghilangkan tembakau.
Zat Adiktif
Di samping pasal zat adiktif dalam RUU Kesehatan, serikat buruh ini juga menolak rencana pemerintah untuk merevisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Sejalan dengan RUU Kesehatan, aturan ini juga dinilai memberatkan bagi industri rokok. Pasalnya, tidak hanya melakukan pengendalian tembakau dari sisi konsumsi, tetapi juga penjualan, kemasan, dan berbagai aspek lainnya yang membuat IHT susah bergerak.
“Namanya lapangan kerja itu kan kalau bisa dipertahankan. Bagaimana bisa bertahan kalau ternyata bukan sekedar pengendalian konsumsinya, tapi penjualan, kemasan, dan segalanya diatur sedemikian rupa,” ucapnya.
Advertisement
Bersikap Lebih Aktif
Di saat yang sama, serikat buruh ini juga meminta agar pemerintah bisa bersikap lebih aktif dalam proses pembuatan kebijakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang ada. “Jangan kita tahu-tahu belakangan. Kita baru tahu setelah mencoba mengamati dan mengerti,” katanya.
Lebih lanjut, Sudarto juga berharap seluruh aturan yang dihasilkan oleh pemerintah bisa lebih berdaulat dan terbebas dari kepentingan asing. Pasalnya, selain merugikan pekerja hingga petani dan industri ini secara keseluruhan, campur tangan asing juga dikhawatirkan akan merugikan negara secara lebih luas.
“Indikasi ini bukan sekedar bicara rokok, tapi bagaimana beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau Non-Governmental Organization (NGO) asing itu berperan. Kita harus berdaulat!” tegasnya.