Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Luar Negeri RI mengungkap bagaimana modus online scam beredar di dunia maya yang melibatkan WNI. Para WNI yang direkrut ternyata disuruh menyamar sebagai wanita cantik.
Padahal, para WNI itu awalnya ditawari kerja sebagai customer service.
Advertisement
Direktur Perlindungan WNI Judha Nugraha berkata WNI korban online scam ternyata juga menarget orang Indonesia. Target mereka juga cukup spesifik: para pria mapan.
Para target itu akan dilihat dulu profilnya di media sosial (profiling), baru kemudian disasar para scammer yang juga merupakan WNI.
Contoh scam yang terjadi adalah ketika para scammer meminta kiriman uang dengan iming-iming ada cashback. Kerugian bisa mencapai berjuta-juta. Untuk meyakinkan target, para scammer juga mau diajak telponan.
"Mereka pilih foto perempuan. Jadi ketika OK mau telepon, boleh telepon, nanti yang menerima telepon bukan si pemilik akun, karena pemilik akun ini cowok, kan. Temannya yang cewek. Tapi enggak mau video call," ujar Judha Nugraha di kantor Kemlu RI, Jumat (5/5/2023).
Setelah duit diterima, para scammer dengan foto cantik itu langsung memutuskan hubungan.
Pihak Kemlu RI belum mengetahui secara pasti berapa kerugian WNI akibat aksi scamming ini. Namun, Judha menyorot belum ada laporan dari para WNI yang kena scam tersebut.
"Mungkin karena malu," ujar Judha.
Para WNI yang dijebak menjadi scammer itu juga orang-orang yang punya skill, bahkan ada yang S1.
Selain itu, Judha turut menyayangkan apabila ada WNI yang malah kembali ikut rekrutmen kerja yang mencurigakan di media sosial. Kasus ini tak hanya terjadi di kasus online scams.
"Contoh di Malaysia, kemudian di Timur Tengah. Sudah kita tangani di Baghdad, kita pulangkan. Kemudian tercatat ada laporan orang yang sama punya masalah lagi kemudian di Dubai, ada yang kena di Kairo," pungkas Judha.
Indonesia Kirim Nota Diplomatik ke Kemlu Myanmar Soal Perlindungan WNI Korban Penipuan Perusahaan Online Scam
Laporan sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI), Kedutaan Besar RI di Yangon (KBRI Yangon), dan KBRI Bangkok telah menindaklanjuti permintaan perlindungan terhadap warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban perusahaan online scam di Myanmar.
Kemlu RI menyebutkan bahwa berbagai langkah yang telah dilakukan antara lain mengirimkan nota diplomatik kepada Kemlu Myanmar, berkoordinasi dengan otoritas setempat, dan bekerja sama dengan sejumlah lembaga internasional seperti Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) dan Regional Support Office Bali Process di Bangkok.
"Tantangan di lapangan memang tinggi. Mayoritas WNI berada di Myawaddy, lokasi konflik bersenjata antara militer Myanmar dan kelompok pemberontak," ungkap Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemlu RI Judha Nugraha dalam pernyataan tertulisnya yang dikutip pada Kamis, (4/5).
Namun, ungkap Judha, hal tersebut tidak menyurutkan berbagai upaya perlindungan terhadap para WNI.
"KBRI Yangon dan KBRI Bangkok antara lain mendesak otoritas Myanmar mengambil langkah efektif untuk menyelamatkan para WNI dan memetakan jejaring yang ada di Myawaddy melalui kerja sama dengan berbagai lembaga pemerhati kasus online scam. Pendekatan formal dan informal terus dilakukan," tegas Judha.
Lebih lanjut Judha menjelaskan bahwa dari sisi penegakan hukum, Kemlu RI telah berkoordinasi dengan Bareskrim Polri untuk menindak para pelaku.
"Dari sisi pencegahan, melakukan kegiatan public awareness campaign mengenai modus modus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam kasus online scam," terang Judha.
Selama periode 2020-2023, KBRI Yangon telah menerima laporan 203 WNI yang mengalami permasalahan di wilayah Myanmar, khususnya terkait indikasi/dugaan TPPO. Hingga April 2023, KBRI Yangon telah memfasilitasi penyelesaian/pemulangan 127 WNI.
Advertisement
Disekap, Disiksa, Diperbudak, dan Diperjualbelikan
Kantor berita Antara pada Rabu (3/5) melansir bahwa pada Selasa (2/5), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) melaporkan A dan P sebagai perekrut sedikitnya 20 pekerja migran Indonesia yang diduga korban TPPO di Myanmar ke Bareskrim Polri. Modus keduanya, menawarkan para korban pekerjaan sebagai operator komputer di salah satu perusahaan di Thailand.
Korban dilaporkan diiming-imingi gaji sekitar Rp8-10 juta per bulan, tempat tinggal, dan makan gratis. Para perekrut membiayai akomodasi keberangkatan korban dalam bentuk pinjaman dengan cara pengembalian melalui potong gaji.
Para pencari kerja itu diberangkatkan ke Myanmar melalui jalur laut dari Bangkok, Thailand.
Namun, sesampainya di tujuan, mereka disekap dan dijaga ketat oleh orang-orang bersenjata dan berpakaian militer. Ponsel mereka disita.
Para korban dipekerjakan secara paksa untuk online scam selama 17 jam per hari. Laporan BBC pada 29 April menyebutkan bahwa mereka tidak hanya disekap dan diperbudak, namun juga disiksa.