Sejarah Perjanjian Roem-Royen dan Isi Perundingannya

Perjanjian Roem-Roijen merupakan salah satu langkah penting dalam perjuangan diplomasi Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 18 Okt 2024, 09:58 WIB
Perjanjian Roem-Roijen merupakan salah satu langkah penting dalam perjuangan diplomasi Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda. (Foto: anri.do.id)

Liputan6.com, Jakarta - Perjanjian Roem-Royen merupakan salah satu langkah penting dalam perjuangan diplomasi Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda.

Perjanjian Roem-Royen adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang dimulai pada tanggal 17 April 1949 dan ditandatangani pada 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta.

Perjanjian ini merupakan salah satu rangkaian perjanjian yang dilakukan Indonesia setelah Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville.

Nama perjanjian ini diambil dari kedua pemimpin delegasi, yaitu Mohammad Roem dari Indonesia dan Herman van Roijen dari Belanda. Isi perjanjian ini lebih merupakan pernyataan kesediaan berdamai antara kedua belah pihak.

Mengutip Modul Pembelajaran SMA: Sejarah Indonesia, delegasi Republik dipimpin oleh Mr Moh Roem sebagai Ketua dan Mr. Ali Sastroamijoyo sebagai wakil ketua. Anggota-anggotanya adalah: Dr J Leimena, Ir Juanda, Prof Dr Supomo, Mr Latuharhary disertai lima orang penasihat.

Sementara, delegasi Belanda dipimpin oleh Dr J H Van Royen, dengan anggota-anggotanya Mr N S Blom, Mr A S Jacob, Dr J J Van der Velde dan empat orang penasihat.

Perundingan dimulai pada 14 April 1949 yang dilakukan oleh Mr Moh Roem (Indonesia) dengan Dr Van Roijen (Belanda) dengan mediator Merle Cochran (anggota UNCI dari AS). Perundingan ini dilakukan di Hotel Des Indes (Hotel Duta Merlin Jakarta, sekarang).

Perundingan berlarut-larut dan sempat terhenti sampai 1 Mei 1949 karena terjadinya perbedaan pendapat yang tajam. Pemerintah Belanda menghendaki agar RI menghentikan gerakan gerilya oleh pejuangnya, bersedia menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) dan bersedia bekerja sama menciptakan keamanan dan ketertiban, barulah pemerintahan dan pemimpin RI yang ditahan Belanda dibebaskan.

Karena perundingan berjalan sangat lamban, bahkan hampir mengalami jalan buntu, pada 24 April 1949 Drs Mohammad Hatta datang ke Jakarta. Pihak RI menempuh cara lain yakni mengadakan perundingan informal dan langsung dengan pihak Belanda disaksikan Merle Cochran.

Pada 25 April 1949, diadakan pertemuan informal pertama antara Drs. Moh. Hatta dengan ketua delegasi Belanda Dr Van Royen. Hasil pertemuan ini tidak diumumkan, namun Wakil Presiden Moh. Hatta menyatakan bahwa pertemuan informal itu untuk membantu memberikan penjelasan kepada delegasi Belanda.

Anggota UNCI dari AS Merle Cohran mendesak Indonesia agar dapat menerima usulan Belanda dengan kompensasi bantuan ekonomi setelah pengakuan kedaulatan, tetapi sebaliknya mengancam untuk tidak memberi bantuan apapun kepada Indonesia apabila pihak RI tidak bisa melanjutkan perundingan.

Selanjutnya masing-masing pihak mengeluarkan pernyataan. Persetujuan ini sebenarnya hanya berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang masing-masing menyetujui pernyataan pihak lainnya. Isi pernyataan ini ditanda tangani pada 7 Mei 1949 oleh ketua perwakilan kedua negara yaitu Mr Moh Roem dan Dr Van Roijen, oleh karena itu terkenal dengan sebutan Roem Royen Statemens.

Berikut bunyi statement Roem-Royen:

1. Sesuai dengan resolusi DK PBB, Indonesia menyatakan kesanggupannya untuk menghentikan perang gerilya.

2. Bekerja sama mengembalikan dan menjaga keamanan dan ketertiban.

3. Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh-sungguh dengan tidak bersyarat.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya