Liputan6.com, Samarinda - Desa Wisata Pela berlokasi di Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Desa ini masuk dalam daftar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2022.
Mengutip dari kukarkab.go.id, masyarakat di desa ini yang merupakan etnis Kutai mayoritas berprofesi sebagai nelayan air tawar. Desa ini lokasinya berada di tepi anak Sungai Mahakam dan ujung mulut Danau Semayang.
Dari 12 desa yang mayoritas merupakan etnis Kutai, terdapat satu etnis Banjar. Etnis Banjar ini berada di Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Sebelah utara Desa Wisata Pela berbatasan dengan Desa Muhuran, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sangkuliman. Adapun sebelah barat berbatasan dengan Desa Semayang, sementara sebelah timur berbatasan dengan Desa Liang Ulu.
Baca Juga
Advertisement
Desa Pela ditetapkan sebagai desa wisata berbasis wisata sungai dan danau. Desa ini memiliki ekosistem mamalia langka pesut mahakam atau lumba-lumba air tawar.
Desa ini termasuk ke dalam wisata danau karena berada di dekat Danau Semayang. Selain itu, hampir 95% mayarakatnya berprofesi sebagai nelayan, sehingga aktifitas masyarakat pun didominasi oleh aktivitas laut, salah satunya menangkap ikan.
Desa wisata pela juga menjadi daerah kawasan konservasi perairan dan kawasan ekonomi esensial untuk keberlangsungan dan kelestarian pesut mahakam. Pesut mahakam merupakan spesies mamalia yang hidup di air tawar.
Pesut mahakam termasuk ke dalam katagori hewan yang dilindungi karena keberadaan hanya sekitar 80 ekor di Sungai Mahakam, tetapi yang sering melewati jalur Sungai Pela ada sekitar 20 ekor.
Terkait sejarahnya, awalnya terdapat dua suku yang pertama kali datang ke desa ini, yaitu Suku Banjar dan Suku Bugis. Suku Banjar datang ke desa ini akibat perperangan raja banjar yang membuat mata pencaharian mereka terganggu.
Mereka pun memutuskan untuk merantau ke Kalimantan Timur, tepatnya di Desa Pela. Peristiwa itu mereka sebut dengan pelarian.
Sementara itu, kedatangan Suku Bugis ke Desa Pela bertujuan untuk mencari ikan dan menjadi nelayan. Saat itu, Desa Pela mengalami kemarau panjang dengan cuaca yang sangat panas. Oleh karena itu, orang Bugis menyebut desa ini dengan mama 'mapelai' (panas).
Selanjutnya, Kepala Suku Banjar dan Bugis pun mengadakan musyawarah untuk menamai kampung tersebut. Nama tersebut diambil dari kata 'pelarian' dan 'mapelai'.
Keduanya pun sepakat menamai desa ini dengan nama Desa Pela. Nama ini kemudian juga disetujui oleh masyarakat setempat dan digunakan hingga sekarang.
(Resla Aknaita Chak)