Liputan6.com, Jakarta Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) atau yang lebih dikenal dengan sebutan status Darurat Kesehatan Global untuk COVID-19 resmi dicabut oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Jumat, 5 Mei 2023.
Lalu, apa sih dampaknya jika status Darurat Kesehatan Global COVID-19 dicabut? Akankah setiap negara termasuk Indonesia boleh melunturkan semua aturan terkait COVID-19 begitu saja?
Advertisement
Menurut epidemiolog sekaligus peneliti Global Health Security Policy Centre for Environmental and Population Health Griffith University, Australia, Dicky Budiman, salah satu dampak dari pencabutan PHEIC berkaitan dengan meluasnya kekuasaan bagi setiap negara untuk merespons pandemi COVID-19.
"Intinya pencabutan PHEIC ini lebih memberikan keleluasaan, otorisasi pada masing-masing negara untuk merespons COVID-19," ujar Dicky melalui keterangan pada Health Liputan6.com, Sabtu (6/5/2023).
"(Entah itu) tetap dalam status kedaruratan atau mereka masukan (COVID-19) dalam program pengendalian penyakit secara umum," sambungnya.
Negara Punya Kewenangan Respons COVID-19
Hal tersebut dikarenakan menurut Dicky, dengan pencabutan PHEIC, tiap negara jadi punya kewenangan sendiri untuk merespons bagaimana pandemi COVID-19 akan disikapi kedepannya.
"Negara-negara itu punya keleluasaan lebih atas itu, karena kalau PHEIC-nya tidak dicabut, mau tak mau akan terus darurat. Namun, bahwa dia masih pandemi, ya iya dalam konteks saat ini. Tapi sekali lagi, sudah tidak seperti status yang akut dua atau tiga tahun awal pandemi," kata Dicky.
Status Darurat Dicabut, COVID-19 Masih Tetap Ada
Lebih lanjut, Dicky mengungkapkan bahwa status kedaruratan seperti PHEIC sebenarnya dibuat hanya untuk menandakan jikalau ada suatu penyakit yang sedang mewabah di dunia.
"PHEIC itu sebetulnya memberi tanda atau menjadi standar status bahwa suatu penyakit mewabah, extraordinary event yang menyebabkan dan berdampak pada semua negara di dunia, menyebar secara global, melewati batas teritorial masing-masing negara," ujar Dicky.
"Ini merupakan juga suatu alarm public health yang paling tinggi, dan kehadiran satu wabah ini memerlukan respons, kolaborasi, kerja sama global. Itu kenapa PHEIC itu hadir," Dicky melanjutkan.
Sehingga, pandemi COVID-19 secara keseluruhan sebenarnya berbeda dengan status kedaruratan atau PHEIC. Sebab, hingga kini, pandemi masih tetap ada dan tidak menghilang.
"Status pandemi itu bahkan sampai sekarang WHO sendiri tidak punya kewenangan menetapkan, tidak ada otorisasinya dalam konferensi WHO bisa menyatakan 'Oh ini pandemi', belum ada seperti itu," kata Dicky.
Advertisement
Pandemi Masih Ada tapi Tak Lagi di Fase Akut
Dicky mengungkapkan bahwa status pandemi mengacu pada ukuran maupun indikator-indikator epidemiologi. Itulah mengapa pandemi COVID-19 disebut-sebut masih tetap ada.
"Status pandemi itu lebih pada ukuran, indikator-indikator epidemiologi. Kalau melihat itu, meskipun sekarang PHEIC-nya sudah dicabut, sebetulnya pandeminya masih ada. Status pandemi itu masih ada. Tapi sudah enggak emergensi. Fase akutnya sudah terlewati," ujar Dicky.
Kenapa Pandemi COVID-19 Masih Ada?
Dicky menjelaskan, status pandemi COVID-19 masih ada karena masih adanya penambahan kasus. Bahkan, ada beberapa negara yang masih mengalami lonjakan kasus atau outbreak.
"Kita betul-betul masih ada dalam status pandemi, karena ini masih ada di semua negara. Masih ada outbreak, ada peningkatan kasus. Hanya kita sudah beda saja, sudah enggak akut lagi. Levelnya sudah lewat, lebih menurun," kata Dicky.
Terlebih, saat ini kasus kematian akibat COVID-19 maupun beban fasilitas kesehatan (faskes) telah menurun. Itu jugalah yang menjadi faktor pendukung status pandemi COVID-19 disebut sudah melewati fase kritis.
Advertisement