WHO: Nyaris 20 Juta Orang Meninggal Akibat COVID-19

WHO mengestimasi nyaris ada 20 juta kematian akibat COVID-19.

oleh Benedikta Desideria diperbarui 07 Mei 2023, 07:00 WIB
Kasus kematian akibat COVID-19 diestimasikan tiga kali lipat lebih tinggi daripada data yang dilaporkan seperti disampaikan bos WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Direktur Jenderal World Health Organization (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyebut bahwa kasus kematian akibat COVID-19 jauh lebih tinggi dari angka resmi.

Tedros menyebut estimasi angka kematian akibat COVID-19 mencapai 20 juta selama COVID-19 menghantam tiga tahun terakhir.

"Hampir 7 juta orang meninggal berdasarkan data yang dilaporkan tapi jumlah sebenarnya beberapa kali lebih tinggi dari angka itu, mendekati 20 juta kematian," kata Tedros kepada wartawan pada Jumat, 5 Mei 2023 waktu Jenewa.

Bila menilik data dari laman resmi WHO, hingga 3 Mei 2023 terdapat 6.921.614 kematian yang dilaporkan dari seluruh negara. Rgional WHO Amerika (2,9 juta) dan Eropa (2,2 juta) yang tertinggi melaporkan angka kematian.

"Mengenai angka 20 juta, itu adalah estimasi, bila menilik data yang dilaporkan memang 6,9 juta," kata COVID-19 Technical Lead WHO, Maria Van Kerkhove dalam sesi tanya jawab bersama wartawan di kesempatan yang sama.

Estimasi angka setinggi itu dilontarkan oleh WHO lantaran tahu bahwa ada tantangan dalam pelaporan mengenai kematian. Termasuk di negara-negara berkembang.

Tren Penurunan Kasus Setahun Terakhir

Dalam rapat COVID-19 Emergency Committee pada Kamis, 4 Mei 2023 membahas mengenai tren penurunan kematian akibat penyakit virus itu. Lalu, penurunan rawat inap serta yang masuk ICU. Lalu, disebut juga sudah makin tinggi tingkat kekebalan populasi terhadap SARS-CoV-2.

Melihat tren yang ada saat ini, maka komite menyarankan sudah waktunya beralih ke manajemen pandemi COVID-19 jangka panjang seperti mengutip laman resmi WHO.

"COVID-19 saat ini menjadi masalah kesehatan yang berkelanjutan dan tidak lagi darurat kesehatan global (PHEIC)," kata Tedros.


Pencabutan Status Kedaruratan Kesehatan Global

Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus. (Liputan6/AFP)

Melihat tren COVID-19 yang terkontrol, COVID-19 Emergency Committee merekomendasikan kepada Tedros untuk mencabut status kedaruratan kesehatan global yang ditetapkan sejak Januari 2020.

"Komite tersebut merekomendasikan pada saya untuk mengakhiri status kedaruratan global kesehatan (dari COVID-19). Saya menerima rekomendasi itu," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.

"Dengan harapan besar, saya nyatakan COVID-19 berakhir sebagai darurat kesehatan global," kata Tedros.


COVID-19 Bukan Cuma Masalah Kesehatan, Aspek Lain Kena Dampaknya

Pengunjung memilih pakaian di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Senin (28/2/2022). Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan pemerintah tengah menyusun strategi untuk mengubah status pandemi Covid-19 menjadi endemi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Selama tiga tahun berhadapan dengan COVID-19, sektor kesehatan terkena imbas yang besar. Bahkan, hal ini memengaruhi aspek kesehatan lain seperti imunisasi pada anak yang mengalami kemerosotoan.

"Lalu, COVID-19 membuat banyak orang merasakan kesepian, terisolasi, kecemasan dan depresi," kata Tedros.

Selain itu, OVID-19 lebih dari sekedar krisis kesehatan lantaran perekonomian dunia seperti bisnis, perdagangan, travel pun kena imbasnya seperti kata Tedros.

Ketika setahun terakhir terjadi penurunan kasus COVID-19, rawat inap, serta yang masuk ICU, kehidupan masyarakat di beberapa negara sudah tampak seperti dulu kala.

"Tren ini telah memungkinkan sebagian besar negara-negara di dunia untuk kembali menjalani hidup seperti sebelum pandemi COVID-19," tuturnya.

 


Indonesia Perlu Refleksi dan Introspeksi

Epidemiolog Dicky Budiman. Foto: Dokumentasi Pribadi.

Pencabutan status kedaruratan kesehatan global COVID-19 membuat beberapa aturan memang telah dilonggarkan. Namun, ini bukanlah alasan untuk berhenti menerapkan mitigasi dan protokol kesehatan seperti disampaikan epidemiolog Dicky Budiman.

Menurut Dicky, pencabutan status kedaruratan global bukan berarti virus Corona langsung hilang secara otomatis. Butuh transisi beberapa tahun untuk masa transisi. 

“Pencabutan (status kedaruratan global) ini tidak berarti secara otomatis menghilangkan dampak langsung maupun tidak langsung dari COVID-19 itu sendiri. Akan butuh beberapa tahun untuk masa transisi. Itu yang harus disadari,” ungkapnya.

Dicky menuturkan perlu refleksi dan introspeksi terhadap apa yang telah dipelajari dan harus perbaiki. Mulai dari kemampuan mendeteksi penyakit berpotensi wabah secara dini, cara meresponnya, hingga mencari cara untuk mencegah hal yang serupa terjadi di masa depan.

“Ini yang jadi PR (pekerjaan rumah), terutama di sistem kesehatan. Tiga siklus ini masih menjadi tugas kita, karena di situ ada banyak sekali aspek yang harus kita perbaiki,” kata Dicky.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya