Kisah Ulama yang Dicibir karena Sholatkan Jenazah Waria

Bicara pengurusan jenazah terdapat kisah yang penuh hikmah. Kisah yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali ini menceritakan seorang ulama yang menunaikan kewajiban fardhu kifayahnya untuk menyolati jenazah. Namun, ulama tersebut malah mendapat cibiran dari sebagian masyarakat.

oleh Muhamad Husni Tamami diperbarui 09 Mei 2023, 04:30 WIB
Ilustrasi Jenazah (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Mengurus jenazah manusia yang baru meninggal merupakan fardhu kifayah bagi umat Islam. Artinya, ketika ada orang yang bertanggung jawab mengurusi jenazah seperti memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkan maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya.

Bicara pengurusan jenazah terdapat kisah yang penuh hikmah. Kisah yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali ini menceritakan seorang ulama yang menunaikan kewajiban fardhu kifayahnya untuk menyolati jenazah. Namun, ulama tersebut malah mendapat cibiran dari sebagian masyarakat.

Dikisahkan, suatu ketika ada seorang waria (mukhannats) meninggal dunia. Ulama tersebut menjalankan kewajiban fardhu kifayahnya dengan menyalatkan jenazah waria itu. Namun, respon masyarakat malah terbelah. Persoalan ulama menyalatkan jenazah waria menjadi obrolan di warung kopi. 

Sebagian masyarakat mendukung apa yang dilakukan ulama tersebut beserta jemaah lainnya. Namun, sebagian lainnya mencibir lantaran status waria mendapat stigma dari masyarakat.

“Dia (waria) itu kan fasik durjana,” kata sebagian masyarakat yang mencibir.

Awalnya sang ulama tak merespons hal tersebut. Namun karena masyarakat yang tidak setuju masih memperbincangkan masalah sholat jenazah waria, maka ulama itu angkat bicara untuk menjelaskan dan mengedukasi masyarakat.

 

Simak Video Pilihan Ini:


Penjelasan Ulama

Ilustrasi Foto Jenazah (iStockphoto)

“Kalian bisa berdamai dengan orang-orang yang curang dalam timbangan memiliki dua versi untuk mengambil dan menerima. Tetapi ini (ulama itu menunjuk pada jenazah waria) kefasikannya menyangkut dirinya dan Allah. Sedangkan orang-orang yang curang dalam timbangan berbuat zalim terhadap manusia. Penerimaan maaf atas kezaliman ini agak jauh dari kenyataan. Sedangkan kejujuran dalam urusan timbangan ini masalah berat,” kata ulama tersebut seperti dikutip dari NU Online, Senin (8/5/2023).

Ulama mengatakan demikian karena pada zaman itu masih sering terjadi kecurangan dalam timbangan seperti yang digambarkan dalam surat Al-Muthaffifin. Kecurangan dalam timbangan dianggap suatu tindakan yang biasa dilakukan. 

Ulama itu mengingatkan masyarakat bahwa sholat jenazah atas waria tersebut termasuk kewajiban yang harus dijalankan oleh umat Islam. Perkara dosa individu yang dilakukan waria tersebut selama di dunia menjadi hak Allah. Hak allah dibangun di atas dasar maaf-Nya.

Sementara, kecurangan dalam timbangan merupakan tindakan kezaliman terhadap manusia yang sulit dimaafkan karena melibatkan ridha orang lain. Masyarakat kerap mempersoalkan ulama yang menyalati jenazah waria, tetapi mereka diam saja atas kezaliman yang terjadi di samping mereka.

Kisah yang dinukil dari NU Online ini terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin (Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H), juz II, halaman 89. Kisah ini diangkat ketika Imam Al-Ghazali menjelaskan keutamaan keadilan dan tindakan menjauhi kezaliman dalam mata pencaharian dan penghidupan. Wallahu’alam.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya