Liputan6.com, Jakarta - Ponsel fitur atau feature phone yang minim spesifikasi mungkin sudah ketinggalan jaman jika dibandingkan dengan HP masa kini. Namun siapa sangka, belakangan ini Generasi Z alias Gen Z di Amerika Serikat (AS) malah beralih dari smartphone ke ponsel fitur.
Untuk diketahui, ponsel fitur adalah ponsel dengan sejumlah fungsi dan fitur yang lebih sederhana dibandingkan smartphone. Akan tetapi, jenis ponsel yang kerap disebut dumb phone ini lebih canggih dibandingkan ponsel jadul biasa.
Advertisement
Feature phone umumnya tidak dapat mengunduh aplikasi, tetapi telah memiliki beberapa fitur sederhana yang dapat terhubung dengan internet, seperti email dan web.
Mengutip Techspot, Selasa (9/5/2023), generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 kembali menggunakan ponsel fitur bahkan kini menjadi tren, karena ingin membatasi screen time untuk melindungi kesehatan mental mereka.
Mengutip situs Kementerian Kesehatan, screen time didefinisikan sebagai waktu yang dihabiskan untuk bermain gadget, komputer, video game, atau menonton televisi. Artinya, screen time menyangkut waktu penggunaan perangkat elektronik yang disertai layar.
Adapun menurut Business Insider, gerakan kembali menggunakan ponsel fitur ini dipopulerkan oleh Klub Luddite, sebuah grup yang didirikan oleh remaja di New York pada 2022. Mereka beralih dari smartphone ke ponsel flip, sehingga mendorong meningkatnya permintaan ponsel serupa.
Di samping telah memicu kebangkitan ponsel fitur, tren ini juga disebut sebagai upaya memutus hubungan dari media sosial dan menjauh dari persona yang kerap ditampilkan Gen Z secara online.
Penjualan Ponsel Fitur di Amerika Serikat Meningkat
Meningkatnya permintaan feature phone ini juga dirasakan oleh HMD Global. Perusahaan pembuat ponsel Nokia tersebut, melaporkan penjualan feature phone model flip sangat kuat pada tahun 2022 dan meningkat dari tahun sebelumnya.
Tercatat, perusahaan ini berhasil menjual puluhan ribu ponsel fitur setiap bulannya di pasar AS.
Sekadar informasi, HP dengan gaya awal tahun 2000-an telah lama populer di negara berkembang, seperti Timur Tengah, India, dan Afrika kerena harganya yang murah.
Wilayah tersebut menghasilkan 80 persen dari total penjualan ponsel fitur di tahun 2022, menurut penelitian Counterpoint yang dikutip dari CNBC, Selasa (8/5/2023).
Peningkatan popularitas ponsel fitur juga telah menguntungkan perusahaan, seperti Light. Perusahaan pembuat Light Phone 2 ini dikenal sebagai perangkat yang mampu meningkatkan produktivitas berkat kesederhanaannya.
Hal ini memungkinkan pengguna terhindar dari gangguan dan distraksi yang umumnya ditemukan di smartphone.
Advertisement
Gen Z di AS Telah Rasakan Dampak Negatif Media Sosial
Potensi dampak buruk bagi kesehatan mental yang timbul dari aplikasi media sosial rupanya telah dirasakan Gen Z. Media sosial dapat membuat kecanduan dan merusak mental anak muda.
Validasi media sosial menjadi topik populer di kalangan Gen Z belakangan ini. Kebutuhan validasi dari media sosial bukan hal yang bisa dianggap remeh karena kerap menimbulkan terganggunya kesehatan mental.
Melihat masalah-masalah yang timbul pada remaja, Utah, salah satu negara bagian di AS mendorong undang-undang media sosial yang mewajibkan izin orang tua bagi remaja yang hendak membuka akun.
Kepada CNBC, Jose Briones selaku moderator komunitas subreddit r/dumbphones mengatakan, ia dapat melihat populasi Gen Z tertentu sudah merasa bosan dengan layar.
“Mereka tidak tahu apa yang terjadi dengan kesehatan mental dan mereka berusaha melakukan pengurangan,” tutur Briones.
Komunitas tersebut memiliki sekitar 18.000 anggota. Sebagian besar dari mereka kerap memposting pengaturan ponsel fitur mereka, berbagi tips menonaktifkan smartphone, dan trik seputar dukungan teknis di ponsel fitur yang kadang tidak jelas.
Validasi Media Sosial, Salah Satu Penyebab Terganggunya Kesehatan Mental
Di sisi lain, salah satu penyebab terganggunya kesehatan mental bagi pengguna media sosial adalah kebutuhan validasi yang berlebihan. Dalam konteks percakapan di media sosial, validasi adalah sesuatu yang mengacu pada pengakuan atau perasaan diterimanya seseorang di lingkungan sosial.
Dengan kemajuan internet saat ini, banyak orang menilai seberapa berharganya hidup mereka berdasarkan bagaimana mereka diterima di media sosial, yang diukur berdasarkan jumlah likes, komentar, dan tolok ukur lainnya.
Dikutip dari Gleneagles Hospitals, wajar jika kita ingin disukai orang lain dan terlibat dalam sebuah jaringan pertemanan. Hanya saja, kadang beberapa orang tampak begitu obsesif dengan cara memeriksa postingan untuk melihat apakah orang lain menyukai atau berkomentar.
Baca Juga
Tentu saja tidak salah untuk menjadikan media sosial sebagai alat validasi diri sendiri. Namun, afirmasi dan validasi dari media sosial dapat menimbulkan efek negatif pada kesehatan mental.
Advertisement