Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen kembali memperingatkan jika Amerika Serikat tidak menaikkan plafon utang dapat berdampak terhadap ekonomi AS.
Jika AS tidak menaikkan plafon utang, pemerintah AS berpotensi tidak dapat membayar upah, kesejahteraan dan pembayaran lainnya. "Ini tugas Kongres untuk melakukan ini. Jika mereka gagal melakukannya, kita akan mengalami bencana ekonomi dan keuangan yang kita buat sendiri,” kata dia dikutip dari BBC, Senin (8/5/2023).
Advertisement
Lalu dengan ekonomi Amerika Serikat yang terancam jika plafon utang tak dinaikkan, bagaimana dampaknya terhadap Indonesia?
Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet, ekonomi AS terancam karena sentimen plafon utang dapat berdampak langsung dan tidak langsung ke Indonesia. Dampak langsung ke Indonesia akan mempengaruhi perdagangan Amerika Serikat dan Indonesia. Ekonomi AS yang terhambat jika gagal bayar utang akan pengaruhi impor AS ke sejumlah mitra dagang termasuk Indonesia.
"Dalam jangka pendek, ekspor produk Indonesia ke Amerika Serikat ada penyesuaian, paling buruk penurunan, ini jika level krisis utang (AS-red) besar,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia pada Maret 2023 mencapai USD 23,50 miliar atau naik 9,89 persen dibanding ekspor Februari 2023. Dibandingkan, Maret 2022, nilai ekspor turun 11,33 persen. Adapun ekspor nonmigas ke Amerika Serikat termasuk terbesar. Tercatat ekspor nonmigas Maret 2023 ke Amerika Serikat mencapai USD 1,97 miliar.
Sedangkan dampak tidak langsung ke Indonesia, Rendy menilai, sentimen tersebut bisa negatif dan positif di pasar keuangan. Dari sisi positif, AS berpotensi gagal bayar utang dapat mendorong investor menempatkan dana di luar AS. Rendy menilai, ada potensi investor menempatkan dana di pasar negara berkembang termasuk Indonesia yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi seperti di obligasi.
"Akan ada inflow di pasar Indonesia. Apalagi imbal hasil obligasi Indonesia lebih baik, obligasi tenor 10 tahun, imbal hasilnya 6 persen, dan ditambah ada sentimen pemulihan ekonomi,” kata dia.
Dampak Tak Langsung
Akan tetapi, secara tidak langsung potensi gagal bayar utang AS juga dapat berdampak negatif. Menurut Rendi, ada potensi investor mencari tempat investasi relatif stabil jika ekonomi global dinilai belum bagus. “Investor cari safe haven seperti di Jepang, atau tempat yang relatif stabil. Ini dapat mendorong aliran dana ke luar dari Indonesia,” kata dia.
Adapun bagaimana untuk antisipasi potensi gagal bayar utang AS itu, Rendy menilai pemerintah Indonesia akan kalkulasi dampak penurunan ekspor ke AS, salah satunya dengan mencari pasar lain seperti China. Hal ini untuk pertahankan kinerja ekspor.
Selain itu, jika melihat dampak tidak langsung ke pasar keuangan Indonesia, Rendy melihat Bank Indonesia dapat meredam jika terjadi aliran dana investor asing yang keluar dengan menaikkan suku bunga.
“Bank Indonesia juga bisa intervensi di pasar valas kalau pelemahan terjadi. Karena nilai tukar pengaruhi psikologis pasar dan inflasi. Rupiah melemah akan membuat barang impor lebih mahal,” tutur dia.
Advertisement
Janet Yellen Sebut Ekonomi AS Terancam Jika Gagal Naikkan Plafon Utang
Sebelumnya, Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen memperingatkan kegagalan menaikkan plafon utang AS dapat menimbulkan konsekuensi yang mengerikan.
Dikutip dari BBC, Senin (8/5/2023), tanpa kesepakatan untuk meningkatkan apa yang dapat dipinjam oleh pemerintah federal, uang tersebut dapat habis pada awal Juni 2023. Pada saat itu, pemerintah federal Amerika Serikat mungkin tidak dapat membayar upah, kesejahteraan dan pembayaran lainnya.
"Ini tugas Kongres untuk melakukan ini. Jika mereka gagal melakukannya, kita akan mengalami bencana ekonomi dan keuangan yang kita buat sendiri,” ujar dia.
Saat wawancara dengan ABC News, Janet Yellen menuturkan, negoisasi plafon utang tidak boleh dilakukan dengan “senjata” kepada warga AS. Namun, waktu hampir habis untuk kesepakatan.
Pada Selasa, 9 Mei 2023, Presiden AS Joe Biden akan bertemu dengan pemimpin Republik untuk meminta persetujuan peningkatan batas utang USD 31,4 triliun saat ini.
Adapun plafon utang ada jumlah uang yang diizinkan oleh Departemen Keuangan AS untuk dipinjam guna membayar tagihan negara. Kewajiban tersebut termasuk tunjangan jaminan sosial dan perawatan kesehatan, pengembalian pajak, gaji militer dan pembayaran bunga atas utang negara yang belum terbayar.
Kongres biasanya mengikat persetujuan plafon utang yang lebih tinggi dengan ketentuan anggaran dan langkah-langkah pengeluaran. Bulan lalu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk menaikkan batas atas yang saat ini diprediksi sama dengan 120 persen dari pertumbuhan ekonomi AS. Namun, hal itu termasuk dalam RUU pemotongan pengeluaran selama dekade berikutnya.
Presiden AS Joe Biden Ingin Plafon Utang Naik Tanpa Syarat
Presiden AS Joe Biden ingin Kongres setuju menaikkan plafon utang, tanpa syarat. Presiden Biden mengatakan tidak akan bernegosiasi dengan kenaikan itu dan akan membahas pemangkasan anggaran setelah masalah itu diselesaikan.
Yellen menuturkan, kegagalan untuk menemukan kesepakatan lintas partai tentang masalah ini dapat akibatkan krisis konstitusional.
Pemerintahan Biden sedang mempertimbangkan apakah ada ruang dalam konstitusi bagi presiden untuk terus mengeluarkan utang baru tanpa persetujuan kongres. Namun, pekan ini akan berusaha untuk hindari skenario itu.
“Kita seharusnya tidak sampai pada titik di mana kita perlu mempertimbangkan apakah presiden dapat terus menerbitkan surat utang. Ini akan menjadi krisis konstitusional,” ujar dia kepada ABC.
Plafon utang telah dinaikkan, diperpanjang, atau direvisi 78 kali sejak 1960. Pada akhirnya ancaman gagal bayar pemerintah termasuk kewajiban utang selalu berujung pada kompromi. Amerika Serikat tidak pernah gagal bayar, sebuah peristiwa yang menjungkirbalikkan pasar keuangan global dan memiliki dampak ekonomi yang luas.
Kepada Kongres melalui sebuah surat, Yellen menyebutkan menunda resolusi juga memiliki konsekuensi negatif.
“Kami telah belajar dari kebuntuan batas utang masa lalu bahwa menunggu hingga menit terakhir untuk menangguhkan atau menaikkan batas utang dapat menyebabkan kerugian serius bagi kepercayaan bisnis dan konsumen, meningkatkan biaya pinjaman jangka pendek untuk pembayar pajak, dan berdampak negatif terhadap peringkat kredit Amerika Serikat,” tulis dia.
Advertisement