Liputan6.com, Jakarta - Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Beni Satria merinci alasan penolakan RUU Kesehatan oleh organisasi profesi.
Menurutnya, proses pembentukan RUU ini menimbulkan tanda tanya di kalangan IDI dan organisasi profesi lain. Pihak IDI mempertanyakan, apakah draf tersebut merupakan inisiasi pemerintah atau DPR.
Advertisement
“Kemudian di bulan Februari ada dari baleg bahwa ini adalah inisiatif DPR. Nah, kemudian kami mempelajari draf RUU Kesehatan itu,” ujar Beni saat aksi demo RUU Kesehatan Omnibus Law di depan gedung Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Jakarta, Senin 8 Mei 2023.
Poin Penolakan RUU Kesehatan oleh Organisasi Profesi
Setelah mempelajari draf tersebut, pihak Beni menemukan beberapa poin mengapa RUU Kesehatan ini harus ditolak. Poin-poin ini adalah:
- Draf yang IDI pelajari dan kaji terkait pelayanan kesehatan justru menghilangkan unsur-unsur lex specialis di dalam Undang-Undang Profesi.
- Dalam draf ada penghapusan anggaran yang sudah ditetapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Jadi, pemerintah mengusulkan agar anggaran yang ditetapkan sebesar 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) itu dihapuskan.
“Itu tentu kami tolak, kenapa? Karena masyarakat pasti terabaikan di sini. Alokasi 10 persen saja tidak terserap secara maksimal, apalagi kalau itu dihapuskan. Ini menjadi persoalan khusus,” kata Beni.
- Seluruh undang-undang yang mengatur dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan, rumah sakit dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pencabutan ini dinilai mengganggu perlindungan dan hak masyarakat, tambah perwakilan dari organisasi profesi kesehatan itu.
Menghapus Unsur Organisasi Profesi Satu-satunya
Poin selanjutnya yang membuat IDI menolak RUU Kesehatan adalah:
- Pemerintah menghapuskan satu-satunya unsur organisasi profesi. Padahal, Beni menilai organisasi profesi bisa memberi perlindungan pada masyarakat dan sudah diatur dalam undang-undang.
“Undang-undang profesi itu hak wajib satu untuk memberi perlindungan kepada masyarakat. Jangan sampai ada double standard, dobel profesi yang kemudian menimbulkan kegaduhan dan masyarakat tidak mendapatkan haknya.”
- Terkait pasal aborsi, tadinya diatur maksimal 8 minggu. Dalam RUU ini, aborsi dibolehkan hingga 14 minggu di mana janin sudah terbentuk. Ini dinilai bukan lagi kategori aborsi melainkan pembunuhan janin.
- Terkait legalisasi tembakau dan alkohol. IDI khawatir banyak masyarakat yang tidak terlindungi dari sisi kesehatan.
Advertisement
Kriminalisasi Nakes
Beni juga membahas soal kriminalisasi tenaga kesehatan. Dalam RUU ini, banyak pasal pemidanaan tenaga kesehatan.
“Hubungan dokter dan tenaga kesehatan dengan masyarakat adalah hubungan keperdataan kesehatan. Maksudnya adalah upaya maksimal, tidak boleh menjanjikan hasil. Pasien yang datang ke dokter maka dokter sesuai sumpahnya akan mengobati secara maksimal supaya mencapai kesembuhan.”
“Tapi yang terjadi adalah perbedaan, kalau terjadi sengketa atau permasalahan tentu diarahkan pada penyelidikan dan pemidanaan. Nah kalau ini terjadi maka akan penuh penjara yang isinya tenaga kesehatan. Karena untuk membuktikan adanya unsur kelalaian tidak bisa menggunakan azas pidana umum yang diatur dalam KUHP.”
Beri Waktu 20 Hari
Pada Senin, 8 Mei 2023 kemarin, IDI dan organisasi profesi telah melakukan aksi damai di depan gedung Kemenkes. Lima perwakilan IDI pun diminta masuk untuk berdiskusi.
Saat diskusi, poin-poin di atas lah yang disampaikan. Dan usai diskusi, Beni menerangkan bahwa pihaknya menunggu keputusan dari Kemenkes.
“Mereka (Kemenkes) akan mempertimbangkan itu dan kami harap pertimbangannya tidak terlalu lama. Kita akan lihat terus reaksinya seperti apa. Apakah kita terus dikasih gula manis-manis atau memang direalisasikan.”
“Kami meminta waktu sesegera mungkin dua atau 20 hari ke depan, kita akan lihat. Jika tidak ada tindak lanjut dari Kemenkes, kita akan lakukan aksi seperti ini lagi dan ini akan seluruh Indonesia,” ujar Beni.
Advertisement