Liputan6.com, Jakarta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan organisasi profesi (OP) kesehatan lain telah melancarkan aksi damai penolakan RUU Kesehatan di depan Gedung Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Jakarta pada Senin, 8 Mei 2023.
Kini, IDI, Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) tengah menunggu keputusan Kemenkes dalam waktu dua hingga 20 hari.
Advertisement
Namun, jika pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law tetap dilakukan dan bahkan disahkan, maka pihak organisasi profesi kesehatan ini akan kembali melakukan aksi damai. Bahkan, seorang orator menyerukan bahwa para dokter tak segan melakukan aksi mogok kerja nasional.
Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Beni Satria pun memberi penjelasan soal aksi mogok kerja nasional ini.
“Mogok nasional yang kami lakukan adalah tutup pelayanan untuk non-emergency. Sama seperti cuti Lebaran, kami libur 4, 5, 7 hari enggak ada yang ributkan itu,” ujar Beni saat aksi damai di depan Gedung Kemenkes, Senin 8 Mei 2023.
Dengan begitu, aksi mogok kerja bukan berarti pelayanan rumah sakit dihentikan seluruhnya.
“Tapi pelayanan IGD tetap jalan, ICU tetap jalan, operasi tetap jalan. Hanya yang non-emergency artinya yang tidak gawat darurat.”
Beni menggarisbawahi, aksi mogok kerja ini tidak dilarang konstitusi. Yang dilarang adalah jika ada masyarakat yang membutuhkan penanganan gawat darurat tapi tidak ditangani.
Sudah Diskusi dengan Kemenkes
Sebelum ditemui awak media, Beni telah melakukan diskusi dengan pihak Kementerian Kesehatan.
Dalam diskusi tersebut, Beni dan perwakilan organisasi profesi kesehatan lain menyampaikan beberapa alasan mengapa pihaknya menolak RUU Kesehatan. Poin-poinnya adalah:
- Draf yang IDI pelajari dan kaji terkait pelayanan kesehatan justru menghilangkan unsur-unsur lex specialis di dalam Undang-Undang Profesi.
- Dalam draf ada penghapusan anggaran yang sudah ditetapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Jadi, pemerintah mengusulkan agar anggaran yang ditetapkan sebesar 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) itu dihapuskan.
“Itu tentu kami tolak, kenapa? Karena masyarakat pasti terabaikan di sini. Alokasi 10 persen saja tidak terserap secara maksimal, apalagi kalau itu dihapuskan. Ini menjadi persoalan khusus,” kata Beni.
Advertisement
Poin Selanjutnya
Poin selanjutnya yang membuat IDI menolak RUU Kesehatan adalah:
- Seluruh undang-undang yang mengatur dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan, rumah sakit dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pencabutan ini dinilai mengganggu perlindungan dan hak masyarakat.
- Pemerintah menghapuskan satu-satunya unsur organisasi profesi. Padahal, Beni menilai organisasi profesi bisa memberi perlindungan pada masyarakat dan sudah diatur dalam undang-undang.
“Undang-undang profesi itu hak wajib satu untuk memberi perlindungan kepada masyarakat. Jangan sampai ada dobel standar, dobel profesi yang kemudian menimbulkan kegaduhan dan masyarakat tidak mendapatkan haknya.”
- Terkait pasal aborsi, tadinya diatur maksimal 8 minggu. Dalam RUU ini, aborsi dibolehkan hingga 14 minggu di mana janin sudah terbentuk. Ini dinilai bukan lagi kategori aborsi melainkan pembunuhan janin.
- Terkait legalisasi tembakau dan alkohol. IDI khawatir banyak masyarakat yang tidak terlindungi dari sisi kesehatan.
Aturan Soal Hukuman Pidana Tenaga Kesehatan
Beni juga membahas soal kriminalisasi tenaga kesehatan. Dalam RUU ini, banyak pasal pemidanaan tenaga kesehatan.
“Hubungan dokter dan tenaga kesehatan dengan masyarakat adalah hubungan keperdataan kesehatan. Maksudnya adalah upaya maksimal, tidak boleh menjanjikan hasil. Pasien yang datang ke dokter maka dokter sesuai sumpahnya akan mengobati secara maksimal supaya mencapai kesembuhan.”
“Tapi yang terjadi adalah perbedaan, kalau terjadi sengketa atau permasalahan tentu diarahkan pada penyelidikan dan pemidanaan. Nah kalau ini terjadi maka akan penuh penjara yang isinya tenaga kesehatan. Karena untuk membuktikan adanya unsur kelalaian tidak bisa menggunakan azas pidana umum yang diatur dalam KUHP,” ujar Beni.
Advertisement