Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pemerintah sedang berupaya menyusun pendekatan yang lebih terorganisir untuk pengentasan kemiskinan di Tanah Air. Upaya itu ditempuh terutama untuk mencapai target menghilangkan kemiskinan ekstrem pada tahun 2024 mendatang.
Menkeu mencatat, jumlah penduduk Indonesia dengan kemiskinan ekstrem pada Maret 2022 mencapai sekitar 5,6 juta jiwa (berkurang 220 ribu jiwa dibandingkan Maret 2021). Maka dari itu, diperlukan percepatan untuk mencapai target kemiskinan ekstrem sebesar 0 persen pada akhir tahun 2024.
Advertisement
Sebagai informasi, Garis Kemiskinan Ekstrem di Indonesia pada 2022 lalu adalah mereka yang memiliki penghasilan Rp 11.633 per kapita/hari (Rp 348.990 per kapita/bulan).
Dalam acara peluncuran laporan Bank Dunia berjudul Indonesia Poverty Assessment di Jakarta, pada Selasa (9/5), Sri Mulyani membeberkan sederet karakteristik masyarakat miskin di Indonesia.
"Pertama, lebih dari 66 persen rumah tangga sangat miskin dengan kepala keluarga dengan latar pendidikan hanya tamatan SD atau lebih rendah," papar Menkeu.
Selain itu, tercatat 1,8 persen rumah tangga sangat miskin yang memiliki kepala rumah tangga lulusan pendidikan tinggi. Kehadiran balita dan lansia dalam rumah tangga juga mempengaruhi dinamika kemiskinan ekstrim di Indonesia.
"Sekitar 60 persen rumah tangga sangat miskin di Jawa Tengah memiliki lansia, dan 75 persen rumah tangga sangat miskin di Kepulauan Riau memiliki balita," tulis Menkeu.
Adapun paparan Sri Mulyani lainnya yang menunjukkan, 57 persen kepala rumah tangga di rumah tangga yang sangat miskin tidak bekerja serta33 persen bekerja di sektor pertanian, dan sekitar 10 persen bekerja di sektor industri dan lainnya.
Profil Kemiskinan
Tetapi Menkeu juga mencatat, jika dilihat dari profil kemiskinan, situasi kemiskinan di provinsi-provinsi di Indonesia beragam. Salah satunya di Papua dan Maluku, yang memiliki situasi kemiskinan yang berbeda dengan Jawa, begitu juga di daerah lainnya.
"Jadi saya pikir pendekatannya harus berbeda," ujar Sri Mulyani.
"Di Papua, kita punya banyak kebijakan afirmasi, tapi pelaksanaannya menjadi sangat menantang - tidak hanya dari segi kapasitas, tapi juga karena populasi yang sangat tersebar," bebernya.
Advertisement
Selanjutnya
"Jadi ini saya tidak lagi berbicara tentang bagaimana Anda akan menghadapi kemiskinan ekstrim, tetapi Anda benar-benar melihat realitas yang sebenarnya - Di mana area yang sebenarnya dapat Anda dorong lebih banyak untuk memberantas kemiskinan ekstrem?," tambah Sri Mulyani.
"Setiap negara atau negara di dunia, mereka semua menghadapi tantangan. Jadi tidak terkecuali Indonesia. Jadi kami mencoba untuk terus menggunakan basis bukti data tetapi pada saat yang sama, juga mempertahankan sistem politik yang memungkinkan semua orang di mana pun mereka berada, dapat menyatakan dapat berpartisipasi dalam tingkat kebijakan ini," pungkasnya.