Liputan6.com, Jakarta - Badan kesehatan dunia WHO secara resmi mencabut status darurat kesehatan global untuk Covid-19. Namun begitu, penyakit mematikan tersebut masih diwaspadai di berbagai negara, termasuk Indonesia.
COVID-19 ini disebabkan oleh coronavirus jenis baru yang diberi nama SARS-CoV-2. Virus ini awal mulanya terdeteksi di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok pada bulan Desember 2019 dan oleh WHO ditetapkan sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020.
Baca Juga
Advertisement
Ternyata, Tiongkok atau China bukan kali pertama dilanda wabah penyakit mematikan. Serupa dengan pandemi Covid-19, wabah penyakit atau thaun dalam istilah Islam itu juga merenggut ratusan ribu hingga jutaan nyawa.
Mengutip tulisan Ustadz Yuhansyah Nurfauzi, apoteker dan pegiat farmasi, anggota MUI Cilacap, bila menengok sejarah pandemi di masa silam, bangsa China cukup kenyang dengan pengalaman wabah.
Pandemi-pandemi besar bahkan ditengarai muncul dari daerah di China maupun sekitar China. Sebelum Covid-19, di China muncul berbagai wabah, salah satunya adalah sampar atau pes.
"China ternyata juga disebut Abdullah bin Abbas RA, sebagai wilayah yang akan sering dilanda oleh pandemi atau thaun dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya," tulisnya di laman keislaman NU Online.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah bangsa yang satu ini sangat akrab dengan pandemi penyakit mematikan? Bagaimana ulama Islam meninjau keterkaitan sejarah antara pandemi dengan Bangsa China? Adakah riwayat yang berasal dari sahabat nabi tentang wilayah yang sering dilanda pandemi? Mungkinkah China adalah salah satunya?
Simak Video Pilihan Ini:
Keturunan Yafits bin Nuh AS
Bangsa China yang di dunia ini tersebar di banyak wilayah merupakan keturunan salah satu anak Nabi Nuh yang selamat setelah banjir besar. Menurut sejarawan muslim China, anak Nabi Nuh yang bernama Yafits bin Nuh pernah tinggal di China dan memiliki keturunan di sana.
Sejarawan sekaligus penulis muslim terbesar dari China yang bernama Liu Chih pada tahun 1724 menyatakan bahwa Nabi Nuh memiliki beberapa orang anak. Mereka bernama Sam, Ham, dan Yafits yang tersebar di berbagai wilayah dunia, termasuk ada salah satunya yang mencapai China.
“San-mu (Sam) adalah bapaknya orang Arab (bagian tengah dari bumi), Ha-mu (Ham) di Eropa, yaitu belahan bumi bagian barat, dan anaknya yang ketiga bernama Ya-fu-hsi (Yafits), mendiami belahan bumi bagian timur, yang sekarang dikenal dengan Ch’ih-na (China).” (Leslie, 1984, Japhet in China, Journal of the American Oriental Society, Vol.104 No.3: halaman 403-409)
Para peneliti lainnya juga mengidentifikasi bahwa Yafits adalah Fu Hsi, Kaisar China legendaris yang pertama. Pendapat ini ditulis oleh Li Huan-i dan Lan Tzu-hsi pada abad ke-19.
Li Huan-i menulis bahwa Yafits adalah Kaisar Fu Hsi yang merupakan keturunan Nabi Adam generasi ke-11. Yafits menyeberangi gurun dari Jazirah Arabia. Lan Tzu-hsi juga menegaskan bahwa nama Fu Hsi dalam Bahasa Arab adalah Yafits.
Menariknya, daerah yang ditinggali oleh keturunan Yafits bin Nuh pernah disebutkan oleh salah seorang sahabat nabi, Abdullah bin Abbas radliyallahu ‘anhu, sebagai wilayah yang akan sering dilanda oleh pandemi atau thaun dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya.
Imam As-Suyuthi menyebutkan hal ini dalam kitabnya “Ibnu Sa’ad dan Ibnu Jarir dalam Tarikh-nya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, keturunan Sam tinggal di Al-Mijdal, yaitu wilayah yang menyenangkan. Keturunan Ham tinggal di Majra Janub dan ad- Dabur, kemudian thaun dihilangkan dari mereka. Adapun keturunan Yafits tinggal di Shafwah dan Majra Syamal, dan mereka dilanda thaun.” (Imam Suyuthi, Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun [Damaskus: Darul Qalam], tanpa tahun, halaman 174-175)
Riwayat itu terbukti dengan fakta bahwa wabah maut hitam juga pernah melanda China. Dalam kitab Al-Maqamah al-Wardiyah, yaitu kitab yang membahas kabar tentang wabah, Syekh Zainuddin Umar bin Muzhaffar al-Wardi menceritakan:
“Thaun telah membuat keresahan dan kematian. Kabar kemunculannya memulai kegelapan, mengapa dia harus datang, dari tahun 15 dan berlanjut. Tidak ada satu pun yang mampu menghalanginya melanda China. Bahkan, benteng yang kuat pun tidak mampu menghadangnya.” (Ibn al-Wardi, al-Maqamah al-Wardiyah dalam Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun, Penerbit Darul Qalam, Damaskus, tanpa tahun: 195-196).
Advertisement
Wabah Maut Hitam, Sampar dan Covid-19
Wabah Maut Hitam sebagai pandemi thaun atau sampar yang dimulai pada abad ke-14 dan berlanjut hingga abad ke-15 dikenal juga dengan Black Death. Wabah yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis ini dimulai di China sebagaimana kisah dalam Kitab Al-Maqamah al-Wardiyah di atas.
Setelah bermula dari China, wabah tersebut kemudian tersebar hingga ke Eropa melalui rute perdagangan Jalur Sutera. Apabila bakteri penyebab sampar masuk ke tubuh manusia, maka bisa mengakibatkan kematian dalam 18-24 jam.
Gangguan yang ditimbulkan bisa berupa infeksi pada kelenjar getah bening sehingga memunculkan benjolan (bubonic plague) di bagian tubuh tertentu seperti ketiak dan selangkangan. Selain itu, infeksi paru-paru parah (pneumonic plague) juga bisa terjadi dan sangat menular melalui droplets yang tersebar di udara dari orang yang batuk atau bersin.
Bakteri Yersinia pestis ini ternyata merupakan bakteri endemik di China yang ditularkan melalui kutu. Proses penularan bakteri ini di China melibatkan tikus atau hewan pengerat lain yang mengandung kutu. Sejarah di China mencatat bahwa penularan terjadi ketika ada kontak dengan hewan pengerat tersebut atau manusia mengonsumsi hewan pengerat yang terinfeksi itu sebagai makanan.
Daerah China bagian tengah, selatan, dan barat memang memiliki populasi hewan pengerat yang tinggi. Faktor kepadatan lingkungan yang ditinggali manusia juga memberikan kontribusi terhadap penularan wabah thaun. Wabah sampar yang besar juga pernah terjadi kembali pada tahun 1855 yang bermula dari salah satu daerah di China bernama Yunnan.
Salah satu analisis yang mengemuka tentang penyebab pandemi di Yunnan, China, disebutkan dalam penelitian seorang ahli sosiologi kedokteran asal Australia yang mengkhususkan penelitiannya terhadap China, sebagai berikut:
“Didorong oleh peningkatan perdagangan global dan masuknya mayoritas etnis Han yang ingin mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah Cina barat daya (di mana banyak tikus dan kutu adalah pembawa bakteri wabah), maka wabah ketiga pada abad ke-19 berkembang menjadi pandemi global. Pandemi pes terutama disebarkan oleh tikus dan kutu dari kapal-kapal dagang. Di Cina dan India saja, dua belas juta orang meninggal. Ancaman itu dianggap aktif di China hingga tahun 1960 ketika kasus yang dilaporkan ke WHO turun hingga di bawah 200 per tahun.” (Brophy, 2020, Recurring Nightmare: The Plague Visits Beijing, dalam China Dreams, Australian Centre on China in The World, halaman 167-171).
Berdasarkan pengalaman sejarah tersebut, daerah di China memang sering mengalami pandemi. Keterlibatan bangsa Han, yaitu penduduk utama wilayah China saat ini dalam mengeksploitasi wilayahnya sangat jelas dalam berbagai pengalaman wabah tersebut.
Seolah menjawab pernyataan Sahabat Abdullah bin Abbas yang sejak lama telah menyebutkan bahwa wilayah yang dihuni oleh keturunan Yafits akan sering terkena wabah. China juga memiliki riwayat untuk melaporkan kasus-kasus wabah ke badan dunia seperti WHO dalam jangka waktu yang panjang.
Oleh karena itu, kewaspadaan negara-negara lain masih tetap perlu dipertahankan meskipun saat ini Pemerintah China mengklaim keberhasilannya dalam mengatasi pandemi. Jangan sampai kasus Covid-19 menyebar kembali di seluruh dunia karena lengahnya bangsa-bangsa lain dalam mengantisipasinya secara dini.
Tim Rembulan