Liputan6.com, Ankara - Pada tahun di mana Republik Turki akan menandai ulang tahun ke-100, negara itu diawasi dengan ketat untuk melihat apakah oposisi yang bersatu dapat menggulingkan Recep Tayyip Erdogan (69).
Pemilu Turki yang berlangsung pada 14 Mei 2023 dapat memperpanjang era Erdogan atau sebaliknya mengantar negara itu ke arah baru.
Advertisement
Kemal Kilicdaroglu (74), pemimpin Partai Rakyat Republik (Cumhuriyet Halk Partisi atau CHP), diyakini banyak pihak sebagai penantang utama Erdogan yang telah 20 tahun berkuasa. Kilicdaroglu adalah calon presiden dari aliansi enam partai yang bertekad mengembalikan Turki ke sistem parlementer dengan check and balances.
Kilicdaroglu juga meraih dukungan dari partai pro-Kurdi, yang memperoleh sekitar 10 persen suara. Jajak pendapat menunjukkan Kilicdaroglu sedikit unggul.
Banyak yang meyakini bahwa pemilu Turki akan berlangsung dua putaran.
Erdogan sendiri disebut-sebut telah kehilangan pijakan di tengah ekonomi yang goyah dan krisis biaya hidup. Pemerintahannya juga telah dikritik atas respons yang lamban pasca gempa 6 Februari 2023 yang menewaskan puluhan ribu orang.
"Untuk pertama kalinya dalam 20 tahun sejak Erdogan berkuasa, dia menghadapi tantangan nyata," ungkap Direktur German Marshall Fund di Ankara Ozgur Unluhisarcikli seperti dilansir AP, Kamis (11/5/2023).
Unluhisarcikli menggambarkan pemilu Turki sebagai pertarungan dua visi.
"Di satu sisi ada visi Presiden Erdogan tentang keamanan negara, monist society, kekuasaan yang terkonsolidasi di tangan eksekutif," kata Unluhisarcikli.
"Di lain sisi, ada visi, yang diwakili oleh Kilicdaroglu, tentang Turki yang lebih pluralis... pembagian kekuasaan yang jelas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif."
Erdogan bertarung untuk masa jabatan presiden ketiga. Sebelumnya, dia juga menduduki tiga masa jabatan perdana menteri.
Dia telah curi start kampanye pemilu, termasuk meningkatkan upah minimum dan pensiun, dalam upaya mengimbangi dampak inflasi.
Kampanye Pemilu Turki Diwarnai Kekerasan
Selama kampanye, Erdogan telah mencoba menggambarkan oposisi berkolusi dengan teroris dan kekuatan asing yang ingin merugikan Turki. Dalam upaya untuk mengonsolidasikan basis konservatifnya, dia juga menuduh oposisi mendukung LGBTQ.
Pada Minggu 7 Mei, ratusan ribu pendukung Erdogan diperlihatkan oleh sebuah video palsu, yang menunjukkan seorang komandan Partai Pekerja Kurdistan yang dilarang di negara itu, menyanyikan lagu kampanye oposisi.
Sementara Kilicdaroglu dicap seorang politikus bersuara lembut yang dipuji karena berhasil menyatukan oposisi yang sebelumnya retak. Aliansi pengusungnya, yang mencakup Islamis dan nasionalis, telah berjanji membalikkan kemunduran demokrasi dan tindakan keras terhadap kebebasan berbicara dan perbedaan pendapat di bawah Erdogan.
Sebetulnya ada dua kandidat lain dalam pemilu Turki, yaitu Muharrem Ince, mantan pemimpin CHP yang kalah dalam pilpres terakhir dari Erdogan pada 2018, dan Sinan Ogan, mantan akademisi yang mendapat dukungan dari partai nasionalis anti-imigran. Belakangan, Ince menyatakan mundur dari arena perlombaan.
Isu utama pemilu Turki 2023 disebut adalah ekonomi dan inflasi tinggi yang menggerogoti daya beli keluarga.
Di Istanbul, pemilik kedai teh Cengiz Yel mengatakan dia akan memilih "perubahan" karena kesalahan penanganan ekonomi oleh pemerintah.
"Kami khawatir tentang sewa, listrik, dan tagihan lainnya," kata Yel. "Selama setahun terakhir, saya memulai setiap bulan baru dengan lebih banyak utang."
Yang lain, menyatakan cinta abadi mereka kepada seorang pemimpin yang memperbaiki infrastruktur di negara itu dan mengangkat banyak orang dari kemiskinan pada tahun-tahun awal pemerintahannya.
"Saya mencintai bangsa saya. Saya ingin bersama seorang pemimpin yang melayani bangsanya," kata Arif Portakal (65), seorang pendukung Erdogan di Istanbul.
Kampanye pemilu Turki dilaporkan telah dirusak oleh aksi kekerasan. Pada Minggu (7/5), pengunjuk rasa di timur Kota Erzurum melemparkan batu saat Wali kota Istanbul Ekrem Imamoglu berkampanye atas nama Kilicdaroglu dari atas sebuah bus. Setidaknya tujuh orang terluka.
Advertisement
Dunia Mengawasi Turki
Para pemilih juga akan memberikan suara untuk mengisi kursi di parlemen yang beranggotakan 600 orang. Oposisi membutuhkan setidaknya mayoritas untuk dapat memberlakukan beberapa reformasi demokrasi yang telah mereka janjikan.
Lebih dari 64 juta orang, termasuk 3,2 juta ekspatriat warga negara Turki, berhak memilih. Lebih dari 1,6 juta orang telah memberikan suara di luar negeri atau di bandara. Jumlah pemilih di Turki secara tradisional disebut tinggi.
Ada kekhawatiran tentang bagaimana pemilih di antara 3 juta orang yang mengungsi pasca gempa 6 Februari 2023 yang menghancurkan 11 provinsi dapat menggunakan hak suara mereka. Para pejabat mengatakan hanya 133.000 orang yang terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka telah mendaftar untuk memilih di lokasi baru.
Beberapa partai politik dan lembaga swadaya masyarakat berencana mengangkut pengungsi kembali ke zona gempa agar mereka dapat menggunakan hak suaranya.
Banyak yang mempertanyakan apakah Erdogan akan menerima kekalahannya jika itu terjadi.
Pada tahun 2015, Erdogan diyakini telah bekerja di belakang layar untuk memblokir pembicaraan koalisi setelah partainya yang berkuasa kehilangan mayoritas parlemen dalam pemilu. Partainya kemudian mendapatkan kembali mayoritas melalui pemilu ulang beberapa bulan kemudian.
Dan pada tahun 2019, partai Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Erdogan, menggugat hasil pemilu lokal di Istanbul setelah kehilangan kursi wali kota. Namun, kemudian AKP mengalami kekalahan yang lebih memalukan dalam pemilu ulang.
Sekarang para pengamat pun semakin tertarik untuk melihat apakah oposisi yang terorganisir dapat mengatasi rintangan di negara di mana pemimpinnya memiliki kontrol yang kuat atas media, peradilan, dan badan pemilu.
"Dunia sedang menonton karena ini juga termasuk percobaan, Turki, seperti beberapa negara lain, telah menempuh jalan otoriter untuk sementara waktu," ungkap Unluhisarcikli. "Dan jika lintasan ini dapat dibalik melalui pemilu, itu bisa menjadi contoh bagi negara lain."