Polemik Usulan Revisi UU TNI: Jabatan di Institusi Sipil Diperluas hingga Menghapus Peradilan Umum

Tiga hal yang menjadi polemik dalam draf usulan Revisi UU TNI di antaranya menghapus peradilan umum, perpanjangan masa dinas prajurit dari 58 tahun jadi 60 tahun dan prajurit aktif TNI bisa menduduki jabatan di 18 isntitusi kementerian dan lembaga. sebelumnya cuma 10.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 12 Mei 2023, 09:13 WIB
Wacana Revisi UU TNI menuai polemik. Mulai dari menghapus peradilan umum, perpanjangan masa dinas prajurit dari 58 tahun jadi 60 tahun dan prajurit, hingga perluasan jabatan sipil. Foto Ilustrasi TNI (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pembinaan Hukum TNI tengah menggodok usulan draf Revisi UU TNI. Salah satu yang akan diubah yakni berkaitan dengan penambahan kementerian dan lembaga yang nantinya akan diisi oleh prajurit TNI.

Dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur ada 10 pos jabatan di kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI. Sementara dalam usulan yang masih digodok oleh internal Babinkum akan ada 18 kementerian/lembaga.

Tambahan delapan kementerian/lembaga itu meliputi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung.

Sementara dalam UU yang saat ini berlaku hanya memperbolehkan prajurit aktif TNI menduduki jabatan di kementerian/lembaga yang membidangi Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Badan Narkotik Nasional, dan Mahkamah Agung.

Tak hanya itu, poin perubahan lainnya mencakup perpanjangan usia pensiun TNI. Dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 mengatur usia pensiun prajurit tingkat perwira sampai 58 tahun, sementara untuk bintara dan tamtama 53 tahun.

Usulan perubahan yang masih digodok menginginkan usia pensiun seluruh prajurit 58 tahun dan dapat diperpanjang sampai 60 tahun untuk mereka yang memiliki kemampuan dan kompetensi khusus.

Walaupun demikian, pembahasan itu masih di internal Babinkum TNI dan belum rampung. TNI belum mengeluarkan sikap resmi terkait usulan perubahan UU TNI.

Terkait wacana itu, Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto angkat bicara. Ketua Umum Gerindra ini mengatakan, UU TNI yang saat ini berlaku juga cukup baik mengatur dan menjadi panduan kinerja TNI sebagaimana yang juga dikehendaki Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi.

"Undang-undang (TNI) sudah berjalan lama dan saya kira sudah berjalan baik. Kita mencegah kebocoran dan mencegah korupsi. Presiden sangat tegas menghendaki pengawasan yang sangat baik dan sangat kuat. Jadi, saya kira ini sudah berjalan dengan baik," kata Prabowo saat ditemui di sela kegiatannya di kantor Kemenhan, Jakarta, Kamis (11/5/2023).

Sementara itu, Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas menilai perluasan jabatan sipil oleh perwira aktif berpotensi mengganggu pembinaan karier Aparatur Sipil Negara (ASN).

Anton setuju Pasal 47 ayat 2 UU TNI ini direvisi. Akan tetapi, menurut Anton, penambahan institusi yang sebelumnya tidak diwacanakan seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) jelas tidak diperlukan.

"Adanya penunjukkan perwira aktif TNI yang menduduki jabatan eselon 1 di KKP saat ini, misalnya, jelas tidak urgen untuk dijadikan ketentuan permanen. Selain semestinya bersifat adhoc atau sementara, penempatan prajurit aktif di lembaga sipil dapat mengganggu moril ASN yang sudah meniti karier di instansi tersebut," kata Anton dalam pesan singkatnya kepada Liputan6.com, Jumat (12/5/2023). 

Di sisi lain, ruang prajurit untuk menempati jabatan sipil semestinya merujuk pada PP No 17/2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.

"Penting untuk diingat, penempatan prajurit aktif pada pos jabatan sipil justru akan melemahkan profesionalisme militer," Anton menambahkan.

 


Hapus Peran Peradilan Umum bagi Prajurit TNI

Ilustrasi prajurti TNI. (Istimewa0

Selain itu, Anton juga menyoroti upaya menghapus peran peradilan umum bagi prajurit TNI yang tertuang dalam pasa 65 ayat 2. Klausul perubahan pada pasal itu menegaskan bahwa TNI hanya tunduk pada peradilan militer baik untuk pelanggaran hukum militer maupun pelanggaran hukum pidana. 

Anton pun mengkritik, semestinya pembagian kekuasaan peradilan militer dan umum ini diperkuat, bukan malah kembali ke narasi sebelumnya.  Menurutnya, adanya pembagian kuasa peradilan militer dan umum tidak sepatutnya diartikan sebagai sebuah hambatan melainkan pintu untuk semakin menebalkan profesionalisme militer yang diterus dibangun selama ini.

"Ide menghapus ketentuan peradilan umum, tidak hanya mengindikasikan kemunduran melainkan melemahkan jalannya reformasi TNI," ucap Dosen universitas Paramadina ini.  

Guna menghindari kegaduhan politik yang tidak perlu, Anton mengusulkan  ada baiknya keinginan merevisi UU TNI untuk dipertimbangkan ulang. Menurutnya, proses revisi UU TNI hendaknya dilakukan secara lebih partisipatif, hati-hati, cermat dan lebih banyak merespon perkembangan ancaman strategis negara di masa depan.

Proyeksi keamanan global di era Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity atau VUCA jelas membutuhkan payung hukum memadai. Dan landasan tersebut ditujukan menyiapkan TNI yang semakin profesional dan berorientasi ke luar (outward looking). Karena itu, tidak ada alasan untuk menjadikan masa pembahasan revisi UU TNI terburu-buru dan kilat," Anton menandaskan. 

Infografis Panglima TNI Tingkatkan Operasi di Nduga Jadi Siaga Tempur. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya