Pengamat: Revisi UU TNI Bisa Ganggu Hubungan dengan Kemhan dan Polri

Usulan revisi UU TNI menjadi polemik di publik. Perubahan UU tersebut juga dinilai dapat mengganggu hubungan baik antara TNI, Kemhan, dan Polri.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 12 Mei 2023, 10:37 WIB
Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono (tengah) dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo (kedua kiri) saat mengecek pasukan dalam apel Operasi Lilin 2022 di Monas, Jakarta, Kamis (22/12/2022). Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Nurul Azizah mengatakan apel pengamanan Natal dan Tahun Baru itu diikuti oleh 2.195 personel gabungan dari TNI dan Polri. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas tak setuju dengan adanya revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Anton berpedapat, revisi UU tersebut dapat menggangu hubungan TNI dengan Kementerian Pertahanan (Kemhan).

Pasalnya, Anton menyebut, dalam presentasi usulan perubahan beleid itu mengatur kedudukan TNI, perpanjangan usia pensiun prajurit, penambahan pos jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit aktif, hubungan kelembagaan dengan Kemhan, hingga kewenangan anggaran.

"Secara umum, usulan tersebut cenderung problematik, menyiptakan inefisiensi, bahkan berpotensi melemahkan capaian reformasi TNI termasuk mengganggu bangunan relasi Kementerian Pertahanan-TNI," ujar Anton dalam keterangannya dikutip Jumat (12/5/2023).

Anton menyebut, usulan itu akan menciptakan problem baru. Pertama, usul TNI merupakan alat negara di bidang Pertahanan dan Keamanan negara tidak memiliki dasar kuat. Dalam UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, yang menjadi basis dari keberadaan UU TNI, tidak mengenal istilah pertahanan dan keamanan negara.

"Pasal 10 UU Pertahanan Negara jelas menyebutkan TNI berperan sebagai alat pertahanan NKRI. Penggunaan istilah 'keamanan negara' juga berpotensi untuk menimbulkan wilayah abu-abu (gray area) dan overlapping dengan tugas Polri," kata dia.

Kedua, kata Anton, penghilangan narasi Pasal 3 ayat 1 UU TNI yang menjelaskan tentang posisi TNI di bawah presiden saat pengerahan dan penggunaan kekuatan militer jelas berbahaya. Menurut Anton, penghilangan garis komando ini dapat membuka ruang terjadinya insubordinasi militer terhadap pemimpin sipil.

Belum lagi, kata Anton, ketentuan pelaksanaan operasi militer, baik perang dan non-perang yang mensyaratkan kebijakan dan keputusan politik negara juga ingin dianulir. Draf ini menginginkan pelaksanaan operasi militer selain perang (OMSP) tidak membutuhkan kebijakan dan keputusan politik negara.

"Patut diingat, kebijakan dan keputusan politik negara merupakan payung dasar yang dibutuhkan prajurit di lapangan untuk dapat bergerak leluasa. Dengan begitu, mekanisme akuntabilitas dalam aktivitas militer dapat terjaga," kata Anton.

Di sisi lain, ide memperkuat otonomi TNI justru semakin eksplisit. Hal ini dapat dilihat dari adanya keinginan mengatur dan mengelola anggaran pertahanan secara lebih leluasa.

"Keinginan mendapatkan anggaran non-pertahanan dari APBN juga dituangkan secara eksplisit dalam draf ini dengan mendrop frasa 'anggaran pertahanan negara' yang tertuang dalam Pasal 66 ayat 1 UU TNI yang berbunyi 'TNI dibiayai dari anggaran pertahanan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara'," kata dia.

 


Penempatan Prajurit TNI di Institusi Sipil Bisa Ganggu Karir ASN

Anggota Polri dan prajurit TNI mengikuti apel bersama terkait operasi pengamanan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih di Silang Monas, Jakarta, Kamis (17/10/2019). Apel dipimpin oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. (merdeka.com/Imam Buhori)

Ketiga, menurut Anton, berkaitan dengan perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki perwira aktif berpotensi mengganggu pembinaan karir Aparatur Sipil Negara. Anton setuju berkaitan dengan Pasal 47 ayat 2 UU TNI yang hanya membolehkan ruang jabatan pada institusi sipil yang dapat diduduki prajurit aktif perlu direvisi.

Akan tetapi, kata Anton, penambahan institusi yang sebelumnya tidak diwacanakan seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) jelas tidak perlu dilakukan. Adanya penunjukkan perwira aktif TNI yang menduduki jabatan eselon 1 di KKP jelas tidak urgent untuk dijadikan ketentuan permanen.

"Selain semestinya bersifat ad hoc atau sementara, penempatan prajurit aktif di lembaga sipil dapat mengganggu moril ASN yang sudah meniti karir di instansi tersebut," kata dia.

Selanjutnya, draf usulan revisi UU TNI juga menyiptakan inefisiensi pengelolaan institusi angkatan bersenjata. Hal ini disandarkan pada dua hal, pertama, adanya ide pelembagaan Wakil Panglima TNI. Sejauh ini, tidak ada justifikasi yang kuat mengenai urgensi keberadaan Wakil Panglima TNI.

"Selain telah dibantu oleh tiga kepala staf angkatan, kerja Panglima TNI juga ditopang Kepala Staf Umum TNI. Jika memang masih dirasa kurang maka cukup dengan penambahan tugas yang harus diampu seorang Kasum TNI," kata dia.

 


Penambahan Usia Pensiun Bisa Picu Maraknya Perwira Non-Job

Panglima TNI Laksamana Yudo Margono ketika memimpin upacara pemberangkatan personel Satgas Yonif Raider 631 Antang Palangka Raya ke Papua. Foto Marifka Wahyu Hidayat.

Kedua, Anton menyebut berkaitan ide penambahan usia pensiun jenderal menjadi 60 tahun dan bintara tamtama menjadi 58 tahun hanya akan menyiptakan adanya fenomena bottleneck dalam karier prajurit, termasuk maraknya perwira non-job.

"Penambahan usia pensiun jelas hanya akan menambah ruwet problematika non-job dan akan menyasar pada semua kelompok, tamtama, bintara dan perwira. Justru jika berkaca pada kebutuhan prajurit yang harus bugar, sigap dan tangkas, maka kita semestinya memiliki lebih banyak prajurit aktif yang berusia muda dan produktif," kata dia.

"Konsekuensinya, batas usia pensiun adalah diturunkan bukan malah dinaikkan," Anto menegaskan.

Tak hanya itu, draf ide pemuktahiran UU TNI ini berpotensi melemahkan capaian reformasi TNI termasuk posisi Kementerian Pertahanan. Kesimpulan ini setidaknya dapat dilihat dalam dua hal. Pertama, adanya semangat untuk mengurangi garis koordinasi dengan Kemenhan.

"Draf ini secara eksplisit mengusulkan Kemenhan tidak lagi memberi dukungan administrasi pada TNI. Implikasinya tentu saja TNI dapat mengelola kebutuhan dan anggaran dengan lebih otonom," kata dia.

Dalam banyak praktik di negara demokrasi, institusi militer jelas berada di bawah pengelolaan kementerian sipil, dalam hal ini Kementerian Pertahanan.

"Dan patut diingat, penempatan TNI di bawah Kemenhan adalah salah satu capaian dari reformasi TNI. Justru semestinya, posisi Kemenhan lebih diperkuat sehingga adanya supremasi sipil lebih terlihat," ucap Anton.

Menurut Anton, demi menghindari kegaduhan politik yang tidak perlu, ada baiknya keinginan merevisi UU TNI dipertimbangkan ulang. Proses revisi UU TNI hendaknya dilakukan secara lebih partisipatif, hati-hati, cermat dan lebih banyak merespon perkembangan ancaman strategis negara di masa depan.

"Proyeksi keamanan global di era Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity atau VUCA jelas membutuhkan payung hukum memadai. Dan landasan tersebut ditujukan menyiapkan TNI yang semakin profesional dan berorientasi ke luar (outward looking). Karena itu, tidak ada alasan untuk menjadikan masa pembahasan revisi UU TNI terburu-buru dan kilat," Anton menandaskan.

Infografis Menanti Gebrakan Awal Panglima TNI Laksamana Yudo Margono. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya