KemenPPPA: Cegah Pernikahan Dini Perlu Dimulai dengan Edukasi Kesehatan Reproduksi pada Anak dan Orangtua

Upaya pencegahan perkawinan anak harus dimulai dari edukasi kesehatan reproduksi baik itu kepada anak maupun orangtuanya.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 14 Mei 2023, 08:00 WIB
KemenPPPA: Pencegahan Pernikahan Dini Perlu Dimulai dengan Edukasi Kesehatan Reproduksi Kepada Anak dan Orangtua. Image by Pexels from Pixabay

Liputan6.com, Jakarta Upaya pencegahan perkawinan anak harus dimulai dari edukasi kesehatan reproduksi baik itu kepada anak maupun orangtuanya.

Hal ini disampaikan Plt. Deputi Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Rini Handayani.

Perkawinan anak merupakan tantangan dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) karena memiliki dampak yang multi aspek dan lintas generasi,” kata Rini dalam kegiatan Media Talk KemenPPPA, Jumat 12 Mei 2023.

“Selain itu, perkawinan anak juga merupakan bentuk pelanggaran hak anak yang dapat menghambat dalam mendapatkan hak-haknya secara optimal,” tambahnya.

Selama 2020 hingga 2022, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia mencatat perkara dispensasi kawin mengalami penurunan setiap tahunnya. Meski begitu, jumlah permohonannya tetap tinggi.

Pada 2022, tercatat sebanyak 52.095 perkara dispensasi kawin yang masuk dan sebanyak 50.748 diputuskan. Angka tersebut masih tergolong besar dan menunjukkan bahwa perkawinan anak masih banyak terjadi.

“Meskipun data prevalensi perkawinan anak di Indonesia menunjukkan penurunan setiap tahunnya, masih banyak perkawinan anak dan remaja yang terjadi. Dan setiap tahunnya tidak dapat dicatatkan karena tidak membawa perkara dispensasi kawin ke pengadilan.”

Maka dari itu, diperlukan upaya sistematik dan terpadu dalam menekan angka pernikahan dini untuk mencapai target 6,94 persen pada tahun 2030, tutur Rini.


Faktor Terjadinya Perkawinan Anak

Rini pun mengatakan bahwa ada banyak faktor yang berkontribusi dalam terjadinya perkawinan anak. Di antaranya faktor kemiskinan, geografis, pendidikan, ketidaksetaraan gender, masalah sosial, budaya, dan agama. Serta minimnya akses terhadap layanan dan informasi kesehatan reproduksi yang komprehensif.

Rini menegaskan, edukasi kesehatan reproduksi menjadi kunci utama dalam memutus mata rantai perkawinan anak di Indonesia. Baik anak maupun orangtua harus mengerti bahwa perkawinan anak memiliki dampak yang begitu besar bagi anak.

Dimulai dari pendidikan, kesehatan, kemiskinan berlanjut sampai kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian.


Tidak Hanya Karena Kurangnya Pemahaman Anak dan Orangtua

Rini tak memungkiri bahwa mencuatnya tren perkawinan anak di Indonesia tidak hanya akibat kurangnya pemahaman anak dan orangtua tentang bahaya serta ancaman dari perkawinan anak. Namun, pergaulan bebas di kalangan anak dan remaja turut mengambil peran.

Pergaulan bebas beresiko pada kehamilan tidak diinginkan (KTD). Oleh karena itu, edukasi terkait perkawinan anak yang dimulai dari kesehatan reproduksi menjadi penting dan perlu ditanamkan sejak dini pada anak-anak.

“Anak-anak perlu mengetahui bagian-bagian penting dari tubuh dan sistem reproduksi yang berdampak pada masa depan mereka,” jelas Rini.


Haru Diselesaikan Bersama

Lebih lanjut, Rini menyampaikan, perkawinan anak merupakan isu bersama yang pencegahannya pun harus diselesaikan secara multisektoral, holistik, komprehensif, terpadu, dan melibatkan banyak orang.

KemenPPPA sebagai kementerian yang menangani urusan perempuan dan anak terus berupaya mencegah perkawinan anak sebagaimana tercantum di dalam 5 (lima) prioritas Arahan Presiden.

Selain disusunnya Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak, KemenPPPA fokus melakukan sosialisasi dan edukasi dengan stakeholder terkait dan di akar rumput. Upaya ini dilakukan melalui model Desa/Kelurahan Ramah Perempuan dan Peduli Anak yang telah tercanangkan di 138 Desa/Kelurahan di Indonesia.

“KemenPPPA bersama pemerintah daerah juga telah mendorong terbentuknya Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) yang merupakan unit layanan preventif dan promotif sebagai tempat pembelajaran untuk meningkatkan kualitas kehidupan menuju keluarga sejahtera.”

“Saat ini sudah ada sebanyak 257 PUSPAGA di 231 kabupaten/kota di Indonesia. Selain itu, keberadaan Forum Anak sebagai pelopor dan pelapor (2P) yang sudah ada di 34 provinsi, 458 kabupaten/kota sangat membantu kami dalam melakukan sosialisasi dan edukasi terkait perkawinan anak,” pungkas Rini.

Infografis 1 dari 4 Perempuan Mengalami Kekerasan Fisik atau Seksual. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya