Liputan6.com, Jakarta - Siang itu, tim Liputan6.com berkesempatan melihat langsung Kampung Muril Rahayu, Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, Bandung Barat yang berdampingan langsung dengan Sesar Lembang. Kami melakukan perjalanan sekitar satu jam dari kawasan Dago, Kota Bandung.
Tiba di lokasi, kami mencoba menelusuri kampung dengan berjalan kaki. Jalanan menurun menyambut kedatangan kami. Sebagian rumah warga memang berlokasi di gang-gang sempit yang menempel perbukitan. Gunung Burangrang yang menjulang menjadi pemandangan megah di depan Kampung Muril.
Advertisement
Sekitar 12 tahun lalu, Kampung Muril jadi lokasi yang terdampak akibat gempa berkekuatan magnitudo 3,3 yang terjadi pukul 16.15 WIB. Usai peristiwa tersebut masyarakat setempat mengetahui bahwa rumahnya berdiri di atas Sesar Lembang.
Saat berkeliling, kami bertemu dengan beberapa warga yang tengah bergotong-royong membangun rumah. Sang pemilik rumah, Nandan juga ikut serta dalam kegiatan tersebut. Dia sempat bercerita akibat gempa 28 Agustus 2011 lalu.
Sebagai permukiman yang berada di jalur zona merah, warga mendapatkan edukasi mengenai standar pembangunan rumah. Sebab, saat gempa terjadi sebanyak 268 rumah di Desa Jambudipa rusak akibat gempa. Padahal kekuatan gempa yang dihasilkan tergolong kecil atau tak sebesar Gempa Yogyakarta pada 27 Mei 2006.
"Kalau sebelumnya rumah kita kan enggak pakai cor-coran. Sekarang saya pakai besi, yang dulu mah enggak pakai besi-besi. Enggak ambruk mah dulu juga cuma retakan banyak," kata Nandan kepada Liputan6.com.
Masih sangat jelas dalam ingatan Nandan peristiwa menjelang Idul Fitri itu. Bahkan ada beberapa retakan di rumahnya yang hingga saat sini masih ada dan belum diperbaiki. Lanjut dia, saat kejadian gempa yang dirasakan tidak berlangsung lama.
"Beberapa detik-lah. Kejadian pertama gempa, kata orang lihat mah kayak ombak laut gitu. Tanah teh ancul-anculan, kayak ombak pas kena bangunan," ucapnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Amir. Karena keterbatasan dana, beberapa retakan di rumahnya belum sempat diperbaiki. Mulai dari dinding hingga bak kamar mandi. "Sebagian retak-retak itu, masih begitu," ujar dia.
Rumah Amir dan beberapa rumah lainnya tampak sama. Yaitu dinding luar rumahnya yang terbangun dari batako belum sempat diplester. Bahkan minim dengan tulangan besok di sudut rumahnya. Hal tersebut juga dibenarkan oleh Kadus Kampung Muril, Usep.
Sebenarnya warga Kampung Muril sudah diberikan edukasi terkait standar pembangunan rumah. Mulai dari tembok rumah yang semestinya hingga penggunaan tulangan besi. Dana terbatas menjadi kendala dalam proses pembangunan.
Menurut dia, semua warga menginginkan memiliki rumah yang kokoh. Namun karena terdesak dan ingin cepat dihuni pasca gempa bumi tahun 2011, masyarakat tidak sempat memikirkan dampak yang akan terjadi setelahnya. Sebagian besar masyarakat Kampung Muril merupakan petani yang memanfaatkan lahan untuk bercocok tanam.
"Kalau kita mau bikin rumah harus persiapannya dua atau tiga kali lipat. Satu dari bahan material yang datang. Kita beli satu juta ngirim angkut ke sini satu juta sudah dua kali lipat, itu dari barang. Belum tenaga kerja, upah tenaga kerja gitu kan, antara tukang," ujar Usep.
Membentang 29 Kilometer
Sesar Lembang merupakan salah satu patahan atau sesar aktif yang berpotensi menyebabkan gempa di wilayah Jawa Barat. Sesar Lembang membentang sepanjang 29 kilometer dan berlokasi sekitar 8 kilometer dari sisi utara Kota Bandung.
Peneliti dari Pusat Riset Geoteknologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eko Yulianto menilai, dengan kekuatan gempa yang tergolong kecil, semestinya tidak memberikan kerusakan di Kampung Muril Rahayu. Bahkan kata dia, terdapat beberapa rumah yang rusak cukup parah.
"Jadi, dalam konteks kewaspadaan dan pengurangan risiko terhadap gempa di Indonesia secara khususnya, aspek tentang kekuatan bangunan, kualitas dari konstruksi bangunan itu menjadi concern yang diperhatikan," kata Eko kepada Liputan6.com.
Saat peristiwa tersebut terjadi, Eko jadi salah satu pihak yang tengah melakukan penelitian terhadap Sesar Lembang yang sempat dianggap tidak aktif. Selama dua tahun dilakukan pemantauan terjadi sembilan kali gempa kecil.
"Salah satunya adalah Gempa Muril yang 2011 itu. Yang lain-lain lebih kecil lagi umumnya di bawah dua (magnitudo)," ucapnya.
Standar Pembangunan Rumah sebagai Antisipasi Gempa
Standar pembangunan rumah yang ada di Kampung Muril Rahayu jadi catatan tersendiri Antropolog Juniator Tulius. Sebab saat terjadi gempa pada 2011 silam, banyak bangunan rumah yang terdampak meskipun guncangan gempa tergolong kecil.
Tulius menilai penyebab kerusakan bangunan tersebut karena konstruksi yang tidak ramah terhadap gempa. Artinya, konstruksi bangunannya tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang mampu beradaptasi dengan guncangan.
"Dengan bangunan yang berat, walaupun guncangannya kecil, tapi kalau konstruksi bangunan yang tidak kuat dapat gampang sekali ambruk. Arsitektural, perhitungan bangunannya, adukan semennya, pemilihan materialnya, kemudian konstruksi bangunan yang tidak memenuhi kaidah itu akan gampang hancur," kata Tulius kepada Liputan6.com.
Menurut dia, beberapa rumah di Kampung Muril Rahayu yang berukurang panjang 10 meter tidak menggunakan sloof pembatas yang dapat digunakan untuk meratakan beban pondasi. Ketika tidak ada sloof dan ambruk, reruntuhan bangunan akan menimpa orang yang berada disekitarnya. Hal tersebut yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Tulius mendorong agar pengetahuan masyarakat dapat lebih diperkaya mengenai bangunan yang kokoh. Namun hal tersebut harus didukung dengan ekonomi yang baik. Kendati begitu, dia menyatakan bangunan yang kokoh sebenarnya tidak harus dengan anggaran yang besar.
"Tetapi pemilihan material bangunan kemudian pengetahuannya yang cukup, lalu desain bangunan itu sendiri akan mengurangi risiko masyarakat menjadi korban karena runtuhnya bangunan. Masyarakat kita dulu itu punya bangunan yang terbuat dari bahan kayu, bambu, yang lebih gampang beradaptasi dengan guncangan," ucapnya.
Tulius menyebut, masyarakat Indonesia ingin menunjukkan identitas modernnya melalui pembangunan rumah. Mulai dari desain yang unik hingga warna tembok yang menarik. Namun ada kalanya masyarakat mengabaikan fenomena alam yang ada disekitarnya.
Karena hal itu, Tulius mengharapkan adanya kebijakan atau standard operating procedure (SOP) membangun rumah berdasarkan masing-masing wilayah secara terperinci. Misalnya untuk rumah di zona rawan yang difungsikan untuk meminimalisir risiko korban jiwa akibat reruntuhan.
"Supaya mereka bisa membangun, tidak sekadar membangun, bahwa ada aturan yang harus mereka patuhi dan itu mestinya dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Itu bisa diambil dari berbagai berkonsultasi dengan konsultan atau peneliti di bidang konstruksi atau istilahnya sekarang teknik sipilnya dalam arti membangun konstruksi yang bagaimana," papar dia.
Lanjut Tulius, berdasarkan publikasi ilmiah yang ada banyak bangunan yang menjadi penyebab jatuhnya korban ketika menjadi gempa bumi di Indonesia. Contohnya gempa bumi di Cianjur, Lombok, Palu, hingga Yogyakarta. Bahwa korban berjatuhan bukan karena ancaman tsunami saja.
"Tetapi juga karna ancaman gempa. Dan gempa sebenarnya tidak membunuh, yang membunuh adalah reruntuhan dari bangunan yang tidak adaptasi dengan kondisi gempa itu sendiri," Tulius menandaskan.
Advertisement
Melihat Lebih Dekat Sesar Lembang
Secara morfologi, Sesar Lembang membentuk perbukitan memanjang dari timur sekitar bawah kaki Gunung Manglayang sampai ke barat hampir Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Sesar Lembang terbagi menjadi dua segmen, yaitu bagian barat dan timur.
Sedangkan posisi kami, yang mengamati dari Gunung Putri menurut Eko, merupakan bagian tengah dari Sesar Lembang atau biasa disebut transpression. Artinya bagian barat dari Sesar Lembang berada sedikit lebih ke utara dari sisi selatan.
"Sementara pergerakan sesarnya mengiri. Jadi yang blok selatan itu bergerak ke arah timur, blok utara bergerak arah barat, maka di tengah-tengah ini dia tertekan dari dua arah. Itulah kenapa kalau kita lihat, di sini tidak seperti di sana yang dindingnya kelihatan tegak kan. Di sini dindingnya kelihatan membumbung ini, bulging. Di sana juga gitu, nanti dindingnya akan tegak lagi. Di sini bulging," kata Eko kepada Liputan6.com.
Berdasarkan petanya, Sesar Lembang diketahui melewati sejumlah infrastruktur penting. Jika dilihat dari Gunung Putri tampak Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara (Seskoau), Sespim Polri, Observatorium Bosscha, hingga Pusdik Kowad.
Kemudian, ke arah barat ada pula Sekolah Polisi Negara (SPN), gedung pernikahan, restauran, hingga sejumlah tempat wisata. Antara lain Tebing Keraton, The Lodge, Maribaya Hot Spring, Gunung Batu, hingga Bukit Bintang.
Eko menyatakan awal mula terbentuknya Sesar Lembang tidak secara bersamaan. Untuk sisi sebelah timur terbentuk sekitar 180.000-200.000 tahun yang lalu bersamaan dengan sebuah peristiwa letusan Gunung Api Sunda Purba. Kemudian sisi barat terbentuk sekitar 50.000-60.000 tahun yang lalu bersamaan dengan letusan gunung. Karena itu sesar bagian timur memiliki ketinggian mencapai 400 meter dari kakinya. Sedangkan segmen barat hanya sekitar 40-an meter.
"Tapi bukan lagi Gunung Sunda Purba, tetapi adalah gunung boleh dikatakan Proto Tangkuban Perahu. Jadi, awal mula terbentuknya Tangkuban Perahu yang sebenarnya boleh dikatakan adalah anak dari Gunung Sunda Purba," kata Eko kepada Liputan6.com.
Kemudian, lanjut dia, bagian selatan Pulau Jawa terdapat interaksi antara lempeng Samudera Pasifik dan Benua Eurasia menyebabkan memberikan tekanan energi pada sesar aktif, termasuk Sesar Lembang. Akibatnya Sesar Lembang tersebut bergerak secara periodik meskipun periodesasinya tidak selalu tetap jangka waktunya.
Masih Terus Bergerak
Hingga saat ini Sesar Lembang masih terus bergerak dan gerakan tersebut menghasilkan gempa bumi. "Secara potensial dan sebenarnya juga terbukti dari penelitian geologi yang saya lakukan di tahun 2009-2010, itu bisa menghasilkan gempa hingga skala 7. Yang terekam di dalam sejarah geologi dalam paritan yang saya buat itu sampai 6,8 (meter)," papar dia.
Ketika nantinya gempa terjadi, Eko mengkhawatirkan wilayah yang berada di cekungan Bandung. Wilayah tersebut hanya berjarak sekitar 8 kilometer dari Sesar Lembang yang kemungkinan besar memiliki potensi besar untuk terdampak. Bahkan jumlah penduduk di cekungan Bandung mencapai 9 juta jiwa.
"Sehingga kalau di satu masa di waktu yang akan datang sesar ini bergerak, dia akan memberikan ancaman terhadap hampir 10 juta penduduk yang tinggal di Kota Lembang, maupun yang ada di cekungan Bandung. Nah itu yang kemudian perlu menjadi perhatian kita karena kalau itu terjadi tentunya korban dan kerusakannya sangat besar," paparnya.
Harapan Adanya Penelitian Lanjutan Sesar Lembang
Efek dari gempa bumi menurut Eko, bukanlah energi yang dilepas oleh retakan saja. Namun juga kekuatan tanah dan bangunannya.
"Jadi sama-sama misalnya jaraknya itu dari retakan katakanlah 30 meter, tapi di suatu tempat dia batuannya adalah batuan keras misalnya, batuan vulkanik. Sementara di tempat lain pada jarak yang sama batuannya adalah batuan endapan rawa, maka efek guncangannya akan berbeda untuk tanahnya, kekuatan tanahnya akan berbeda," ucap dia.
Jika sebuah tanah di wilayah tersebut lunak dan konstruksi bangunan tidak bagus maka efek guncangan gempa akan semakin kencang. Menurut Eko, umumnya kerusakan akibat gempa di Indonesia karena kualitas bangunan yang memang sangat buruk.
"Termasuk di sini (jalur Sesar Lembang) secara umum bangunan rumah masyarakat memang belum dibangun dengan memperhatikan dan mempertimbangkan beban gempa itu tadi," jelas dia.
Setelah dari Gunung Putri, kami diajak oleh para geolog untuk menuju Gunung Batu yang berlokasi di Desa Pagerwangi, Lembang, Bandung Barat. Perjalanannya hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit menaiki mobil. Gunung Baru merupakan salah satu bagian dari Sesar Lembang.
Untuk mencapai puncak Gunung Batu kami harus menanjak sekitar 20 menit di area jalan setapak. Titik ini memiliki ketinggian sekitar 1.335 meter di atas permukaan laut. Saat mulai menanjak, tebing dengan susunan batuan menjulang tinggi tersebut tampak kokoh.
Biasanya lokasi ini juga digunakan masyarakat untuk camping dan olahraga panjat tebing. Dari atas Gunung Batu tampak terlihat permukiman padat penduduk yang berada dalam cekungan Bandung. Berbagai hamparan kebun sayuran milik warga juga terbentang luas.
Penelitian terkait Sesar Lembang yang membentang sepanjang 29 kilometer telah dilakukan sejak awal tahun 2000-an. Kemudian pada tahun 2015 mulai intensif dan berkolaborasi dengan negara lain. Peneliti ahli utama Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Danny Hilman Natawidjaja menegaskan untuk masa periode gempa ulang Sesar Lembang belum dapat diketahui tepatnya.
Pergerakannya yang lamban diprediksi tidak lebih cepat dari 500 tahun setelah peristiwa besar terakhir terjadi. Meskipun saat ini penelitian yang memprediksi siklus Sesar Lembang sudah semakin dekat. Danny pun menyarankan agar dilakukan kembali penelitian lanjutan terkait Sesar Lembang.
"Karena datanya kan masih spot-spot ya, mungkin satu dua lokasi, kita harus meneliti sepanjang sesar sehingga kita yakin bahwa gempa 600 tahun yang lalu itu memang magnitudo yang besar 7 begitu. Kemudian kita harus menengok ke belakang, nah sebelumnya kapan. Sehingga dari pengetahuan yang lebih dalam kita lebih paham lagi bahwa oh ya ternyata periode Sesar Lembang itu berkisar antara 500 sampai 1.000 tahun," kata Danny kepada Liputan6.com.
Kendati begitu, Danny menilai terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi geolog saat ini dalam pemantauan dan penelitian lanjutan terkait Sesar Lembang. Yang pertama yaitu waktu untuk penelitian. Lalu sumber daya manusia (SDM) yang berminat dan mampu melakukan penelitian tersebut. Apalagi penelitian harus dilakukan secara terus menerus.
Kemudian, lokasi Sesar Lembang yang membentang sejauh 29 kilometer termasuk dalam daerah padat penduduk. Hal ini menyulitkan peneliti untuk melakukan trenching atau penggalian tanah. Karena lokasi penelitian telah dipenuhi bangunan sehingga penelitian hanya dapat dilakukan di sedikit lokasi.
"Peneliti gempa di Indonesia tidak banyak hanya beberapa orang ya. Dan tugas itu tidak hanya Sesar Lembang, seluruh Indonesia yang sesarnya ratusan. Kita juga dari segi SDM dan juga dana kesulitan juga," ucap dia.
Advertisement
Rendahnya Mitigasi dan Sosialisasi Kewaspadaan Terhadap Gempa Bumi
Danny Hilman Natawidjaja meminta agar masyarakat tidak panik mengenai siklus gempa Sesar Lembang. Kata dia, ancaman goncangan gempa sering kali memiliki dampak yang besar ketika terjadi di permukiman padat penduduk.
Namun, Danny tidak dapat memprediksi kapan persisnya Sesar Lembang akan terbangun dengan kekuatan besarnya. Meskipun sejumlah penelitian telah memprediksi estimasi besaran kerugian yang terjadi.
"Sebetulnya seberapa jiwa yang bisa jadi korban dan seberapa banyak rumah yang bisa rusak, seberapa besar kerugian rupiahnya gitu ya. Banyak ya, (minimal) 5 triliun apa ya, lupa saya tapi banyak sekali. Karena wilayah Bandung kan sangat padat, jadi mudah-mudahan tidak terjadi seperti itu," papar dia.
Karena hal itu dibutuhkannya berbagai mitigasi bencana untuk meminimalisir efek merusak dari berbagai bahaya yang sudah diperkirakan sebelumnya. Pertama yaitu mengenai pendirian bangunan tahan gempa. Semakin dekat lokasi bangunan dengan sumbernya akan semakin besar guncangan yang dirasakan. Sehingga dibutuhkan struktur rumah yang kokoh.
Hal tersebut lanjut dia dapat diimplementasikan melalui sejumlah peraturan daerah, sebab menyangkut Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Lalu, memiliki sejumlah perencanaan sosialisasi ataupun edukasi kepada beberapa pihak terkait dalam pembangunan bangunan.
"Seperti developernya, tukang-tukang bangunan, dan sebagainya. Jadi pekerjaan yang sangat besar. Kemudian aspek yang kedua itu juga harus diaplikasikan dengan tata ruang yang benar gitu ya, jadi sebagai acuan umum untuk status sesar aktif yang seharusnya tidak boleh ada pengembangan infrastruktur yang persis di jalur sesarnya," ucapnya.
Misalnya pembangunan rumah sakit, hotel, hingga sekolah. Dia menilai hingga saat ini pengaplikasian tersebut belum berjalan dengan baik. Padahal, lanjut Danny hal tersebut memiliki dampak besar ketika gempa bumi terjadi.
Mitigasi selanjutnya yaitu terkait edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai dampak bencana gempa bumi hingga langkah evakuasi saat peristiwa tersebut terjadi.
"Salah satu indikasinya kalau suatu saat nanti ada isu gempa Sesar Lembang bisa terjadi, biasanya masyarakat panik. Nah, kalau masyarakat masih panik berarti sebetulnya mereka belum paham," sambung Danny.
Sementara itu, dia menilai bahwa sosialisasi terhadap kewaspadaan terhadap gempa belum dilaksanakan dengan baik. Karena itu dia menilai pentingnya menjadikan pendidikan kebencanaan sebagai kurikulum dalam pendidikan formal.
"Jadi, harusnya sudah diajarkan sejak SD, SMP, SMA. Itu yang paling penting karna itu yang lebih komperehensif nanti. Paling tidak kita mengharapkan generasi selanjutnya, generasi muda selanjutnya lebih paham dari kita," Danny menandaskan.
Brigita Purnama