Soal Rekomendasi Capres-Cawapres di Musra, Ini Pandangan Pengamat

Anang Sujoko mensinyalir adanya kepentingan kelompok tertentu yang ingin mengajukan calonnya untuk dapat diusung di pilpres 2024.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Mei 2023, 12:51 WIB
Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat menghadiri puncak Musyawarah Rakyat (Musra) Indonesia. (Istimewa)

Liputan6.com, Malang - Relawan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara Musyawarah Rakyat (Musra) merekomendasikan beberapa nama yang berpotensi untuk diusung menjadi capres cawapres 2024. Dari beberapa kandidat capres cawapres yang diusulkan Musra relawan Jokowi, ada nama yang tak masuk dalam survei elektabilitas yang dibuat oleh beberapa lembaga survei.

Bahkan ada sosok usulan Musra yang sama sekali tak pernah dilirik lembaga survei sebagai sosok yang pantas sebagai cawapres. Menurut pengamat politik dari Universitas Brawijaya Anang Sujoko, penyampaian aspirasi yang dilakukan Musra belum lama ini merupakan bagian dari demokrasi.

Meski penyampaian aspirasi dari Musra tersebut merupakan bagian dari demokrasi, namun belum tentu usulan tersebut bisa terwujud. Dalam sistem politik di Indonesia yang saat ini berlaku, untuk dapat menjadi capres cawapres resmi, mereka harus didaftarkan oleh parpol peserta pemilu ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Dalam penentuan capres dan cawapres yang dilakukan oleh Musra, Anang mensinyalir adanya kepentingan kelompok tertentu yang ingin mengajukan calonnya untuk dapat diusung di pilpres 2024. Anang juga mensiyalir adanya lembaga survei yang memiliki kepentingan untuk dapat mengajukan capres cawapres tertentu dengan memasukan persentase tertentu kepada kandidat tertentu.

Ketika menjelang pemilu, banyak kepentingan yang akan bermain. Anang melihat beberapa pihak yang memiliki kepentingan untuk bermain seperti lembaga survei, parpol, oligarki ekonomi.

Menurut Anang, sejatinya hasil Musra atau survei hanya sebagai pemantik saja. Sehingga dampak besar atau kecilnya pematik tersebut ditentukan oleh beberapa pihak yang memiliki kepentingan tersebut.

Hasil Musra atau survei yang dilakukan oleh beberapa Lembaga menurut Anang saat ini dijadikan kendaraan dari pihak tertentu yang memiliki kepentingan terhadap capres cawapres. Hasil tersebut seolah-olah mereka peduli kepada masyarakat dan dijadikan sebagai salah satu penyerap aspirasi masyarakat.

“Namun kenyataannya hasil Musra dan survei politik tersebut sejatinya bisa dijadikan legitimasi calon tertentu. Namun yang harus diingat dalam aturan yang berlaku saat ini capres dan cawapres yang akan mengikuti kontestasi pilpres diajukan oleh parpol atau koalisi parpol peserta pemilu 2024,” ungkap Anang.

 


Mesin Politik

Anang percaya betul, parpol yang tidak memiliki kepentingan terhadap hasil Musra atau survei lembaga tertentu tidak akan serta-merta menggunakan hasil atau rekomendasi tersebut. Parpol dengan mesin politik yang baik sudah memiliki sistem untuk menyerap aspirasi mengenai capres cawapres yang diinginkan oleh masyarakat.

“Parpol yang tak memiliki kepentingan, belum tentu tertarik dengan hasil Musra atau survei. Parpol pasti memiliki data yang dihimpun dari mesin politik mereka. Mereka lebih yakin dengan data yang dihimpun mesin politiknya. Parpol pasti sudah tahu siapa aktor intelektual di belakang rekomendasi Musra atau lembaga survei yang merekomendasikan calon tersebut. Sehingga parpol yang tidak memiliki kepentingan pasti tak akan mempertimbangkan hasil Musra, ”ujar Anang.

Jika parpol atau koalisi parpol gegabah memilih capres cawapres yang tidak popular dan rendah elektabilitas, Anang memastikan mereka akan mengeluarkan effort lebih untuk memenangkan pilpres dan pileg di pemilu ini. Sebab mereka selain harus memperkenalkan capres yang tak popular dan elektabilitas rendah dalam pilpres, mereka juga memiliki tugas untuk memenangkan pileg agar tak tersingkir dari pemilu berikutnya.

Sehingga memilih capres cawapres yang tak popular dan elektabilitas rendah, parpol harus memiliki effort ganda untuk dapat memenangkan pemilu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya