Liputan6.com, Penajam Paser Utara - Pandi (54) menatap kosong ke genangan air yang sangat luas berwarna kuning kecoklatan. Hampir sejauh mata memandang, hanya ada warna itu. Jauh di ujung sana, nampak perbukitan berwarna hijau.
Warga Jalan Datu Nondol, Kelurahan Sepaku, Kecamatan Sepaku itu kemudian menunjuk sambil menyebut yang tergenang itu adalah sawah. Rumahnya memang tidak tergenang sebab berbentuk rumah panggung berbahan kayu.
Tak hanya merendam persawahan, beberapa akses jalan warga juga tergenang. Warga kesulitan beraktifitas terutama anak sekolah.
Baca Juga
Advertisement
“Sekolah diliburkan, saya tidak bisa ke kebun, dan ibu-ibu tidak bisa ke pasar. Seharian di rumah saja,” kata Pandi.
Peristiwa banjir itu terjadi pada 17 Maret 2023 silam. Pandi bercerita, saat banjir datang, warga sedang memanen padi.
“Padi baru dipanen dan dikumpulkan di tepi jalan, saat banjir datang semuanya hanyut,” kenangnya.
Padahal, tak jauh dari persawahan tersebut ada pembangunan Intake Sepaku untuk kebutuhan air bersih Ibu Kota Nusantara. Jaraknya hanya sepelemparan batu dari jalan pemukiman di sisi sawah.
Pandi menyebut, banjir seperti ini baru kali ini terjadi. Jika sebelumnya memang ada banjir tahunan, namun cenderung bisa diprediksi.
“Kalau dulu memang ada banjir rob, hanya saja durasi genangan sebentar mengikuti pasang surut air laut dan tidak selama ini yang hampir 24 jam,” imbuhnya.
Dia mengklaim jika durasi banjir kali ini karena pembangunan intake tersebut. Sebab ada pintu air yang menghalangi aliran air untuk cepat sampai ke laut. Meski klaim itu tidak sepenuhnya benar, namun Pandi meyakini hal tersebut mengingat pengalaman banjir selama ini.
Langganan banjir
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Penajam Paser Utara, banjir yang terjadi di kabupaten itu paling banyak di Kecamatan Sepaku. Berdasarkan peristiwa banjir sejak tahun 2017 hingga 2019, Kecamatan Sepaku menjadi lokasi paling sering terjadi banjir.
Lokasi banjir pun sebagian besar berada di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP). Misalnya pada tahun 2017 tercatat ada 31 kali banjir terjadi di empat kecamatan di PPU, 14 diantaranya terjadi di Kecamatan Sepaku.
Pada tahun 2018, dari 21 kali peristiwa banjir, 9 diantaranya terjadi di Kecamatan Sepaku. Beberapa di antaranya berada sangat dekat dengan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) Ibu Kota Nusantara.
Sementara di 2019 saat penunjukan Sepaku sebagai Ibu Kota Negara Nusantara, ada 14 kali terjadi banjir dalam catatan BPBD Penajam Paser Utara dengan hanya satu kali terjadi di Sepaku.
Kepala Seksi Logistik BPBD Penajam Paser Utara Helena Legi menyebut jika banjir sering terjadi di Kecamatan Sepaku merupakan imbas dari banjir rob. Perpaduan hujan di hulu sungai dengan pasang air laut menjadi penyebab utama banjir.
“Banjir sudah sering terjadi dan merupakan banjir tahunan. Itu pun tergantung situasi yang terjadi bersamaan dan waktunya tidak lama,” kata Helena.
Berdasarkan data di atas, Kecamatan Sepaku yang menjadi kawasan inti IKN sebenarnya masih rawan bencana terutama banjir. Lantas bagaimana dari sisi geologi?
Advertisement
Dominan Batu Lempung
Wisnu Ismunandar sudah meneliti sebaran batuan di Kawasan Ibu Kota Nusantara. Dosen Program Studi Teknik Geologi, Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur itu sudah dua kali ke kawasan untuk meneliti secara geologi kawasan IKN.
Untuk penelitian kedua, dia baru pulang dari lokasi penelitiannya beberapa hari lalu. Kepada liputan6.com dia mengaku lebih dari dua minggu berada di Kecamatan Sepaku.
“Untuk di Kecamatan Sepaku sendiri secara geologi, saya meneliti sebaran batuan. Secara umum di sana ditemukan batu pasir dan batu lempung yang dominan. Juga ditemukan batu gamping dan sisipan batubara,” kata Wisnu, Kamis (30/3/2023).
Wisnu juga menemukan lapisan batu bara. Namun batu bara yang siap ditambang lokasinya cukup jauh dari kawasan inti dan dekat dengan Jembatan Pulau Balang.
“Kami juga menemukan batu gamping yang sangat cocok untuk konstruksi bangunan karena keras,” katanya.
Secara umum, berdasarkan studi geologi, potensi bencana di kawasan Ibu Kota Nusantara adalah banjir. Hal ini disebabkan karena penampakan bawah permukaan didominasi batu lempung.
“Secara geometrik ke bawah permukaan itu dominan batu lempung ketimbang batu pasir. Itu data primer yang saya jumpai di lapangan,” sebut Wisnu.
Jika ditarik ke potensi bencana, berdasarkan temuannya, Wisnu menyebut Ibu Kota Nusantara paling mudah dilanda banjir. Hal ini tidak lepas dari dominasi batu lempung yang menjadi struktur geologi.
“Kalau kita tarik ke potensi bencana, dengan kondisi batuan batu lempung yang sifatnya tidak bisa menyimpan air. Tidak baik menyimpan air dan permeabilitasnya rendah,” paparnya.
Karena tak bisa menyimpan air, maka potensi banjir cukup tinggi. Untungnya, kata Wisnu, Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) berada di perbukitan sehingga tidak ada banjir.
Namun dampaknya tentu di kawasan lain di sekitar IKN yang berada di kawasan sekitar Teluk Balikpapan. Dia mencontohkan Desa Pemaluan yang jadi langganan banjir.
“Di desa itu, banjir sering terjadi dan setengah kawasan pemukiman ada yang tenggelam. Kalau dari kajian geologi, faktor penyebab banjir karena Desa Pemaluan merupakan dataran rendah, kemudian didominasi batu lempung yang tidak menyerap air,” kata Wisnu.
Berdasarkan data sekunder yang diambil dari penelitian Andang Bahtiar, di kawasan Ibu Kota Nusantara juga ditemukan patahan. Akibatnya, beberapa kawasan terancam mudah longsor.
Dia menyebut dari data tersebut ada beberapa pelurusan struktur geologi yang mengindikasikan zona patahan. Hal ini mengakibatkan mudah erosi dan menyebakan mudahnya jalan rusak.
Namun, temuan patahan tersebut tidak ditemukan di KIPP. Meski demikian, di beberapa zona lainnya patahan dan rekahan banyak ditemukan.
“Maka nanti akan mengancam akses jalan yang mudah longsor,” katanya.
Ancaman lain berdasarkan temuan Wisnu Ismunandar berdasarkan kajian geologi adalah susah air bersih. Tentu saja karena struktur tanah yang didominasi batu lempung.
“Selain karena batu lempung dan topografi di ketinggian sudah gundul, masalah kemudian adalah air. Airnya keruh dan susah air bersih. Benar-benar susah,” katanya.
Memang Langganan Banjir
Peneliti Wahanan Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Timur Yohana Tiko menyebut banjir sudah sering terjadi di Kecamatan Sepaku. Dia pun menyangsikan narasi Presiden Joko Widodo yang menyebut kawasan IKN bebas bencana.
“Banjir di Sepaku itu sudah sering terjadi bahkan ada banjir tahunan. Harusnya pemerintah sudah menjadikan itu sebagai pertimbangan sebelum menunjuk ibu kota baru,” kata Tiko.
Agung Edy Setyawan dari Forest Watch Indonsia (FWI) menyebut pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kaltim karena menghindari bencana adalah sebuah jalan pintas. Padahal, kawasan ibu kota baru juga masih ‘katanya’ bebas bencana.
“Meskipun banjir di wilayah IKN yang sekarang itu memang dulunya juga pernah terjadi, namun tentunya ada sebab-sebab atau persoalan-persoalan yang justru memperparah dan tidak diselesaikan,” kata Agung.
Dia kemudian menganalogikan banjir di Jakarta yang terus terjadi dan menjadi bukti ada persoalan yang tidak diselesaikan. Pemerintah, sebutnya, lupa untuk mengatur persoalan yang ada di hulunya yaitu Daerah Aliran Sungai (DAS).
“Jadi kalau misalkan kita berbicara soal banjir kaitannya dengan erat sekali dengan pengelolaan DAS secara holistik, dari hulu ke hilir,” katanya.
Agung kemudian melihat pola penanganan ini kembali berulang di ibu kota baru. Pemerintah dengan badan otoritanya hanya mengatur di wilayan IKN saja.
“Harusnya ada langkah-langkah pendekatan pengelolaan DAS ini mulai dari hulunya. Bisa jadi misalkan IKN yang masuk DAS Riko Manggar, harusnya tidak hanya di wilayah itu saja tapi bagaimana kita melihat bagian hulunya dan segala macam,” papar Agung.
Berdasarkan data FWI, DAS Riko Manggar sangat luas yakni 220 ribu hektar dan hampir semuanya masuk di wilayah IKN. Dari luasan tersebut, kata Agung, setengahnya sudah ada perizinan industri ekstraktif seperti kelapa sawit, HPH, dan HTI.
Agung juga menyayangkan sikap pemerintah saat merencanakan dan pembuatan undang-undang sangat minim partisipasi baik dari masyarakat secara luas, maupun khususnya masyarakat yang terdampak secara langsung. Padahal yang terkena dampak, tidak hanya banjir, adalah masyarakat di Sepaku.
“Malah yang langsung muncul grand design-nya sudah ada, gambarannya seperti apa nanti itu IKN dibangun dan kita tidak tahu apakah rencana itu sudah dijelaskan seluas-luasnya, seterang-terangnya dengan masyarakat di Sepaku,” kata Agung.
Advertisement
Maksimal Menanggulangi Bencana
Deputi Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) Myrna Asnawati Safitri menjelaskan, mitigasi soal bencana sudah dilakukan semaksimal mungkin. Dia mencontohkan soal pembangunan DAS Sanggai yang menjadi bagian dari mitigasi banjir.
“Jadi PUPR akan menyelesaikan pembangunannya di tahun ini, jadi ada semacam satu kolam retensi,” kata Myrna.
DAS Sanggai sendiri berada di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) yang baru dibikin. Lokasinya berada di Zona 1A KIPP.
“Kalau longsor kita sudah membuat semacam teras siring kemudian diberikan tanaman untuk antisipasi longsor,” katanya.
Kemudian untuk mitigasi kebakaran hutan dan lahan, OIKN bekerjasama dengan instansi terkait di bidang kehutanan untuk memonitoring titik panas. Pemantauan dilakukan juga dengan satelit agar jika titik panas muncul bisa diantisipasi sedini mungkin.
“Kita sedang membuat SOP (Standar Operasional Prosedur) bersama. Itu sedang dalam proses, kami sudah bertemu dan sepakat untuk ada SOP bersama reaksi cepat pencegahan kebakaran lahan,” papar Myrna.
Meski demikian, Myrna meyakinkan jika ada upaya mitigasi dengan sungguh-sungguh saat perencanaan IKN dilakukan.
“Kehati-hatiannya itu dilakukan. Saya tidak bisa kasih garansi tidak ada bencana, tapi upaya kita sudah maksimal dan kita akan terus evaluasi,” ujarnya.