Liputan6.com, Jakarta - Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed disebut kerap melakukan kesalahan dalam menentukan tindakan terkait suku bunga, baik saat menaikkan maupun menurunkan.
Head of Fixed Income Ashmore Asset Management Indonesia, Anil Kumar, CFA, MBA mengatakan, biasanya The Fed terlambat menaikkan suku bunga yang menyebabkan inflasi tinggi. Kemudian terlambat turunkan suku bunga sehingga pertumbuhan ekonomi melambat. Namun, kondisi tersebut rupanya menguntungkan untuk investor obligasi.
Advertisement
"Ketika The Fed mengatakan inflasi terlalu rendah tapi tidak mau menaikkan suku bunga, saat itulah kita melakukan unwinding posisi dari obligasi kita, terutama yang memiliki tingkat kupon tetap ke dalam instrumen yang memberikan kupon floating," kata Anil dalam Money Buzz edisi The Best Time for Bonds is Now, Selasa (16/5/2023).
Di sisi lain, ketika The Fed mengatakan belum saatnya menurunkan suku bunga karena inflasi masih tinggi, Anil menilai momen tersebut sebenarnya merupakan sinyal bahwa tren suku bunga akan cenderung turun setelahnya.
"Selama argumentasi yang diberikan The Fed yakni menahan suku bunga tetap tinggi hingga inflasi turun ke target 2 persen, maka selama itu investor obligasi bisa lumayan tenang karena inflasi ada dalam kontrol Bank Sentral," imbuh Anil.
Diakui, inflasi AS saat ini telah melebar dari semula inflasi produk menjalar ke inflasi jasa. Anil mengatakan, hal itu disebabkan pembukaan kembali ekonomi usia pandemi Covid-19 di beberapa negara. Kondisi tersebut mendongkrak adanya mobilitas termasuk untuk liburan, sehingga harga jasa ikut melambung.
Bersamaan dengan itu, Anil memperkirakan inflasi kali ini akan berlangsung lebih lama dibanding dekade sebelumnya lantaran terjadi pula deglobalisasi. Deglobalisasi sendiri disebut telah terjadi sejak 2018, saat terjadi perang dagang antara AS-China.
"Ini kondisi yang tidak bisa dihindari. Tapi inflasi memiliki cycle, itu juga akan kejadian. Jika inflasi pada tahun lalu tinggi, maka akan diikuti inflasi lumayan rendah sebelum The Fed melakukan pemotongan suku bunga. Dan inflasi akan sedikit naik lagi di akhir 2024 hingga awal 2025," ujar Anil.
Pasar Modal Indonesia Masih Bergairah IHSG Berpotensi Sentuh 7.550 pada Akhir 2023
Sebelumnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan mencapai level 7.550 hingga akhir tahun. Analyst CGS-CIMB Sekuritas Indonesia, Peter Sutedja menuturkan, proyeksi tersebut merujuk pada data ekonomi dalam dan luar negeri yang relatif stabil setelah sempat bergejolak karena inflasi.
Meski diakui, sempat terjadi aksi jual oleh investor asing lantara terjadi perpindahan dari ekuitas ke obligasi (bonds), namun belakangan Peter mencermati investor mulai kembali ke pasar ekuitas. Untuk sementara, Peter mengatakan investor masih memburu saham-saham dengan kapitalisasi besar (big cap).
"Fundamental kita baik. Pelemahan harga komoditas sudah diekspektasi pemerintah dan market. Tahun ini fundamental kita tidak ada yang berubah. Kalau kondisi eksternal stabil, flownya bisa balik lagi ke kita," kata did dalam Money Buzz, Selasa (18/4/2023).
The Fed masih memiliki agenda rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada Mei mendatang, yang diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga 25 bps. Di sisi lain, langkah tersebut dinilai mencerminkan keyakinan The Fed bahwa inflasi AS mulai terkendali.
"Target IHSG sejak awal 7.550. Kita suka perbankan seperti Bank Mandiri Tbk (BMRI), Bank Central Asia Tbk (BBCA), dan Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI). Konsumer ada Mayora Indah Tbk (MYOR) dan Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI)," sebut Peter.
Untuk waktu dekat, Peter mengatakan sentimen dalam negeri lebih terkait kinerja kuartalan. Setelah rilis kinerja kuartalan dirilis, investor bisa mencoba melakukan sector rotation ke sektor saham yang memiliki kinerja bagus pada awal tahun ini. "Jadi bisa rotate ke sektor lain yang hasilnya bagus seperti BFI Finance Tbk (BFIN) dan Adaro Minerals Tbk (ADMR)," pungkas dia.
Advertisement
Membedah Instrumen Investasi yang Berpotensi Cuan pada 2023
Sebelumnya, kondisi ekonomi global yang dilanda ketidakpastian menimbulkan kekhawatiran pasar. Meski begitu, investor tampaknya sudah cukup antisipatif, merujuk pada sinyal bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (the Fed) yang diperkirakan tidak akan agresif menaikkan suku bunga, seiring inflasi yang mulai terkendali.
Vice President of Sales and Distribution PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (AMOR), Felicia Iskandar menilai, tahun ini menjadi kesempatan untuk investasi pada aset-aset di pasar modal, baik obligasi maupun di pasar saham.
"Pada semester I, karena kondisi suku bunga kelihatan cenderung akan stay atau terjadi pemangkasan dan inflasi cenderung lebih terkendali dibanding tahun lalu, akan berikan peluang dari sisi kenaikan aset interest rate sensitive seperti obligasi,” kata dia dalam Money Buzz, ditulis Rabu (29/3/2023).
Menurut dia, pada paruh pertama 2023 lebih banyak katalis positif untuk obligasi. Salah satunya mengacu pada perkiraan kapan suku bunga akan mengalami perubahan. Menurut dia, waktu terbaik untuk masuk obligasi adalah sekitar 3 bulan sebelum momentum itu.
"Momentum ideal based on historical untuk beli obligasi dengan kondisi most likely tidak ada kenaikan suku bunga, biasanya 3 bulan sebelum interest rate pick,” ujar Felicia.
Misalnya, Bank Indonesia (BI) sudah memberi sinyal tidak ada kenaikan suku bunga pada April atau Mei, maka waktu terbaik untuk masuk pasar obligasi yakni sekitar Februari agar mendapat imbal hasil maksimal.
Atau, misalnya jika BI memutuskan untuk menaikan suku bunga sekali lagi mengikuti kebijakan The Fed pada Juni atau Juli, maka waktu terbaik untuk masuk pasar saham adalah sekarang, atau sekitar Maret.
"Secara historis, kalau kita masuk di momen 3 bulan sebelum pick rate, biasanya 1 tahun kinerja obligasi bisa naik 13-15 persen return-nya,” imbuh Felicia.
Katalis Positif untuk Obligasi
Obligasi memang akan mengalami katalis positif saat suku bunga acuan mulai stabil, atau tidak lagi ada kenaikan. Sebagai contoh, felicia menjelaskan obligasi AS atau US treasury 10 tahun yang imbal hasilnya sudah turun 0,5 bps atau dari sekitar 3,8—3,9 persen menjadi 3,3–3,4 persen.
"Kalau imbal hasil turun, harga obligasi naik. Begitu juga yang terjadi dengan obligasi pemerintah RI denominasi dolar Amerika Serikat. Ini relatif diuntungkan dengan kondisi global dan suku bunga saat ini, juga untuk obligasi di rupiah,” jelas Felicia.
Sedangkan untuk paruh kedua tahun ini, Felicia mengatakan pasar saham yang akan lebih banyak mendapat sentimen positif. Hal itu merujuk pada mulai bangkitnya konsumsi jelang pemilu 2024. Sehingga pertumbuhan itu turut mengerek kinerja emiten di pasar saham.
“Semester II kita klan lihat katalis lebih ke pasar saham karena equity akan dipicu dari sisi growth karena adanya pemilu di 2024,” pungkas dia.
Advertisement