Liputan6.com, Jakarta - Investasi obligasi menjadi pilihan menarik di tengah tren kenaikan suku bunga. Umumnya, harga obligasi akan turun saat suku bunga naik. Saat harga turun, imbal hasil atau yield obligasi akan naik.
Pada kondisi ini, Head of Fixed Income Ashmore Asset Management Indonesia, Anil Kumar mengatakan, obligasi pemerintah menarik untuk dicermati.
Advertisement
"Seiring perlambatan ekonomi secara global dan inflasi mulai turun dan lain sebagainya, maka instrumen yang paling aman adalah obligasi pemerintah. Walaupun tidak apa-apa kalau ditambahkan dengan obligasi korporasi yang memiliki kualitas yang baik juga dan juga kualitas perusahaannya," kata Anil dalam Money Buzz - The Best Time for Bonds is Now, Selasa (16/5/2023).
Anil menambahkan, kualitas perusahaan yang dimaksud tidak hanya dilihat dari rating atau pemeringkatannya. Melainkan juga dari sisi fundamental atau laporan keuangan. Menurut dia, bisa saja rating perusahaan kurang bagus meski memiliki kinerja fundamental yang solid sehingga bisa dimasukkan dalam portofolio investasi.
"Tapi memang persentase obligasi korporasi itu harus kita jaga di level yang yang lumayan rendah supaya kita bisa aman melewati turbulensi yang akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan. Di sisi lain obligasi pemerintah akan memberikan level of security yang sangat baik," imbuh Anil.
Dari sisi tenor, Anil merekomendasikan untuk memilih obligasi jangka panjang. Pertimbangan itu merujuk pada Bank Indonesia (BI) yang saat ini masih menjalankan kebijakan operation twist, di mana BI bisa melakukan penjualan obligasi jangka pendek tapi sudah tidak lagi melakukan pembelian obligasi jangka panjang.
"Apalagi kalau inflasi dan suku bunga turun, maka sebenarnya obligasi jangka panjang akan memberikan imbal hasil yang lebih baik untuk investor," kata Anil.
Alih-alih melakukan investasi pada instrumen obligasi secara satu persatu, lebih baik membeli reksa dana pendapatan tetap. Carilah reksa dana pendapatan tetap dengan porsi obligasi pemerintah yang dominan. Jika memang ada sejumlah kecil obligasi korporasi, periksa perusahaan yang menerbitkan obligasi tersebut.
Kesalahan Kebijakan Suku Bunga The Fed Jadi Peluang Investor Obligasi
Sebelumnya, bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed disebut kerap melakukan kesalahan dalam menentukan tindakan terkait suku bunga, baik sata menaikkan maupun menurunkan.
Head of Fixed Income Ashmore Asset Management Indonesia, Anil Kumar mengatakan, biasanya The Fed terlambat menaikkan suku bunga yang menyebabkan inflasi tinggi. Kemudian terlambat turunkan suku bunga sehingga pertumbuhan ekonomi melambat. Namun kondisi tersebut rupanya menguntungkan untuk investor obligasi.
"Ketika The Fed mengatakan inflasi terlalu rendah tapi tidak mau menaikkan suku bunga, saat itulah kita melakukan unwinding posisi dari obligasi kita, terutama yang memiliki tingkat kupon tetap ke dalam instrumen yang memberikan kupon floating," kata Anil dalam Money Buzz edisi The Best Time for Bonds is Now, Selasa (16/5/2023).
Di sisi lain, ketika The Fed mengatakan belum saatnya menurunkan suku bunga karena inflasi masih tinggi, Anil menilai momen tersebut sebenarnya merupakan sinyal bahwa tren suku bunga akan cenderung turun setelahnya.
"Selama argumentasi yang diberikan The Fed yakni menahan suku bunga tetap tinggi hingga inflasi turun ke target 2 persen, maka selama itu investor obligasi bisa lumayan tenang karena inflasi ada dalam kontrol Bank Sentral," imbuh Anil.
Advertisement
Prediksi Inflasi
Diakui, inflasi AS saat ini telah melebar dari semula inflasi produk menjalar ke inflasi jasa. Anil mengatakan, hal itu disebabkan pembukaan kembali ekonomi usia pandemi Covid-19 di beberapa negara. Kondisi tersebut mendongkrak adanya mobilitas termasuk untuk liburan, sehingga harga jasa ikut melambung.
Bersamaan dengan itu, Anil memperkirakan inflasi kali ini akan berlangsung lebih lama dibanding dekade sebelumnya lantaran terjadi pula deglobalisasi. Deglobalisasi sendiri disebut telah terjadi sejak 2018, saat terjadi perang dagang antara AS-China.
"Ini kondisi yang tidak bisa dihindari. Tapi inflasi memiliki cycle, itu juga akan kejadian. Jika inflasi pada tahun lalu tinggi, maka akan diikuti inflasi lumayan rendah sebelum The Fed melakukan pemotongan suku bunga. Dan inflasi akan sedikit naik lagi di akhir 2024 hingga awal 2025," terang Anil.
Prospek Pasar Obligasi
Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia disebut cukup baik dan stabil di kisaran 5 persen. Head of Fixed Income Ashmore Asset Management Indonesia, Anil Kumar mengatakan angka ini tumbuh dua kali lipat dibandingkan pertumbuhan ekonomi global yang di kisaran 2,8 persen tahun ini dan 3 persen pada 2024.
"Kita patut bersyukur akan hal ini. Karena walaupun nanti akan mengalami proses perubahan kepemimpinan dan lain sebagainya, ekonomi kita tetap di-drive oleh private market. Ditambah lagi dengan adanya hilirisasi, maka ekspor dan penerimaan negara juga sudah meningkat," kata Anil dalam Money Buzz edisi The Best Time for Bonds is Now, Selasa (16/5/2023).
Bersamaan dengan itu, Anil menyebutkan asumsi harga minyak adalah USD 90 per barel pada APBN 2023. Sementara saat ini harga minyak sedang dalam level USD 70-80 per barel. Sehingga pengeluaran negara melalui subsidi menjadi sedikit berkurang.
"Hal ini akan memberikan prospek yang sangat baik untuk pasar obligasi Indonesia. Kita sudah di awal Januari, di mana di awal lelang obligasi konvensional yang dilakukan pemerintah setiap dua minggu, sudah turun dari Rp 23 triliun menjadi Rp 18 triliun. Itu menunjukkan bahwa pemerintah punya akses money yang mereka gunakan, sehingga tidak perlu lebih banyak berutang," imbuh Anil.
Dari sisi APBN, Anil mencatat sampai dengan Maret setidaknya masih surplus Rp 128,5 triliun. Pada periode yang sama, pendapatan dan penerimaan negara naik hampir 30 persen yoy, walaupun pengeluaran pemerintah hanya naik 6 persen pada kuartal pertama tahun ini.
"Ini semua menunjukkan bahwa supply obligasi untuk tahun ini akan turun dari target awal kurang lebih Rp 700 triliun atau 2,85 persen fiskal budget deficit. Kemungkinan kita akan mengakhiri tahun ini antara level tinggal 2-2,4 persen dari fiskal budget deficit," ujar Anil.
Advertisement
Kepemilikan Investor di Obligasi Meningkat
Menariknya ,lanjut Anil, pemerintah berasumsi bahwa fiskal budget deficit tahun depan berkisar antara 2,1- 2,4 persen, lebih rendah dari tahun ini. Bersamaan dengan itu, Bank Indonesia mengasumsikan bahwa inflasi tahun depan mulai turun dari 3 persen tahun ini +/- 1 menjadi 2,5 persen +/- 1. Dengan kondisi seperti itu, asumsinya obligasi juga akan mulai stabil.
"Dengan pertumbuhan ekonomi 5 persen dan pertumbuhan pinjaman yang sedikit mulai turun, maka kita hampir yakin mengatakan bahwa suku bunga perbankan di Indonesia juga akan mulai turun dan akan mulai ada perpindahan uang dari dana pihak ketiga masuk ke dalam pasar obligasi dalam jumlah yang lumayan besar karena memang imbal hasil obligasi kita kali ini hampir dua kali lipat daripada deposit rate di perbankan ," tutur Anil.
Dalam hematnya, telah terjadi peningkatan kepemilikan investor individu di pasar obligasi hingga tujuh kali lipat dalam tujuh tahun terakhir. Sementara terjadi penyusutan kepemilikan asing. Kondisi ini mencerminkan kebutuhan Indonesia akan uang dari investor asing makin sedikit.
"Ini harus kita jaga dengan trade balance kita yang terus surplus, current account kita yang lumayan surplus atau kalaupun defisit, defisitnya kecil. Maka selama balance of payment kita positif, selama efek reserve kita terus bertambah, maka imbal hasil obligasi kita akan memiliki kecenderungan turun," kata Anil.