Aturan Penutupan Jalan di Inggris Ramah Pejalan Kaki, tapi Tak Ramah Penyandang Disabilitas

Seorang wanita penyandang disabilitas protes karena peraturan penutupan jalan di Brighton dan Hove, Inggris, membuatnya tak bisa beraktivitas di luar rumah.

oleh Chelsea Anastasia diperbarui 17 Mei 2023, 18:00 WIB
Ilustrasi penyandang disabilitas di jalan. (Photo by Jung Ho Park on Unsplash.com)

Liputan6.com, Jakarta Penutupan jalan oleh Dewan Kota Brighton dan Hove, Sussex, Inggris Raya menyebabkan seorang wanita penyandang disabilitas, Ann Ingle, tak bisa beraktivitas ke luar rumahnya.

Gara-gara penutupan jalan itu, ia tak dapat menghadiri janji temu dengan dokter dan pertemuan-pertemuan penting lainnya. Hal ini, menurutnya, menjadi contoh dari kebijakan yang bertujuan ramah pejalan kaki, tetapi gagal memperhitungkan kebutuhan akses penyandang disabilitas.

Selama lebih dari 15 tahun, dia telah tinggal di Gardner Street, di kawasan perbelanjaan dan restoran yang populer di Kota Brighton dan Hove.

Sebagai penyandang disabilitas, Ann tidak dapat menggunakan kursi roda karena kondisi kesehatan kronis yang kompleks. Dengan begitu, ia membutuhkan sebuah mobil yang dapat parkir tepat di luar tempat tinggalnya untuk ia bepergian.

Namun, peraturan penutupan jalan yang mulai diberlakukan pada bulan Januari lalu hanya memperbolehkan kendaraan berada di jalan sebelum jam 11 pagi dan setelah jam 5 sore waktu setempat setiap harinya.

Dengan begitu, wanita tersebut merasa dewan kota mendiskriminasi dirinya dan melanggar haknya di bawah Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Ann juga telah mengajukan keluhan resmi tentang kebijakan yang dianggap semena-mena ini.

Kendati demikian, Ann mengatakan, sejauh ini Dewan Kota Brighton dan Hove menolak untuk melakukan penyesuaian untuknya.

“Saya terlantar. Saya tidak tahu apa lagi yang bisa saya lakukan tentang ini,” tuturnya kepada Disability News Service.


Sebagai Penyandang Disabilitas, Ann Merasa Dunianya Makin Kecil

Ilustrasi penyandang disabilitas. (Sumber: Freepik)

Ann mengungkap, situasi ini membuat perawatan kesehatannya berhenti. Begitu juga dengan orang-orang yang memiliki kondisi yang sama sepertinya.

“Ini adalah situasi yang aneh, dan hal-hal sehari-hari mengenai perawatan kesehatan saya, seperti mendapatkan perawatan dan pencegahan, pemindaian dan penilaian—semuanya berhenti,” katanya.

“Saya selalu bertanggung jawab atas kesehatan saya dan (aturan) ini menghentikan saya melakukannya,” Ann melanjutkan.

Tak hanya itu, dia juga berkata, aksesnya kepada dunia luar juga berhenti. Misalnya, seperti keluar rumah untuk bertemu teman baru dan melihat hal-hal baru di luar rumah.

“Semua hal yang membuat otak, tubuh, dan emosi saya bekerja dengan baik, semuanya telah seperti berhenti,” ujarnya.

Ann merasa, dunianya jadi lebih kecil karena ia tak bisa menggunakan kursi roda. Menurutnya, dewan kota gagal mempertimbangkan bahwa beberapa penyandang disabilitas memiliki kondisi yang terlalu kompleks, hingga menggunakan kursi roda pun tak cukup.

“Ini bukan tentang sepeda versus mobil atau perjalanan aktif atau apapun. Ini adalah masalah disabilitas, ini tentang bagaimana penyandang disabilitas dapat bergerak dan mencapai tempat yang kita butuhkan,” tutur wanita tersebut.


Dewan Kota Mencabut Izin Parkir Disabilitas

Ilustrasi Disabilitas. Foto: Ade Nasihudin/Liputan6.com.

Berdasarkan pernyataan Ann, penyandang disabilitas yang membutuhkan kendaraan pribadi sebagai alat bantu mobilitas juga bagian dari masyarakat. Oleh sebab itu, ia merasa perlu dilindungi sama seperti masyarakat umum.

Tak sampai di situ, Ann juga membeberkan bahwa dewan kota menghapus izin parkir disabilitas. ​​Izin parkir disabilitas adalah sebuah tempat parkir kendaraan yang mengizinkan pengendara penyandang disabilitas untuk diberi hak-hak khusus dalam hal memarkirkan kendaraannya, seperti melansir GOV.UK.

“Jadi, bahkan ketika jalan dibuka, kendaraan saya tidak dapat memarkir secara legal untuk saya agar saya dapat menggunakan kendaraan,” tuturnya.


Organisasi Peduli Disabilitas Mendukung Ann

ilustrasi disabilitas. (Photo by Romain Virtuel on Unsplash)

Kekecewaan Ann didukung oleh organisasi penyandang disabilitas Brighton, Possability People dan kelompok penyandang disabilitas lokal lainnya, BADGE. Mereka mengajukan bukti dan bantu berbicara tentang keprihatinan mengenai masalah ini kepada dewan kota.

“Ada 13.500 penyandang disabilitas (di kawasan dewan kota) yang bergantung pada kendaraan atau kursi roda mereka sebagai alat bantu mobilitas,” tutur kedua organisasi kepada dewan kota.

Kepala Eksekutif Possability People, Geraldine Des Moulins, berharap Dewan Kota Brighton dan Hove dapat memahami urgensi dari isu ini.

“Setelah konsultasi awal, yang melibatkan Possability People, kami rasa Dewan Kota Brighton dan Hove memahami pentingnya Gardner Street bisa dapat diakses, baik untuk komunitas maupun untuk penduduk disabilitas,” katanya.

“Kami terkejut dan kecewa mengetahui proposal mereka untuk menutup akses kendaraan ke jalan selama tujuh hari seminggu, dari jam 11 pagi sampai jam 7 malam,” Geraldine melanjutkan.

Ia juga mengungkap, dewan kota belum merespons permintaan mereka tersebut.

“Kami telah berulang kali meminta untuk bertemu dengan mereka untuk melihat apakah ada opsi, seperti membuka jalan pada jam 5 sore daripada jam 7 malam. Tetapi mereka belum menanggapi permintaan kami,” pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya