Liputan6.com, Jakarta Pemerintah memutuskan memberikan subsidi kendaraan listrik. Langkah ini dikritik Anies Baswedan karena dinilai kurang tepat untuk menekan karbon.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin menjelaskan alasan pemberian insentif bagi mobil dan motor listrik.
Advertisement
Dia mengungkapkan, pemberian insentif kendaraan listrik harus dilihat secara utuh sebagai bagian dari upaya menekan emisi karbon. Dimana emisi karbon dapat ditekan utamanya lewat 2 langkah yakni elektrifikasi transportasi dan dekarbonisasi listrik. sehingga insentif pada kendaraan listrik menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk mencapai target komitmen _net zero emission_ pada tahun 2060 mendatang.
"Kalau kita berbicara tentang pengurangan emisi karbon, maka ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama mendorong kehadiran kendaraan listrik dan yang kedua adalah melakukan dekarbonisasi listrik. Ini dua hal yang saling berkaitan," ucap Rachmat dalam salah satu diskusi, Selasa (16/5/2023).
Untuk mendorong dekarboninasi listrik, pemerintah juga sudah memiliki komitmen dalam mengurangi energi yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Sebelum tahun 2030, pemerintah berencana mempensiunkan dini PLTU dengan total kapasitas sebesar 9,2 Giga Watt (GW) sebelum tahun 2030 dan menggantinya dengan Energi Baru Terbarukan (EBT).
Menurut Rahmat, pemberian insentif pajak yang lebih kecil ini diharapkan bisa mendorong jumlah konsumsi kendaraan listrik di Indonesia. Terlebih, harga mobil listrik saat ini masih lebih mahal dibanding mobil konvensional. Tak hanya itu, pengenaan pajak yang lebih kecil juga dilakukan dalam rangka mengurangi emisi karbon yang dihasilkan dari kendaraan konvensional.
"Pemerintah tidak memberikan subsidi untuk mobil listrik, tapi memberikan pajak yang lebih rendah dibanding mobil konvensional. Tarif pajak yang diberikan lebih kecil agar masyarakat masih punya pilihan di saat membeli kendaraan," ungkap dia.
Tren Dunia
Rahmat mengatakan, penggunaan kendaraan listrik saat ini sudah menjadi tren dunia sehingga Indonesia perlu adaptif terhadap tren tersebut. Tujuannya agar industri otomotif yang ada di negara ini bisa bersaing dengan tren global.
"Bayangkan, kalau kita diam saja dan tidak mengikuti tren tersebut. Apa yang akan terjadi dengan industri otomotif di dalam negeri saat konsumen di dalam negeri ternyata menginginkan kendaraan listrik, pasar Indonesia bisa dipenuhi dengan produk impor," tegasnya.
Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional mengatakan hal senada. Menurut Satya, pemerintah memang harus bergerak untuk mendorong pengembangan kendaraan listrik di Tanah Air. "Saya sepakat, jangan jadikan Indonesia _extended market_ dari luar. Tapi kita harus menjadi pemain di industri ini dan menjadikan negara lain sebagai pasar potensial bagi produk otomotif dalam negeri," cetusnya.
Satya optimistis jika ke depannya Indonesia bisa mandiri dalam mengembangkan kendaraan listrik. "Saat ini Indonesia sedang mengembangkan teknologi pembuatan baterai kendaraan listrik. Jika ini bisa kita kuasai teknologinya, kita bisa mandiri dalam industri ini. Apalagi, Indonesia punya bahan baku dalam pembuatan baterai kendaraan listrik," papar dia.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute menambahkan, dalam pengembangan mobil listrik setiap orang harus melihat dari berbagai aspek, seperti muliplier effect yang diciptakan dan tidak hanya melihat faktor lingkungan semata.
"Indonesia punya nikel dan sumber daya alam lainnya, saya setuju jika kita terlibat dalam pengembangan kendaraan listrik akan memunculkan nilai tambah ekonomi bagi negara ini. Hanya saja, saran saya dibutuhkan kebijakan, perencanaan secara menyeluruh mulai dari lingkungan, pekerja dan aspek ekonomi," imbuhnya.
Advertisement