Menciptakan Lifestyle Baru, Kebiasaan Minum Jamu ke Generasi Muda Lewat Mixology

Budaya minum jamu saat ini masih kalah populer dari kebiasaan anak muda ngopi atau nongkrong di coffee shop. Hal itu terlihat dari bermunculannya kedai-kedai kopi masa kini di sudut kota yang merambah hingga daerah lain di Indonesia.

oleh Dyah Ayu Pamela diperbarui 17 Mei 2023, 05:26 WIB
Wiratea Spices Bar juga memiliki sebuah kedai di Yogyakarta. (Dok: Instagram @wiratea_spicesbar)

Liputan6.com, Jakarta - Budaya minum jamu saat ini masih kalah populer dari kebiasaan anak muda ngopi atau nongkrong di coffee shop. Hal itu terlihat dari bermunculannya kedai-kedai kopi masa kini di sudut kota yang merambah hingga daerah lain di Indonesia.

Memang tak ada salahnya, toh kopi pun membawa dampak signifikan pada perkembangan industri kopi Tanah Air dan petani di daerah. Namun jamu, memiliki rentetan sejarah lain Indonesia di mana dulu jadi lalu lintas jalur rempah.

Hal itulah yang menjadi motivasi Wiratea Spices Bar, sebuah brand minuman rempah yang ingin menjadikan konsumsi jamu sebagai lifestyle bagi anak muda. Bermula dari pengalaman sang ibu berjualan jamu gendong, Ahmad Abdul Fattah memberanikan diri membuka Wiratea Spices Bar yang berlokasi di Kampung Lawasan Heritage Cottage, Sleman DIY.

Bukan sekadar tempat nongkrong sekalangan anak muda Yogyakarta. Di sini Wiratea Spices Bar ingin lebih jauh mengenalkan jamu sebagai minuman rempah yang dikombinasikan dengan cokelat, susu, matcha hingga bunga.

"Karena sering membantu membuat jamu jadi tahu karakternya, saya coba mixing minuman jamu dengan yang familiar kombinasi dengan cokelat, late, bunga dan matcha," sebut pria yang lebih akrab disapa Fattah ini, saat dihubungi melalui sambungan telepon oleh Liputan6.com, Selasa 16 Mei 2023.

Namun meski membuka kedai di Yogyakarta, rumah produksi Wiratea Spices Bar sendiri berlokasi di Kebumen. "Kita buat homemade untuk bubuk rempah semua di rumah," sambung Fattah.

 

 


Diajak Kemenparekraf Partisipasi di Vietnam International Travel Mart

Wiratea Spice Bar, sebuah brand minuman rempah di Yogyakarta. (Dok: Instagram @wiratea_spicesbar)

Menurut Fattah pengenalannya dengan kebiasaan minum jamu ke anak muda lebih kepada mixology, meramu rempah-rempah dengan berbagai bahan lainnya yang cocok. Sebab Wiratea Spices Bar tidak fokus membuat anak muda mengonsumsi jamu untuk sehat atau mengatasi flu.

"Jamu konotasinya kuno, anak muda jarang mau," sambung Fattah.

Varian minuman rempah di sini antara lain kunyit, jahe, temulawak, kayu manis, kayu secang, gula kelapa, bunga lawang, kapulaga, bunga telang, bunga rosella. Kunyit moctail jadi salah satu andalan minuman di sini dan perpaduannya bisa langsung mencobanya sendiri dengan datang ke Wiratea Spices Bar dengan harga yang berkisar Rp25 ribuan per gelasnya.

Hebatnya brand ini telah ikut serta di ASEAN Trade Forum yang berlangsung di Yogyakarta pada Februari 2023 lalu. Wiratea Spices Bar saat itu membuat welcome drink untuk para tamu yang menghadiri gelaran ATF untuk skala B2B. 

"Kita di sana dikenalnya mixology antar rempah dengan bahan-bahan lainnya, kita ditempatkan di mixologyst corner ATF," jelas Fattah. 

Setidaknya saat itu Wiratea Spices Bar membuat 700 cup. Lantaran banyak peminatnya, brand ini akhirnya juga dipercaya untuk kembali mengikuti ajang serupa yaitu Vietnam International Travel Mart 2023 pada pertengahan April lalu.


Jalur Rempah di Nusantara

ilustrasi jamu Indonesia. (Dok: Pexels)

Mengutip dari laman Kemendikbud Jalur Rempah, Rabu (17/5/2023), perdagangan rempah pada masa lalu memegang peranan penting dalam peradaban dunia. Rempah pernah menjadi komoditas yang mampu menggerakan sejarah, sekaligus mengubah peta dunia.

Rempah dipandang tak hanya sebagai produk dagang, namun juga menjadi simbol tertentu dalam budaya dari berbagai masyarakat di dunia. Begitu sulitnya mendapatkan rempah pada waktu itu, membuat rempah semakin dipandang memiliki kekuatan magis yang bisa berfungsi sebagai obat, pengawet, alat upacara keagamaan, hingga bumbu masak.

Maka tak heran apabila rempah menjadi sesuatu yang diperebutkan oleh banyak bangsa. Rempah yang pada mulanya sebagai komoditas ini, menciptakan adanya interaksi antarpedagang dari berbagai penjuru yang di dalamnya terjadi pertukaran pengetahuan, budaya, agama, serta pengalaman.

Rempah yang jadi alat perdagangan ketika itu menjelma sebagai ruang pertemuan antarmanusia lintas bangsa, sekaligus sarana pertukaran dan pemahaman antarbudaya yang mempertemukan berbagai ide, konsep, gagasan, bahkan identitas. 

Jalur dan jaringan merupakan dua hal yang berbeda. Belakangan, keduanya sering disebut-sebut seiring dengan "Jalur Rempah" sebagai jalur budaya, hendak diusung dan diajukan sebagai warisan dunia ke UNESCO. Lantas, apa perbedaan dari keduanya?

Sejarawan yang juga Guru Besar Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, dalam webinar berjudul Jalur dan Jaringan: Rempah-Rempah Menghangatkan Dunia, mengatakan perdagangan rempah pada masa lalu tak hanya membentuk sebuah rute atau jalur, namun ikut melahirkan sebuah jaringan.  


Asal-usul Jalur Rempah

Ilustasi bahan pembuat jamu segar. (dok. unsplash/Agnieszka Kowalczyk)

Saat itu, rute atau jalur lahir karena adanya penawaran dan permintaan antara satu wilayah dan wilayah lain. Oleh karena penawaran dan permintaan dibatasi dengan ruang, maka supplier dan demander membutuhkan rute atau jalur tertentu untuk memindahkan komoditas sehingga bisa diterima oleh pembeli. 

Keberadaan jalur pada masa itu berfungsi untuk memindahkan komoditas, dalam hal ini rempah, dari satu wilayah ke wilayah lain sesuai dengan mekanisme supply dan demand di dalam perdagangan. Inilah yang mendorong terbentuknya rute atau jalur perdagangan.

Jalur rempah dengan segala kompleksitasnya menghasilkan warisan budaya yang kasat mata atau bersifat fisik, di antaranya: kapal, pelabuhan-pelabuhan kuno, benteng dan bangunan-bangunan kuno, serta warisan dari tradisi yang terkait dengan kuliner dan rempah. 

Di perdagangan rempah, jalur itu sendiri lalu menimbulkan adanya jaringan. Berbeda dengan jalur perdagangan yang berarti rute maupun titik-titik perlintasan secara fisik, jaringan adalah sesuatu yang tak kasat mata. Jaringan merupakan aspek sosial budaya yang terjadi akibat pertukaran komoditas yang melibatkan mitra dagang dari lintas bangsa. 

Jaringan juga sangat penting dalam menentukan produksi dan distribusi dari perdagangan rempah pada waktu itu. Jaringan ini meninggalkan jejak budaya atau jejak keterhubungan antarbudaya berupa formasi sosial. Dalam kaitannya dengan UNESCO yang diklasifikasi sebagai warisan budaya takbenda atau UNESCO Intangible Cultural Heritage.

Pada akhirnya, antara jalur dan jaringan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Keduanya menjadi bagian penting yang lahir akibat dari perdagangan rempah-rempah. 

 

Infografis jamu populer di Indonesia. (Dok: Liputan6.com Tim Grafis)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya