Liputan6.com, Jakarta Sejumlah menteri dan wakil menteri (wamen) kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) diketahui ikut masuk ke bursa calon legislatif (caleg). Namun, ini dipandang rawan akan terjadinya konflik kepentingan.
Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Arifki Chaniago menilai konflik kepentingan bisa terjadi imbas dari jabatan yang diemban sebagai bagian pejabat pemerintahan. Sementara, menjadi caleg di daerah tertentu membawa agenda partai politik.
Advertisement
"Kalau konflik kepentingan itu jelas, kalau menteri itu berhubungan dengan kepentingan sebagai menteri, dan unsur-unsur kementerian itu akan berbeda karena dia menggunakan anggaran APBN anggaran negara, dan dia ada kepentingan personal, dia nyaleg untuk kepentingan parpol," kata dia kepada Liputan6.com, Rabu (17/5/2023).
"Konflik kepentingan ini ada juga bawa agenda-agenda parpol masuk ke pemerintahan atau ke kementerian," sambungnya.
Konflik Kepentingan
Dia mengatakan konflik kepentingan yang terjadi ini bakal membawa dampak buruk bagi masyarakat dan juga negara. Pada konteks ini, program yang dijalankan dikhawatirkan tidak tepat sasaran ke kelompok masyarakat tertentu.
"Menteri yang nyaleg juga akan fokus ke programnya agendanya langsung bersentuhan dengan daerah pemilihannya. Dan menteri yg gak nyaleg akan memilih prioritas mana program-program yang penting untuk sampai di 2024 (akhir masa jabatan)," bebernya.
Terkait perlunya pejabat negara mengambil cuti ketika nyaleg, Arifki menyebut bisa saja menteri membagi waktu antara kerjanya sebagai pejabat dan program nyaleg. Tapi, dikhawatirkan ini kembali memanfaatkan fasilitas kenegaraan yang tak sesuai.
"Tapi tentu secara etika itu dalam aturannya adalah ada agenda untuk memanfaatkan kepentingan pemerintagan untuk agenda nyaleg. Makanya saya merekomendasikan menteri itu harus mundur ketika dia nyaleg," jelasnya.
Langgar Etika Politik
Sejumlah nama Menteri, Wakil Menteri, hingga pejabat kementerian terpantau ikut masuk bursa calon legislatif (caleg) dari partai politiknya masing-masing. Langkah ini dinilai sebagai satu pelanggaran jika dilihat dari sisi etika politik.
Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Arifki Chaniago menilai langkah ini kemungkinan menjadi satu pelanggaran. Mengingat ada upaya mendongkrak popularitas sebagai caleg ketika masih menjabat sebagai pemerintah.
"Kalau kita kihat beberapa menteri yang nyaleg di beberapa tempat kan kalau secara etika politik tentu juga akan dianggap melanggar karena masih memegang jabatan administrasi negara. Artinya dalam konteks ini tentu ada peluang ketika para menteri yang nyaleg itu akan memanfaatkan anggaran-anggaran negara untuk mendongkrak popularitasnya," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (16/5/2023).
Advertisement
Beda Kepentingan
Analis politik ini juga mengatakan kalau ada kepentingan yang berbeda ketika pejabat negara ikut nyaleg. Pertama, dia membawa program pemerintah sebagai bagian dari kepentingan pemerintahan. Kedua, dia membawa kepentingan partai dalam posisi bursa legislatif.
"Makanya ketika ada menteri yang nyaleg akan menjadi masalah karena ini kepentingannya berbeda, kepentinfan partai dan juga kepentingan pemerintahaan," ungkapnya.
Diketahui, ada sejumlah menteri yang ikut nyaleg di 2024. Diantaranya, Menaker Ida Fauziah dari PKB, Menkumham Yasonna Laoly dari PDIP, Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar dari PKB, Menkominfo Johnny G Plate dan Mentan Syahrul Yasin Limpo dari Nasdem, Mendag Zulkifli Hasan dari PAN.
Kemudian, ada juga Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Angela Tanoesoedibjo dari Perindo, dan Wamenaker Afriansyah Noor dari PBB.
Harus Mundur
Lebih lanjut, Arifki menyarankan untuk menteri dan wakil menteri yang ikut nyaleg itu untuk mundur dari jabatannya. Salah satunya, untuk menjaga kinerja pemerintahan tidak terganggu.
"Makanya saya menilai ketika ada menteri yang nyaleg tapi gak mundur dari menteri, artinya hal yang cukup secara etika politik juga hal yang gak wajar," kata dia.
"Karena tentu dari program dari beberpaa hal tentu jangan ada yang terkait dengan pemerintahan, dan itu dibantu dari negara," sambungnya.
Pada konteks ini, Arifki menduga bakal ada agenda-agenda elektoral yang menggunakan uang negara dari APBN. Dia khawatir, jika ini berjalan, bisa merugikan negara.
"Makanya peluang-peluang ini harus kita lihat sangat merugikan bagi negara termasuk para elektoral yang diperkenalkan dengan program pemerintah tapi tujuannya untuk partai politik," pungkasnya.
Advertisement