Liputan6.com, Jakarta Tumpukan utang global telah naik ssebesar USD 8,3 triliun atau Rp. 123,8 kuadriliun pada kuartal pertama 2023 menjadi USD 305 triliun. Hal itu diungkapkan dalam laporan terbaru Institute of International Finance.
Melansir CNBC International, Jumat (19/5/2023) IIF mengatakan, naiknya utang global didorong oleh kondisi ekonomi global yang menghadapi krisis adaptasi pada pengetatan kebijakan moneter sejumlah bank sentral di nagara maju.
Advertisement
Seperti diketahui, bank-bank sentral di seluruh dunia telah menaikkan suku bunga selama lebih dari setahun dalam upaya untuk mengendalikan inflasi.
Salah satunya Federal Reserve AS yang awal bulan ini menaikkan suku bungake kisaran target 5 persen -5,25 persen tertinggi sejak Agustus 2007.
"Dengan kondisi keuangan pada tingkat yang paling ketat sejak krisis keuangan 2008-2009, krisis kredit akan mendorong tingkat gagal bayar yang lebih tinggi dan menghasilkan lebih banyak 'perusahaan yang mati,' di mana sekitar 14 persen dari perusahaan ini terdaftar di AS,” kata IIF dalam laporan triwulanan Global Debt Monitor yang dirilis pada Rabu (17/5).
IIF menyebut, peningkatan tajam utang global pada kuartal pertama 2023 menandai kenaikan kuartalan kedua berturut-turut menyusul penurunan tajam selama dua kuartal selama pengetatan kebijakan moneter yang agresif tahun lalu.
Korporasi non-keuangan dan sektor pemerintah mendorong sebagian besar rebound utang tersebut.
"Mendekati USD 305 triliun, utang global sekarang USD 45 triliun lebih tinggi dari tingkat pra-pandemi dan diperkirakan akan terus meningkat dengan cepat: Meskipun ada kekhawatiran tentang potensi krisis kredit menyusul gejolak baru-baru ini di sektor perbankan AS dan Swiss, kebutuhan pinjaman tetap tinggi," kata IIF.
Utang Negara Berkembang Ikut Naik
Organisasi yang berbasis di Washington D.C. itu juga mengatakan bahwa populasi yang semakin menua, meningkatnya biaya perawatan kesehatan, dan kesenjangan pendanaan iklim yang substansial memberikan tekanan pada neraca pemerintah.
Pengeluaran pertahanan nasional diperkirakan akan meningkat dalam jangka menengah karena meningkatnya ketegangan geopolitik, yang berpotensi mempengaruhi profil kredit pemerintah dan peminjam korporasi, demikian menurut proyeksi IIF.
"Jika tren ini berlanjut, dikhawatirkan akan memiliki implikasi yang signifikan terhadap pasar utang internasional, terutama jika suku bunga tinggi berlangsung lebih lama," tulis laporan tersebut.
IIF juga mencatat, total utang di pasar negara berkembang telah mencapai rekor tertinggi baru, lebih dari USD 100 triliun, atau sekitar 250 persen dari PDB, naik dari USD 75 triliun pada tahun 2019. China, Meksiko, Brasil, India, dan Turki menjadi negara penyumbang kenaikan utang terbesar.
Tak hanya itu, pasar negara maju, yaitu Jepang, AS, Prancis, dan Inggris juga membukukan kenaikan paling tajam selama kuartal tersebut.
Advertisement
Krisis Adaptasi
Pengetatan kebijakan moneter yang cepat mengungkap posisi likuiditas yang lemah di sejumlah bank kecil dan menengah di AS dan menyebabkan serangkaian keruntuhan dan dana talangan dalam beberapa bulan terakhir.
Kepanikan pasar berikutnya akhirnya menyebar ke Eropa dan memaksa penjualan darurat raksasa Swiss Credit Suisse ke UBS.
IIF menyatakan bahwa perusahaan keuangan telah mengalami "krisis adaptasi" terhadap apa yang disebutnya sebagai "rezim moneter baru".
"Meskipun kegagalan bank baru-baru ini tampak lebih istimewa daripada sistemik — dan lembaga keuangan AS memiliki utang yang jauh lebih sedikit (78 persen dari PDB) dibandingkan menjelang krisis 2007/8 (110 persen pada tahun 2006) — ketakutan akan penularan telah mendorong signifikan penarikan deposito dari bank regional AS," kata IIF.
"Mengingat peran sentral bank regional dalam intermediasi kredit di AS, kekhawatiran tentang posisi likuiditas mereka dapat mengakibatkan kontraksi tajam dalam pemberian pinjaman ke beberapa segmen, termasuk rumah tangga dan bisnis yang kekurangan layanan perbankan," jelas badan itu.
Kontraksi kondisi kredit ini khususnya dapat memengaruhi usaha kecil, ungkap IIF, bersamaan dengan menyebabkan tingkat gagal bayar yang lebih tinggi dan munculnya perusahaan zombie.
Sebagai informasi, perusahaan zombie adalah perusahaan dengan pendapatan yang cukup untuk memungkinkannya terus beroperasi dan membayar bunga atas utangnya, tetapi tidak untuk melunasi utangnya, artinya setiap uang tunai yang dihasilkan segera dihabiskan untuk utang. Oleh karena itu, perusahaan itu "tidak mati atau hidup."
“Kami memperkirakan bahwa sekitar 14 persen perusahaan AS akan dianggap sebagai zombie, dengan sebagian besar dari mereka berada di sektor kesehatan dan teknologi informasi.”