PM Kamboja Berkuasa Hampir 40 Tahun, Oposisi Sebut Rezimnya Mirip di Korea Utara

Tokoh oposisi Kamboja meminta tolong Indonesia dan negara-negara ASEAN karena tindakan Perdana Menteri Hun Sen yang dianggap tidak demokratis.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 20 Mei 2023, 11:30 WIB
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen memberi salam hormat saat upacara penutupan atau closing ceremony SEA Games 2023 di Morodok Techo National Stadium, Phnom Penh, Rabu (17/5/2023) malam WIB. (Tang Chhin Sothy / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Selama beberapa tahun terakhir, ASEAN fokus kepada kekacauan di Myanmar, mulai dari persekusi terhadap Rohingya hingga kudeta yang dilakukan junta militer pada 2021 lalu. ASEAN masih belum berhasil membuat pertumpahan darah di Myanmar berhenti.

Tak banyak disadari publik, ada rezim lain di ASEAN yang juga memprihatinkan: Kamboja.

Apabila Soeharto berkuasa di Republik Indonesia selama 32 tahun, ternyata pemimpin di Kerajaan Kamboja sudah berkuasa selama 38 tahun.

Perdana Menteri Kamboja Hun Sen pertama kali berkuasa pada sejak 1985. Hun Sen akan ikut pemilu lagi pada Juli 2023.

Tokoh penting oposisi Kamboja, Sam Rainsy, lantas khawatir bahwa Hun Sen akan melanjutkan kekuasaan hingga membangun dinasti yang tidak demokratis, seperti Korea Utara.

"Hun Sen sekarang berencana untuk digantikan oleh anak laki-lakinya sendiri. Ia ingin membuat dinasti politik, seperti di Korea Utara. Dan ia bilang, setelah anak laki-lakinya, maka cucu-cucunya yang akan menggantikan putranya," ujar Sam Rainsy dalam acara diskusi yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Jakarta, Jumat (19/5/2023).

Sam Rainsy merupakan politikus Kamboja yang menjadi eksil sejak tahun 2015. Human Rights Watch (HRW) melaporkan pada 2022 bahwa pemerintah Hun Sen memang menarget pihak oposisi lewat pengadilan massal.

"Parahnya lagi, demi mengamankan dukungan dari orang-orang di kelompoknya, ia (Hun Sen) berjanji kepada anggota kelompoknya agar mereka digantikan oleh anaknya masing-masing. Jadi ini klan. Penerusan seperti klan. Feodalistik. Beberapa keluarga akan terus memerintah negara ini selamanya," lanjut Rainsy.

Politikus senior itu berkata orang-orang intelektual di Kamboja sudah sadar betapa "gilanya" kondisi di Kamboja.

Rainsy lantas meminta agar Indonesia tidak mengakui pemilu Kamboja pada Juli mendatang karena menuding badan pemilu negara itu tidak netral. Kendati demikian Indonesia yang masuk dalam ASEAN diketahui memiliki prinsip non-intervensi.

Perihal tersebut, Rainsy mengatakan sejatinya perlu ada perubahan, sebab ia yakin Kamboja akan lebih sensitif terhadap kritikan internasional.

Rainsy berkata pihak Myanmar memang lebih tertutup, sehingga lebih imun terhadap kritikan internasional. Tetapi, Kamboja butuh dukungan internasional untuk membangun proyek-proyek dan mendapat pendanaan.


Kemanusiaan di Pancasila

(Dari kiri) Menteri Keuangan dan Ekonomi Brunei Amin Liew Abdullah, Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia Airlangga Hartarto, Presiden Asian Development Bank (ADB) Masatsugu Asakawa, Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei, Presiden Indonesia Joko Widodo, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr., Sekretaris Jenderal ASEAN Kao Kim Hourn, Menteri Ekonomi Malaysia Rafizi Ramli dan Ketua Mindanao Development Authority (MinDA) Acosta bergandengan tangan saat mereka berpose untuk foto selama Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-AEGA) Ke-15 di sela-sela KTT ASEAN ke-42 di Labuan Bajo, Kamis (11/5/2023). (Bay Ismoyo/Pool Photo via AP)

ASEAN memiliki prinsip tidak campur tangan terhadap masalah-masalah di negara anggotanya, sehingga hal itu bertentangan dengan harapan Rainsy untuk meminta bantuan. Sam Rainsy lantas menjawab sudah saatnya ASEAN meninggalkan prinsip yang ketinggalan zaman.

"ASEAN perlu mempertimbangkan bergerak ke arah yang sedikit berbeda. Terkait yang disebut 'non-interference; itu adalah konsep atau prinsip yang terlihat semakin ketinggalan zaman, semakin tak relevan," ujar Rainsy. 

Lebih lanjut, ia menyorot salah satu sila Pancasila, yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Rainsy berargumen bahwa sila tersebut bisa menjadi landasan bagi Indonesia untuk membela HAM di negara-negara lain.

"Salah satu sila lima intinya adalah kemanusiaan. Bagaimana kamu merekonsiliasi kemanusiaan dan non-interference? Kemanusiaan secara definisi itu universal," kata Rainsy.

Ia menerangkan bahwa Indonesia sangat vokal saat penderitaan Rohingya, sehingga diharapkan juga bisa angkat suara terhadap isu Kamboja. 

"Jadi kamu tidak bisa 'buta' pada penderitaan kemanusiaan di tetangga," ujar Sam Raisy."

"Karena masalah di negara kita, terutama di negara tetangga bisa berdampak ke keamanananmu. Dimulai dari pengungsi, kemudian menjadi masalah politik. Jadi lebih baik menangani isunya di akar, dan akarnya adalah banyaknya pelanggaran HAM," tegasnya.

Infografis Penangkapan Aung San Suu Kyi dan Kudeta Militer Myanmar. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya