PR Besar Memeratakan Akses Pendidikan Berkualitas di Indonesia, Jangan Sampai Bonus Demografi Jadi Malapetaka Pengangguran

Pemerataan akses terhadap pendidikan dan pembelajaran berkualitas di Indonesia dinilai masih belum merata.

oleh Henry diperbarui 20 Mei 2023, 10:00 WIB
Siswa-siswi mengikuti pelajaran di SDN Cikoneng, Cisarua, Kabupaten Bogor, Selasa (30/3/2021). Kegiatan belajar mengajar (KBM) secara tatap muka dipilih karena tak ada pengawasan saat belajar dengan sistem daring lantaran orang tua mereka bekerja sebagai pemetik teh. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Pendidikan merupakan tulang punggung masyarakat yang memiliki dampak signifikan terhadap politik, ekonomi, dan kesejahteraan suatu negara. Tidak hanya anak-anak, orang dewasa juga masih membutuhkan pendidikan sampai akhir hayatnya.

Banyak yang menilai pendidikan di Indonesia belum merata. Salah satu alasannya, karena ada beberapa wilayah di Indonesia yang tingkat sumber daya manusianya masih rendah yang dipicu kurangnya akses pendidikan ke wilayah-wilayah yang jauh dari jangkauan seperti di Papua. Belum lagi media pembelajaran belum memadai.

Ssstem pendidikan di Indonesia juga dinilai belum menguntungkan guru dan dosen dalam hal kesejahteraan. Itu karena guru dituntut untuk terus mengasah keterampilannya dan meningkatkan kualifikasi tetapi gaji yang diterima juga kerap tidak sepadan dengan tuntutan hal ini menjadikan terbatasnya guru atau pengajar.

Penilaian itu senada dengan pendapat Kepala Bidang Advokasi P2G (Perhimpunan Pendidikan dan Guru) Iman Zanatul Haeri. Menurut pria yang biasa disapa Kang Iman ini, dalam arti pemerataan akses terhadap pembelajaran berkualitas, P2G menilai masih belum merata. Jumlah guru ASN yang mampu direkrut hanya sampai 500 ribu selama dua tahun terakhir. Padahal sampai 2023, Indonesia masih butuh 1,3 juta guru ASN. Ini baru soal ketersediaan, belum bicara kualitasnya.

P2G menilai ada banyak faktor yang membuat pendidikan di Indonesia masih belum merata. "Pertama dari segi pembiayaan. Negara jangan lepas tanggung jawab. UU Cipta Kerja mendorong liberalisasi pendidikan. Baru-baru ini Kementerian Keuangan akan mempajaki sembako Pendidikan," terang Iman lewat pesan pada Liputan6.com, Kamis, 18 Mei 2023.

Padahal anggaran pendidikan pada 2023, tambah Iman, cukup besar. Dari sekitar Rp614 triliun yang tersedia, untuk Kemdikbudristek Rp80,22 triliun. Tapi, P2G belum melihat anggaran ini menetas pada kesejahteraan guru dan dosen.

"Kedua, peningkatan kualitas pendidikan. Namun kualitas tidak akan meningkat kalau ketersediaan guru saja tidak terpenuhi. Sedangkan, baru-baru ini kita melihat para dosen yang nasib kesejahteraannya tidak kurang memprihatinkan," ujar Kang Iman.


Dampak Kesenjangan Pemerataan Pendidikan

Murid terlihat serius mengerjakan tugas di PAUD Seruni Indah di kawasan Kalijodo, Jakarta, Selasa (16/2). Rencana penggusuran oleh Pemprov DKI Jakarta membuat khawatir para pengajar dan murid-murid PAUD tersebut. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Untuk itu, P2G berharap pemerintah mulai mengevaluasi kebijakan pendidikannya tahun ini, seperti Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka. Ia mempertanyakan tingkat efektivitasnya untuk tingkat dasar dan menengah atas, dan kontribusi program Kampus Merdeka terhadap dunia keilmuan, riset dan inovasi.

Sejauh ini, ada beberapa dampak kesenjangan atau kurangnya pemerataan Pendidikan di Indonesia. Salah satunya berujung pada ketidakadilan struktural. Kalangan terdidik bertumpuk di kota-kota besar dan sedikit yang mau mengajar di daerah terpencil. Dalam hal ini, dukungan Pemda sangat krusial karena kewenangan pendidikan dasar, menengah dan atas ada di Pemda kabupaten atau kota dan Pemprov.

"Ini belum bicara soal pendidikan sebagai investasi yang dampaknya adalah 10-20 tahun ke depan. Apalagi kita akan menyongsong bonus demografi, jangan sampai bonus ini malah jadi malapetaka pengangguran," tuturnya.

Ada berbagai hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah pemerataan pendidikan menurut P2G. Berdasarkan apa yang dibanggakan Mendikbudristek Nadiem Makarim di PBB beberapa waktu silam, sepertinya pemerintah berharap teknologi pendidikan akan mempercepat pemerataan pendidikan. Caranya dengan mempekerjakan 400 tim bayangan untuk membuat beragam aplikasi bagi guru, sekolah dan pembelajaran.

"Namun kenyataannya tidak seperti itu. Beragam aplikasi dari kementerian tidak terintegrasi sehingga menambah beban administrasi bagi guru dan sekolah. Misalnya, mengandalkan Platform Merdeka Mengajar (PMM) untuk memperluas dan mempercepat sosialisasi kurikulum Merdeka," kata Iman.


Menjangkau Daerah Terpencil

Nadiem Makarim (Sumber: Kemdikbud.go.id)

"Di lapangan justru banyak guru yang kebingungan. Karena tidak semua bahan kurikulum bisa disosialisasikan hanya dengan fitur aplikasi. Apalagi daerah terpencil, maka jika kementerian mengandalkan PMM sebagai garda depan perubahan kurikulum, maka mereka yang terpencil susah listrik dan nirkoneksi akan makin kesulitan mengakses bahan kurikulum," sambungnya.

Iman menambahkan, seharusnya disediakan opsi lain alternatif, seperti pelatihan langsung dan kiriman bahan-bahan kurikulum secara fisik. Meskipun PMM diklaim sudah dipakai lebih dari 1 juta guru, angka itu hanya dihitung berdasarkan seberapa banyak platform ini diunduh.

Angka ini menurut P2G tidak representatif karena di lapangan banyak guru mengunduhnya karena ditagih oleh kepala sekolah dan dinas pendidikan setempat untuk segera install. Tak hanya pemerintah dan stakeholder, masyarakat juga bisa membantu pemerataan pendidikan di Indonesia.

"Pertama, saling mengawasi pendanaan pendidikan dari tingkat pemerintah pusat hingga persekolahan. Yang kedua, memberikan masukan dan aktif terlibat dalam mendukung agenda pendidikan secara mikro dan makro," pungkas Iman.

Sementara itu, menurut pengamat Pendidikan Doni Koesoema, untuk mengatasi masalah pemerataan Pendidikan harus lebih dulu melihat data-data akses pendidikan sejauh ini. Data yang dimaksud adalah tentang APM (Angka Partisipasi Murni) dan APK (Angka Partisipasi Kasar) di Dikdasmen (Pendidikan Dasar dan Menengah). Sejak era Nadiem Makarim, menurut Doni, agak sulit mendapatkan data-data terbaru.


Akses Pendidikan Prasekolah

Anak-Anak mulai dari tingkat Paud hingga SMA belajar mengenal profesi advokat dan dunia hukum bersama Rima Baskoro dan Partners di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). (Liputan6.com/HO)

"Neraca Pendidikan Daerah dihentikan di era Nadiem. Saya hanya punya data sampai 2018 atau sebelum pandemi. Dari data tersebut, APK anak-anak SD sudah diatas 100 persen. Tapi ini kan sebelum pandemi, saat pandemi banyak anak putus sekolah,” ungkap Doni pada Liputan6.com, Jumat, 19 Mei 2023.

Sedangkan, akses anak-anak pra sekolah sekitar 38 persen. Artinya, banyak anak yang tidak ada akses PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) tapi langsung masuk SD. Saat seorang anak sudah masuk SD, mereka sekarang diharapkan sudah bisa baca. Hal ini tidak bisa dipenuhi oleh anak yang tidak menempuh PAUD maupun pendidikan prasekolah lainnya.

Untuk akses SMK, menurut Doni, sekitar 80 persen. Artinya masih ada 20 persen siswa Indonesia tak bisa mengakses SMK. Untuk SMA sekitar 89 persen. Berarti ada 11 persen yang tidak lanjut sekolah di tingkat SMA.

"Jadi untuk mengetahui sekaligus menyelesaikan masalah pemerataan pendidikan di Indonesia, kita harus kumpulkan data-datanya lebih dulu. Data-data ini penting untuk publik agar kita tahu kondisi pendidikan di Indonesia," tutur Doni.

 

Infografis Kasus-Kasus Terkait Guru. (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya