Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Suparji Ahmad, meyakini penetapan tersangka Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) nonaktif, Johnny G. Plate, bukan kriminalisasi. Sebab, akan sangat berisiko bagi Kejaksaan Agung (Kejagung).
“Narasi tentang kriminalisasi akibat kontestasi politik, menurut saya, akan sangat berisiko seandainya itu dilakukan. Artinya, tidak mungkin ada satu proses hukum hanya karena faktor kepemimpinan politik,” ucapnya saat dihubungi di Jakarta, Jumat (19/5/2023).
Advertisement
“Pasti atau diduga kuat ada fakta-fakta, alat bukti, ada barang bukti yang menunjukkan keterlibatan seseorang dalam suatu perkara sehingga (statusnya) meningkat menjadi tersangka. Akan sangat berisiko dalam era yang makin transparan, makin terbuka itu (aparat) memain-mainkan hukum,” sambungnya.
Suparji pun mendorong pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan penetapan Johnny G Plate sebagai tersangka agar melakukan upaya hukum.
“Pihak yang merasa dirugikan, dalam arti misalnya proses penetapan tersangka tidak benar, ada mekanisme pengujian, praperadilan. Artinya, kontrol pada penegak hukum pada kesewenang-wenangan,” katanya.
Diketahui, Johnny Plate menjadi tersangka ke-6 dalam kasus pengadaan BTS 4G dan paket pendukung 1-5 BAKTI Kominfo 2020-2022. Ia bahkan langsung ditahan usai menjalani pemeriksaan ketiga, Rabu (17/3).
Dalam kasus ini, berdasarkan penghitungan Badan Pengawasan Pembangunan dan Keuangan (BPKP), kerugian negara sebesar Rp8,32 triliun. Itu sekitar 80% dari total nilai proyek.
Kepala BPKP, M. Yusuf Ateh, menerangkan, proses penghitungan kerugian keuangan negara dilakukan dengan berbagai pendekatan. Misalnya, audit, verifikasi pihak terkait, dan observasi fisik ke beberapa lokasi proyek bersama tim ahli.
"Kerugian keuangan negara terdiri dari tiga hal, yaitu biaya kegiatan penyusunan kajian pendukung, mark up harga, dan pembayaran BTS yang belum terbangun," ujarnya.
NasDem Minta Kejagung Transparan soal Aliran Dana
Legislator Partai NasDem Muhammad Farhan merespons soal isu aliran dana BTS yang diduga dikorupsi Menkominfo Johnny G. Plate mengalir ke Partai NasDem. Dia meminta, agar Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk membuktikan terlebih dahulu aliran dana BTS.
"Untuk jawab itu mesti jawab dulu satu, dibuktikan dulu bahwa penyelewengan dana Rp8 triliun itu aliran dananya ke mana saja? Itu saja Jaksa Agung kemarin belum bisa menjawab, seberapa banyak aliran dana dari Rp8 triliun disalahgunakan oleh Pak Johnny Plate, enggak bisa dijawab," kata Farhan, saat ditemui di Sekretariat IKA Unpad, Jakarta, Jumat (19/5).
Dia pun minta agar Kejagung transparan dalam mengusut kasus yang menjerat Sekjen Partai NasDem itu.
"Jaksa Agung harus secara transparan mengusut Rp8 triliun itu, kan dibagi dua paket, 2 paket itu duitnya larinya ke mana saja sampai mangkrak? Kan melibatkan pihak swasta, ada dua pihak swasta," ujarnya.
"Tapi sudah ada tuh swasta-swasta yang dapat kontraknya, coba itu diselidiki larinya ke mana aja," sambung dia.
Kendati demikian, dia menegaskan, jika dalam kontrak pembangunan BTS tidak ada sama sekali keterlibatan partai politik.
"Gini dalam dokumen kontrak si BTS itu, enggak ada satupun parpol yang terlibat. Artinya bekerja sama dengan partai politik, tanda tangan gitu, enggak ada," tegas Farhan.
Advertisement