Liputan6.com, Jakarta - Dewan Etik Partai Golkar menggelar focus group discussion mengangkat tema 'Kontekstualisasi Kode Etik Dalam Kelembagaan Partai Politik di Jakarta, Senin (15/5) lalu.
Peserta FGD berasal dari Tim Sekretariat Dewan Etik Partai Golkar dan Pengurus DPP Dewan Etik Partai Golkar. FGD menghadirkan pembicara Prof. Jimly Asshiddiqqie, sementara acara secara resmi dibuka oleh Ketua Dewan Etik Partai Golkar Mohammad Hatta PhD.
Advertisement
Prof. Jimly dalam paparannya menyampaikan bahwa hukum di Indonesia saat ini menanggung beban yang sangat berat, sehingga hukum di Indonesia tidak cukup efektif dalam menghadapi kriminalitas. Hal ini ditambah penjara di Indonesia juga sudah kelebihan kapasitas hingga ke titik 300 persen.
"Jadi, pembenahan etika sangat diperlukan," ujar Prof Jimly dalam pemaparannya.
Dia menilai pendekatan hukum tidak akan menyelesaikan masalah kompleksitas dalam kehidupan perilaku manusia modern. Karena itu butuh sistem kontrol tambahan yaitu sistem etika untuk menopang sistem hukum. Sistem etik dan hukum harus mampu bersinergi dengan baik.
Lebih lanjut Prof Jimly mengatakan semua jenis pelanggaran hukum merupakan pelanggaran etika, tetapi tidak semua pelanggaran etika identik dengan pelanggaran hukum. Selain itu, ide atau gagasan tentang etika bukan kapasitasnya sebagai pengganti hukum itu sendiri. Namun, posisi etika di sini bisa sebagai penopang untuk menegakkan hukum.
"Intinya, keberadaan etika bisa menjadi koreksi dan penyeimbang bagi penyelenggara negara," katanya.
Kode Etik
Prof Jimly juga mengatakan setiap profesi, termasuk profesi sebagai politikus dalam arti luas, pada dasarnya dituntut memiliki kode etik sebagai standar perilaku agar harkat, martabat dan kehormatan profesi sebagai politikus dapat dijaga, dilindungi dan ditegakkan.
Begitu pula halnya partai politik, sebagai wadah aktualisasi diri bagi para politikus, parpol memerlukan kerangka etik atau kode etik tertentu sebagai rujukan dalam mengimplementasikan kedudukan strategis selaku salah satu pilar terpenting sistem demokrasi. Sementara itu, Ketua Dewan Etik Partai Golkar Mohammad Hatta mengatakan kegiatan yang digelar sangat penting sebagai bentuk perwujudan dari tugas dan fungsi Dewan Etik DPP Partai Golkar.
Dia juga mengatakan kegiatan dimaksudkan untuk memberi rekomendasi kepada DPP untuk penugasan kader berdasarkan prestasi, dedikasi, disiplin, loyalitas dan tidak tercela (PD2LT). PDLT adalah rekam jejak anggota Partai Golkar mengenai prestasi dan dedikasi kepada partai maupun di dunia profesi yang ditekuni, loyalitas dalam menjalankan AD/ART, ikrar Panca Bhakti, doktrin, peraturan organisasi maupun kebijakan partai dan tidak tercela dalam berperilaku.
Advertisement
Golkar Dukung Pembentukan Mahkamah Etik Nasional untuk Politisi dan Parpol
DPP Partai Golkar mendukung pembentukan Mahkamah Etik Nasional yang menjadi pedoman bagi politisi dan partai politik. Dukungan Partai Golkar ini diberikan saat Dewan Etik Partai Golkar menggelar penandatanganan nota kesepahaman dengan mantan ketua Mahkamah Konstitusi Prof Jimly Asshiddiqie, pada Senin (15/5/2023) lalu.
Ketua Dewan Etik DPP Partai Golkar Mohammad Hatta mengaku telah mendengar masukan dan ide dari Prof Jimly terkait adanya kode etik berperilaku bagi politisi dan partai politik.
Muhammad Hatta menegaskan, partai berlambang pohon beringin bersepakat dengan ide dan masukan dari Jimly dan mendukung pembentukan Mahkamah Etik Nasional.
“Kami telah mendengar masukan-masukan untuk memerkaya Mahkamah Etik, sepakat untuk turut bersama-sama kawan-kawan partai politik lain, Insya Allah, kami akan membentuk Mahkamah Etik Nasional,” tutur Muhammad Hatta dalam keterangan, Sabtu (20/5/2023).
Dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) ini, Golkar dan Jimly bersepakat untuk segera digelar Konvensi Nasional Etik. Konvensi ini didasarkan pada Pancasila, UUD 1945, dan TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
“Tujuannya agar segera terwujud Mahkamah Etik Nasional,” tegas Hatta.
Sementara, Prof Jimly mengaku berterima kasih pada Partai Golkar yang terbuka dan menerima ide baru dalam rangka penataan sistem kebangsaan dan kenegaraan. Menurut anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ini, setelah 25 tahun reformasi, harus ada evaluasi dan perbaikan dalam sistem kenegaraan Indonesia.
“Sesudah 25 tahun kita reformasi banyak hal yang harus kita evaluasi ulang, termasuk yang harus kita perbaiki dan hal-hal baru yang harus kita adakan,” tutur Jimly usai menerima Nota Kesepahaman dari Dewan Etik DPP Partai Golkar.
Diketahui, kedua pihak bersepakat agar ada standar perilaku pada setiap profesi, termasuk politisi dalam arti luas. Kode etik ini sebagai standar menjaga harkat, martabat, dan kehormatan profesi politisi. Hal ini juga berlaku bagi partai politik di Indonesia.
Partai politik sebagai wadah aktualisasi diri bagi para politisi juga membutuhkan kerangka etik atau kode etik. Hal ini sebagai rujukan dalam mengimplementasikan kedudukan strategis selalu salah satu pilar terpenting dalam demokrasi.
Baik Partai Golkar dan Jimly, bersepakat partai politik tidak hanya perlu dikelola sevara profesional, terbuka, dan demokratis, tetapi juga berorientasi pada kepentingan umum.
Tujuan utama kode etik ini adalah menjaga standar perilaku minimum politisi sehingga layak mendapatkan mandate politik ketika menjadi wakil rakyat di lembaga perwakilan. Antara lain, di DPR, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten dan kota, bahkan terhadap jabatan publik lainnya.