Liputan6.com, Jakarta Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) melayangkan surat permohonan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar meninjau ulang RUU Kesehatan Omnibus Law yang saat ini sedang dibahas oleh Panja RUU Kesehatan Komisi IX DPR RI.
Hal itu merujuk surat resmi GAPPRI tertanggal 16 Mei 2023, bernomor D.0519/P.GAPPRI/V/2023, perihal Penolakan Pasal pada RUU tentang Kesehatan.
Advertisement
Ketua umum Perkumpulan GAPPRI, Henry Najoan berpandangan, dalam situasi tahun politik yang rentan dengan ketidakstabilan, maka patut menghindari isu-isu dan penerbitan peraturan yang berpotensi menciptakan kegaduhan.
Henry Najoan menegaskan, pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law juga berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi banyak pihak dan memiliki dampak berganda (multiplier effect) ke berbagai sektor serta berpotensi disharmonis dengan berbagai peraturan yang ada.
"Bapak Presiden yang kami hormati, kami mengusulkan akan lebih baik Pasal 154 - 158 dalam RUU kesehatan ditiadakan. Kami menolak inisiasi pembahasan RUU Kesehatan khususnya Pasal 154 - 158," tegas Henry Najoan di Jakarta, Senin (22/5/2023).
Dalam kajian GAPPRI, RUU Kesehatan Omnibus Law telah menyelipkan beberapa substansi poin pengaturan tentang Industri Hasil Tembakau (IHT), yaitu pada Pasal 154 - 158. Isi pasal- pasal tersebut sangat berpotensi menimbulkan polemik dan kegaduhan publik di seluruh pemangku kepentingan IHT dari sektor hulu sampai sektor hilir.
Penyetaraan tembakau yang merupakan produk legal dengan narkoba yang jelas ilegal dalam RUU Kesehatan Omnibus Law, hanya akan mematikan IHT nasional yang selama ini telah berkontribusi besar kepada negara.
"Penyetaraan ini akan menimbulkan perlakuan diskriminatif serta aturan yang mengekang terhadap kelangsungan usaha pertembakauan nasional," tegas Henry Najoan.
Kajian GAPPRI
Merujuk kajian GAPPRI, pada Pasal 154 RUU Kesehatan Omnibus Law disebutkan bahwa Produk Tembakau dikategorikan sebagai Zat Adiktif bersama dengan Narkotika, Psikotropika dan Minuman Beralkohol. Pengelompokan tersebut, bagi GAPPRI, akan berdampak pada seluruh mata rantai yang terlibat di industri hasil tembakau (IHT) dari petani hingga distribusi.
"Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VIII/2010, tanggal 1 November 2011, disebutkan bahwa tembakau adalah produk legal yang terbukti dengan dikenakannya cukai," ujar Henry Najoan.
Terkait Pasal 156, disebutkan bahwa pengaturan standardisasi kemasan akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Kesehatan. Berdasarkan kajian GAPPRI, perubahan pengaturan yang sebelumnya berbentuk Peraturan Pemerintah menjadi peraturan di tingkat kementerian, berpotensi rezim kesehatan semakin memojokkan IHT nasional yang telah terpuruk akibat stigma negatif dan kebijakan yang menekan.
"Selama ini, IHT telah diatur oleh ratusan peraturan yang diterbitkan oleh sejumlah Kementerian dan Lembaga baik di tingkat pusat dan daerah yang umumnya pengaturan tersebut menekan IHT nasional. Karena itu, alangkah lebih baiknya untuk tidak menambah aturan yang makin memberatkan lagi bagi IHT nasional," kata Henry Najoan.
Advertisement
Dukung UU Omnibus Law Cipta Kerja
Di lain sisi, GAPPRI berkomitmen mendukung cita-cita Presiden Jokowi melalui UU Omnibus Law Cipta Kerja yang bertujuan untuk peningkatan investasi, kemudahan berusaha, peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja, serta investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategi nasional.
"Kami sangat berharap Presiden Jokowi agar mempertimbangkan secara komprehensif aspirasi stakeholders sektor pertembakauan terkait RUU Kesehatan Omnibus Law demi kelangsungan usaha di tanah air," pungkas Henry Najoan.
Untuk diketahui, surat GAPPRI yang dikirimkan ke Presiden Jokowi, ditembuskan ke beberapa Kementerian/Lembaga, antara lain: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI; Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI; Menteri Keuangan RI; Menteri Kesehatan RI; Menteri Perindustrian RI; Menteri Ketenagakerjaan RI.
Kemudian, Menteri Perdagangan RI; Menteri Pertanian; Menteri Sekretaris Negara RI; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI; Kepala Kantor Staf Presiden; Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama; Kepada Badan Kebijakan Fiskal (BKF); serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.