Kontribusi Tinggi, Pekerja Industri Tembakau Minta Perlindungan Pemerintah

Sektor industri pertembakauan di Indonesia telah dikenal sebagai sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja yang tersebar di berbagai daerah.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Mei 2023, 20:20 WIB
Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau memproduksi rokok kretek di Malang Jawa Timur, (24/6/2010). (AFP/AMAN RAHMAN)

Liputan6.com, Jakarta Peringatan Hari Buruh Internasional beberapa waktu lalu menjadi momen untuk mengingat kontribusi para pekerja yang dinilai berkontribusi penting bagi negara namun sering kali diabaikan.

Sejumlah pihak menyuarakan pentingnya perlindungan bagi para pahlawan ekonomi tersebut, terutama pada sektor dengan penyerapan tenaga kerja yang tinggi.

Sektor industri tembakau di Indonesia telah dikenal sebagai sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja yang tersebar di berbagai daerah. Mereka umumnya adalah tenaga kerja dengan pendidikan terbatas yang telah menjadi tulang punggung bagi keluarganya.

Ketua Umum Forum Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Sudarto mengatakan selama ini telah banyak sekali kontribusi yang diberikan industri tembakau mulai dari penyediaan lapangan kerja padat karya utamanya di sektor sigaret linting tangan, hingga menggerakkan ekonomi di daerah serta menjadi penopang penerimaan negara dari sektor pajak dan cukai.

"Demikian pula di sentra-sentra tembakau, industri sigaret kretek tangan (SKT) adalah sektor padat karya yang menumbuhkan perekonomian daerah dengan menjadi mata rantai yang saling bergantung. Maka dari itu, terganggunya kehidupan SKT pasti akan berdampak pada sektor penunjang lainnya," tuturnya, Selasa (23/5/2023).

Melihat hal ini, Sudarto menegaskan sudah seharusnya pemerintah serius memperhatikan hak dan keadilan bagi pekerja di sektor tembakau, khususnya memastikan kelangsungan sektor SKT.

Dia juga berharap agar pemanfaatan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) untuk kesejahteraan pekerja bisa ditingkatkan. Menurutnya, kesejahteraan para pekerja tersebut telah sepatutnya dijadikan pertimbangan utama dalam menetapkan kebijakan dan regulasi IHT.

"Regulasi harus sejalan dengan hak atas kepastian kelangsungan pekerjaan dan penghasilan buruh. Mereka perlu didengar dan dilibatkan mengingat posisi mereka yang sangat rentan menjadi korban perubahan regulasi," ungkapnya.

 


Perlindungan Masih Minim

Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau di pabrik rokok di Jember (13/2/2012). (AFP / ARIMAC WILANDER)

Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun melihat perlindungan pemerintah terhadap pekerja di industri tembakau masih sangat minim. Dibandingkan melindungi, katanya, pemerintah justru membuat regulasi yang tidak berpihak pada pekerja.

"Minim sekali pembelaan terhadap mereka (pekerja). Tidak ada anggaran dan advokasi program yang memadai untuk mereka, padahal industri banyak menyerap tenaga kerja dan memberikan sumbangsih yang besar kepada negara," ujarnya.

Misbakhun juga mengatakan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) beberapa tahun terakhir tidak berpihak pada aspirasi pekerja SKT. Kenaikan cukai yang diberlakukan tahun 2023-2024 dinilai berdampak besar pada kesejahteraan pekerja. Sebab, kenaikan tarif yang tinggi justru akan membuat perusahaan IHT mengurangi produksinya.

"Solusinya adalah dengan mendorong regulasi yang berpihak pada ekosistem di IHT dengan mencakup hingga elemen yang terkecil seperti buruh rokok SKT. Pemerintah tidak boleh melupakan kontribusi besar industri dari hulu hingga ke hilir," tutupnya.


Industri Rokok Kirim Surat ke Jokowi, Minta RUU Kesehatan Ditinjau Ulang

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) melayangkan surat permohonan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar meninjau ulang RUU Kesehatan Omnibus Law yang saat ini sedang dibahas oleh Panja RUU Kesehatan Komisi IX DPR RI.

Hal itu merujuk surat resmi GAPPRI tertanggal 16 Mei 2023, bernomor D.0519/P.GAPPRI/V/2023, perihal Penolakan Pasal pada RUU tentang Kesehatan.

Ketua umum Perkumpulan GAPPRI, Henry Najoan berpandangan, dalam situasi tahun politik yang rentan dengan ketidakstabilan, maka patut menghindari isu-isu dan penerbitan peraturan yang berpotensi menciptakan kegaduhan.

Henry Najoan menegaskan, pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law juga berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi banyak pihak dan memiliki dampak berganda (multiplier effect) ke berbagai sektor serta berpotensi disharmonis dengan berbagai peraturan yang ada.

"Bapak Presiden yang kami hormati, kami mengusulkan akan lebih baik Pasal 154 - 158 dalam RUU kesehatan ditiadakan. Kami menolak inisiasi pembahasan RUU Kesehatan khususnya Pasal 154 - 158," tegas Henry Najoan di Jakarta, Senin (22/5/2023).

Dalam kajian GAPPRI, RUU Kesehatan Omnibus Law telah menyelipkan beberapa substansi poin pengaturan tentang Industri Hasil Tembakau (IHT), yaitu pada Pasal 154 - 158. Isi pasal- pasal tersebut sangat berpotensi menimbulkan polemik dan kegaduhan publik di seluruh pemangku kepentingan IHT dari sektor hulu sampai sektor hilir.

Penyetaraan tembakau yang merupakan produk legal dengan narkoba yang jelas ilegal dalam RUU Kesehatan Omnibus Law, hanya akan mematikan IHT nasional yang selama ini telah berkontribusi besar kepada negara.

"Penyetaraan ini akan menimbulkan perlakuan diskriminatif serta aturan yang mengekang terhadap kelangsungan usaha pertembakauan nasional," tegas Henry Najoan.

Infografis Cukai Rokok Naik 10 Persen, Cukai Rokok Elektrik Naik 15 Persen (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya