Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menegaskan produk tembakau dan zat adiktif perlu dikendalikan lewat regulasi. Penegasan ini merespons adanya polemik penyetaraan produk tembakau disamakan dengan zat adiktif atau zat narkotika dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.
Terkait polemik dalam RUU Kesehatan, Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan Kemenkes RI Sundoyo menyampaikan, secara esensi sebenarnya produk tembakau dan zat adiktif sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Advertisement
Dimasukkannya ke dalam UU Kesehatan tersebut dikarenakan kedua hal itu memengaruhi kesehatan.
"Produk tembakau diatur di dalam undang-undang yang sebelumnya Nomor 36 tentang Kesehatan. Zat adiktif itu dapat memengaruhi kesehatan," ujar Sundoyo saat diwawancarai Health Liputan6.com di Gedung Kemenkes RI Jakarta pada Rabu, 24 Mei 2023.
"Oleh karena itu, perlu dikendalikan. Dan itu juga satu poin yang sudah ditekankan di situ."
Pengaturan dalam Peraturan Pemerintah sudah Cukup Baik
Selain dari UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, tembakau juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
"Itu juga sudah diatur di PP 109 Tahun 2012, sebenarnya sudah cukup baik dan sudah disepakati serta mengundang kepentingan yang terkait, baik petani, tembakau, produsen rokok termasuk juga Kementerian Kesehatan dan pemerhati kesehatan," lanjut Sundoyo.
"Intinya sih, tembakau juga sudah ada di UU sebelumnya dan PP 109 itu diatur dengan baik."
Risiko Serbuan Zat Adiktif
Kelompok Organisasi Masyarakat Sipil menyampaikan aspirasi soal pengaturan zat adiktif dalam RUU Kesehatan. Mereka menekankan pentingnya pengaturan zat adiktif produk tembakau, terutama dari sisi pemasaran.
Hal ini lantaran sifat adiksi dan eksternalitas negatif lainnya yang ditimbulkan produk tersebut. Iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau diyakini dan telah terbukti mendorong konsumsi rokok, termasuk pada anak-anak dan remaja.
Sejak 1970-an, berbagai negara di dunia telah melarang iklan dan bentuk-bentuk pemasaran lain produk tembakau. Kini telah mencapai 144 negara yang telah melarang iklan rokok termasuk negara-negara kecil.
Tujuannya, demi memberikan perlindungan kepada rakyatnya dari serbuan iklan zat adiktif yang berisiko pada kehidupan mereka.
Rokok Harus Dilarang
Namun, hampir seratus tahun kemudian, Indonesia belum juga melarang iklan, promosi, sponsor rokok, dan menjadi satu-satunya negara ASEAN yang tidak melarang iklan rokok.
“Dengan prinsip, rokok adalah produk legal namun bukan produk normal karena memiliki eksternalitas negatif pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, maka rokok sebagai produk yang mengandung zat adiktif nikotin harus dilarang untuk diiklankan, dipromosikan, dan melakukan sponsorship,” tegas Program Manager Komnas Pengendalian Tembakau Nina Samidi saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RPDU) pada Rabu, 10 Mei 2023.
Advertisement
Pasal Zat Adiktif Sangat Penting
Terkait zat adiktif, keberadaannya saat ini telah diatur pasal 113 dalam UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.
Pasal ini berbunyi:
Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya.
Sejatinya, pasal zat adiktif menjadi sangat penting karena akan menjadi 'jangkar' dalam berbagai pengaturan terkait produk-produk yang termasuk di dalamnya, lanjut Nina Samidi.
“Karena itu, pasal ini harus ada atau kita berisiko kehilangan seluruh aturan terkait dan membuat Indonesia mengalami kemunduran fatal di dunia kesehatan.”
Dugaan Hilangkan Zat Adiktif di RUU Kesehatan
Terpisah, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyampaikan, ada dugaan upaya menghilangkan ayat zat adiktif dalam RUU Kesehatan.
Upaya penghilangan ayat ini diduga dilakukan oleh pihak pro industri rokok. Dalam rancangan ini, pasal zat adiktif tertuang pada Pasal 154 RUU Kesehatan.
Produk tembakau yang masuk ke dalam kategori zat adiktif bersama narkotika, psikotropika, dan minuman beralkohol tampak sedang didorong agar dihapus dari pasal ini.
“Hal ini mengingatkan kita pada kasus ‘penghilangan pasal tembakau sebagai zat adiktif’ yang pernah terjadi di tahun politik pada 2009, yang saat itu dipimpin oleh Ketua Komisi Kesehatan, politikus PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning," papar Tulus.
“Dan dari pemeriksaan Badan Reserse dan Kriminal Polri juga mengindikasikan adanya pejabat Kementerian Kesehatan yang terlibat dalam penghilangan ayat tersebut (sebagaimana telah diungkap dalam liputan investigasi Majalah TEMPO, 4 Oktober 2010)."
Namun, kelicikan ini akhirnya terkuak saat draf dikirim ke Istana Negara untuk ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“DPR harus waspada sejarah 14 tahun lalu ini bisa berulang,” pungkas Tulus Abadi.
Advertisement