Liputan6.com, Jakarta Mantan Kasatgas Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengaku prihatin dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan masa jabatan Pimpinan KPK menjadi 5 tahun.
"Jadi menjawab dengan fenomena putusan ya, kalau itu jawabnya Innalilahi wainnailaihi rojiun. Karena kita perihatin kondisi KPK ya dan kemudian ada perpanjangan," kata Novel kepada wartawan di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (25/5/2023).
Advertisement
Meski begitu, putusan itu bukan berlaku diera Firli Bahuri melainkan untuk pimpinan lembaga antirasuah periode selanjutnya. Hal ini dilihat berdasarkan perspektif hukum atas putusan tersebut.
"Kenapa, karena Presiden tentunya ketika mengangkat pimpinan KPK kan dengan SK. SK-nya itu kurang lebih mengatakan periode pimpinan KPK untuk 2019-2023 ya kan. Oleh karena itu, saya yakin Pak Presiden akan lebih kepada SK yang dibuat," sebutnya.
"Dan tentunya Pansel kan sudah disiapkan ya dan saya yakin mereka akan segara bekerja lah. Semoga mendapat pimpinan yang baik, agar kita tidak bersedih lagi," sambungnya.
Novel menegaskan, putusan MK terkait dengan masa jabatan pimpinan KPK tersebut berlaku untuk pimpinan KPK periode berikutnya. Apalagi, untuk jabatan Firli Bahuri sudah berdasarkan Surat Keputusan (SK) yakni hanya sampai 2023.
"Ketika pimpinan KPK itu ditunjuk, itu sudah ada SK-nya. SK-nya itu sampai 2023, ketika ada hal yang baru. Maka itu akan berlaku berikutnya, kurang lebih sama seperti Nurul Ghufron ketika menjadi pimpinan KPK. Ketika ikut proses, dia kan sudah mengikuti syarat-syarat administrasi umurnya 40," tegasnya.
"Tapi ketika menjelang proses itu akan ada pelantikan, maka Nurul Ghufron kemudian tidak mengikuti UU yang baru atau perubahan UU-nya. Tapi mengikuti sesuatu hal yang sudah ada, nah ini contoh lah kita pakai analogi seperti itu," sambungnya.
Sehingga, tidak mungkin putusan MK tersebut berlaku untuk Firli Bahuri yang kini masih menjabat sebagai Ketua KPK.
"Nanti masa presiden mengubah lagi SK-nya yang sudah dibuat. Apakah, kecuali memang pimpinan KPK menggugat sendiri SK-nya yang SK pada presiden kan. Kan mesti harus ada proses upaya hukum ya, enggak tiba-tiba," pungkasnya.
Jabatan Pimpinan KPK Menjadi Lima Tahun
Sebelumnya, Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengubah masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari sebelumnya empat tahun kini masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun.
Keputusan ini mengabulkan gugatan yang dilayangkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Dia menggugat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 khususnya Pasal 29 e dan Pasal 34 terhadap Pasal 28 D ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan Pasal 28 I ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. Gugatan tersebut terdaftar dengan nomor 112/PUU-XX/2022.
MK menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang semula berbunyi, ‘Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama empat tahun’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
"Sepanjang tidak dimaknai, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan ketetapan dan putusan, Kamis (25/5).
Dalam menyampaikan pertimbangan, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menyatakan, ketentuan masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun tidak saja bersifat diskriminatif. Tetapi juga tidak adil jika dibandingkan dengan komisi dan lembaga independen lainnya.
Guntur Hamzah membandingkan masa jabatan KPK dengan Komnas HAM. Masa jabatan pimpinan Komnas HAM lima tahun. Oleh karena itu, akan lebih adil apabila pimpinan KPK menjabat selama lima tahun.
"Masa jabatan pimpinan KPK selama lima tahun jauh lebih bermanfaat dan efisien jika disesuaikan dengan komisi independen lainnya," kata Guntur Hamzah.
Selain itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan, masa jabatan empat tahun memungkinkan presiden dan DPR yang sama melakukan penilaian terhadap KPK sebanyak dua kali.
"Penilaian dua kali terhadap KPK tersebut dapat mengancam independensi KPK," kata Arief.
Reporter: Nur Habibie/Merdeka
Advertisement