Liputan6.com, Khartoum - Seorang warga negara Inggris usia 85 tahun ditembak oleh penembak jitu, sementara istrinya meninggal karena kelaparan di Sudan. Hal tersebut diungkapkan oleh pihak keluarga.
Laporan BBC menyebutkan, Abdalla Sholgami, pemilik sebuah hotel di London, tinggal bersama istrinya yang berusia 80 tahun, Alaweya Rishwan, seorang difabel, di dekat Kedutaan Besar Inggris di Khartoum. Mereka dikabarkan tidak ditawari dukungan untuk meninggalkan Sudan dan malah disuruh pergi ke lapangan terbang yang jaraknya 40 km di luar Khartoum, melintasi zona perang, agar dapat dievakuasi.
Advertisement
Kelaparan dan tidak punya stok air, Abdalla kemudian terpaksa meninggalkan istrinya untuk mencari bantuan. Nahas, saat dia pergi, dia ditembak tiga kali -di tangan, dada, dan punggung bawah- oleh penembak jitu. Abdalla selamat setelah dibawa ke salah satu anggota keluarganya di bagian lain Khartoum.
Di lain sisi, istrinya yang cacat bertahan seorang diri karena tidak mungkin bagi pihak keluarga lainnya untuk menjangkaunya di daerah yang dikepung oleh penembak jitu. Akibatnya, istri Abdalla, meninggal karena kelaparan.
Cucu perempuan Abdalla, Azhaar, yang besar di Khartoum, menuturkan bahwa Kedutaan Besar Inggris berjarak maksimum empat langkah dari rumah kakek neneknya.
"Apa yang terjadi pada kakek nenek saya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak hanya oleh Rapid Support Forces (RSF), tidak hanya oleh militer Sudan (SAF), tetapi oleh Kedutaan Inggris karena hanya mereka yang dapat mencegah hal ini terjadi pada kakek nenek saya," ujar Azhaar seperti dilansir The Guardian, Sabtu (27/5/2023).
Abdalla telah berhasil melarikan diri ke Mesir, di mana dia menerima perawatan medis setelah sempat dioperasi tanpa anestesi di Khartoum oleh putranya yang merupakan seorang dokter.
Perang saudara Sudan pecah pada 15 April 2023 setelah ketegangan berbulan-bulan antara kelompok paramiliter RSF versus militer Sudan, yang saling berebut kuasa untuk memimpin negara itu.
Respons Pemerintah Inggris
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Inggris merespons kasus Abdalla.
"Penerbangan evakuasi Inggris terakhir berangkat pada 3 Mei, menyimpulkan evakuasi terlama dan terbesar dari negara Barat mana pun. Operasi yang sukses telah mengevakuasi lebih dari 2.450 orang dalam 30 penerbangan, sebagian besar dari mereka adalah warga negara Inggris dan tanggungan mereka," ungkap juru bicara tersebut.
"Kasus Abdalla sangat menyedihkan. Konflik militer yang sedang berlangsung membuat Sudan tetap berbahaya. Kemampuan kami untuk memberikan bantuan konsuler sangat terbatas dan kami tidak dapat memberikan dukungan langsung di Sudan.
"Inggris mengambil peran utama dalam upaya diplomatik untuk mengamankan perdamaian di Sudan. Kami telah berkoordinasi dengan mitra internasional utama dalam respons global terhadap krisis, termasuk mendesak akses bagi lembaga kemanusiaan untuk memastikan masyarakat dapat mencapai layanan penting yang mereka butuhkan."
Advertisement