Liputan6.com, Jakarta Direktur Jenderal Bea Cukai, Kementerian Keuangan Askolani berharap penerimaan cukai rokok di tahun politik tidak berubah. Mengingat kenaikan tarifnya sudah ditetapkan sejak tahun lalu yakni 10 persen di masing-masing tahun 2023 dan 2024.
“Mudah-mudahan tidak banyak perubahan,” kata Askolani di Kantor Bea Cukai Bandara Soekarno- Hatta, Tangerang, Banten, Minggu (28/5) malam.
Advertisement
Asko menjelaskan penerimaan cukai biasanya tergantung dari tarif yang ditetapkan dan produksi dari pabrik. Namun, meski sudah ditetapkan kenaikannya sejak tahun lalu, pihaknya akan terus memantau perkembangan dan implementasinya.
“Jadi tentunya itu menjadi langkah kebijakan yang akan diputuskan tahun depan dan kita akan kelola untuk implementasi dan juga kita monitor,” kata dia.
Asko menambahkan Ditjen Bea Cukai akan terus mengikuti mekanisme terkait tarif cukai di DPR. Sebab walau sudah ditetapkan Kementerian Keuangan kenaikannya 2 tahun, tetapi dalam implementasinya tetap harus mendapatkan restu dari DPR.
“Satu tahap itu memang harus dilakukan dan sudah disepakati untuk jangka menengah 2 tahun, tetapi secara hukum, secara ketentuan regulasi tetap harus kita bahas dan mendapat penetapan dari DPR,” kata dia.
Pembahasan ini nanti akan masuk dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024. “Kita akan membahas di UU APBN 2024 untuk kepastiannya,” pungkasnya.
Rokok Murah Menjamur, Penerimaan Cukai Terancam Turun
Pemerintah telah mengumumkan kinerja APBN kuartal pertama (Januari – Maret) 2023. Penerimaan kepabeanan dan cukai tercatat Rp72,24 triliun, merosot 8,93 persen dibanding kuartal I tahun lalu.
Hal ini merupakan kali pertama penerimaan Bea Cukai kuartal I dalam enam tahun terakhir mencatat angka negatif.
Adapun yang mengalami penurunan ialah penerimaan cukai di sektor cukai hasil tembakau. Penerimaan cukai hasil tembakau kuartal I 2023 dibandingkan kuartal I 2022 terkoreksi 0,74 persen (year-on-year) menjadi hanya Rp55,24 triliun.
Koreksi penerimaan cukai rokok disebabkan oleh penurunan produksi hasil tembakau dan maraknya fenomena downtrading dimana konsumsi rokok golongan 1 dengan cukai lebih mahal berpindah ke golongan cukai yang lebih rendah.
Secara keseluruhan, produksi rokok kuartal pertama 2023 tercatat sebesar 69,4 miliar batang atau turun 19,05 persen dibanding kuartal 1 2022. Penurunan terbesar terjadi di Golongan 1 dari 55.1 miliar batang ke 38,8 miliar batang, anjlok 29,58 persen (yoy). Golongan 2 turun 12,4 persen ke 17,9 miliar batang. Sedangkan produksi rokok golongan III melonjak 24,68 persenmenjadi 12,60 juta batang.
Sejumlah analis juga telah mengingatkan bahwa downtrading di industri rokok akan marak seiring masih tingginya selisih tarif cukai antar-golongan.
Analis Ciptadana Sekuritas Putu Chantika mencontohkan selisih tarif cukai rokok golongan I dengan golongan 2 di segmen SKM saat ini rata-rata Rp432 per batang. Padahal, tahun lalu selisih di antara keduanya hanya sebesar Rp385 per batang.
"Mengingat latar belakang ini, kami perkirakan downtrading akan terus berlanjut di tahun ini, menguntungkan pemain tier-2" ujarnya beberapa waktu lalu.
Advertisement
Tekan Prevalensi Perokok
Sebelumnnya, kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok dinilai masih belum cukup untuk mengatasi tingginya prevalensi perokok di Indonesia.
Faktanya, masyarakat masih memiliki banyak pilihan produk rokok dengan berbagai variasi harga. Sekalipun terjadi kenaikan harga rokok akibat kebijakan cukai, perokok masih dapat berpindah ke produk rokok yang lebih murah. Tidak heran jika perusahaan rokok pun akhirnya memilih menjual produk rokok murah dari golongan 2.
Direktur Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI) Olivia Herlinda mengatakan, kenaikan cukai belum cukup untuk mengatasi tingginya angka perokok di Indonesia.
“Opsi rokok murah juga masih sangat banyak sehingga masyarakat punya banyak pilihan. Fenomena downtrading dan maraknya rokok murah seharusnya menjadi dasar pemerintah menaikkan harga cukai,” ujarnya.