Liputan6.com, Jakarta Petahana Recep Tayyip Erdogan kembali memenangkan Pemilihan Presiden atau Pilpres Turki 2023. Dia mengalahkan pemimpin oposisi Kemal Kilicdaroglu dalam pemilihan putaran kedua pada Minggu (28/5) waktu setempat.
Kemenangan Recep Tayyip Erdogan menandai perpanjangan jabatan kepresiden pria kelahiran 1954 ini menjadi tiga periode.
Advertisement
Menyusul kemenangannya dalam pilpres, Erdogan mengatakan bahwa salah satu prioritas utama pemerintah adalah memerangi inflasi, dan membereskan dampak bencana gempa pada 6 Februari lalu yang menewaskan lebih dari 50.000 korban di Turki, dan negara tetangga Suriah.
Lantas, bagaimana perkembangan inflasi di Turki?
Dikutip dari Arab News, Senin (29/5/2023) inflasi Turki 2023 pada April melambat menjadi 43,68 persen.
Indeks harga konsumen Turki naik 2,39 persen pada April dari bulan sebelumnya, menurut Institut Statistik Turki. Angka resmi sedikit kurang dari yang diperkirakan, dengan perkiraan bulanan rata-rata 2,60 persen dan perkiraan tahunan 44 persen.
Peningkatan inflasi terbesar di Turki terjadi pada sektor kesehatan sebesar 66,62 persen, diikuti oleh restoran dan hotel sebesar 66,41 persen serta makanan dan minuman non alkohol sebesar 53,92 persen.
Pemotongan suku bunga oleh Erdogan memicu krisis mata uang pada akhir 2021, mendorong inflasi Turki ke angka tertinggi dalam 24 tahun sebesar 85,51 persen tahun lalu.
Tetapi akhirnya Inflasi Turki berhasil jatuh pada Desember 2022 dan menyentuh 50,51 persen pada Maret 2023 dengan efek dasar yang menguntungkan dan lira yang relatif stabil.
Terkait situasi ekonominya, Bank Dunia mencatat Turki di tahun 2023 ini memiliki Produk Domestik Bruto atau PDB sebesar USD 906 miliar atau Rp. 13,5 kuadriliun, seperti dikutip dari laman worldbank.org.
Adapun PDB per capita Turki sebesar USD 10,661.2 atau Rp. 158,7 miliar.
Bank Dunia Prediksi Ekonomi Turki Tumbuh 3,2 Persen di 2023
Sebagai kelanjutan dari pemulihan pandemi Covid-19, Bank Dunia mengatakan, ekonomi Turki tumbuh sebesar 5,6 persen pada tahun 2022.
"Namun, ekonomi (Turki) telah kehilangan momentum di tengah lingkungan eksternal yang memburuk dan kebijakan moneter yang heterodoks," kata Bank Dunia.
Hal itu juga diperburuk dengan dua bencana gempa dahsyat pada 6 Februari 2023: di luar tragedi kemanusiaan, kerusakan fisik di 11 provinsi menyumbang 16,4 persen populasi Türki dan 9,4 persen ekonominya.
"Kerugian langsung diperkirakan mencapaiUSD 34,2 miliar, tetapi kebutuhan rekonstruksi bisa berlipat ganda. Gempa bumi menambah tekanan pada situasi keuangan makro yang semakin rapuh," ungkap Bank Dunia.
Bank Dunia juga menyebut, pengeluaran pra pemilu dan upaya rekonstruksi diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi. Badan itu memproyeksi ekonomi Turki akan tumbuh sebesar 3,2 persen pada tahun 2023 dan 4,3 persen pada tahun 2024 mendatang.
Advertisement
Lira Anjlok Menyusul Kemenangan Erdogan di Pemilu, Begini Prediksi Ekonom
Adapun mata uang Lira Turki yang anjlok pada Senin (29/5) ketika petahana Recep Tayyip Erdogan meraih kemenangannya dalam pemilihan presiden 2023.
Mengutip CNBC International, Senin (29/5/2023) Lira diperdagangkan pada 19,97 terhadap Dolar Amerika Serikat atau USD pada Senin (29/5) setelah merosot ke 20 terhadap dolar di awal sesi.
“Kami memiliki pandangan yang cukup pesimis terhadap Lira Turki sebagai hasil dari Erdogan mempertahankan jabatannya setelah pemilu," ungkap ekonom Pasar Berkembang Wells Fargo dan Ahli Strategi FX, Brendan McKenna.
McKenna memprediksi bahwa lira akan mencapai rekor terendah baru yaitu 23 terhadap dolar pada akhir kuartal kedua 2023, dan kemudian 25 pada awal tahun depan.
Lira telah kehilangan sekitar 77 persen nilainya terhadap dolar selama lima tahun terakhir. McKenna juga melihat Turki akan mempertahankan kerangka kebijakan moneter dan ekonominya yang tidak ortodoks.
Kebijakan Moneter
Seperti diketahui, kebijakan moneter Turki saat ini menekankan pada pengejaran pertumbuhan dan persaingan ekspor daripada menjinakkan inflasi, dan Erdogan mendukung pandangan yang tidak konvensional bahwa menaikkan suku bunga meningkatkan inflasi.
"Pengaturan saat ini tidak berkelanjutan," kata Senior EM Sovereign Strategist dari BlueBay Asset Management, Timothy Ash dalam sebuah pesan email.
"Dengan cadangan devisa yang terbatas dan suku bunga riil yang sangat negatif, tekanan pada lira sangat berat," sebutnya.
"Prospek ekonomi dan pasar Turki sangat suram," tambah McKenna.
Advertisement