Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Jenderal Komisi Pemberantasan Korupsi (Sekjen KPK) Cahya H Harefa menyebut kasus pencopotan Brigjen Endar Priantoro dari jabatan direktur penyelidikan bukan ranah Ombudsman Republik Indonesia untuk mengusut dugaan adanya maladministrasi.
Cahya menekankan pencopotan Brigjen Endar Priantoro tidak masuk dalam ranah pelayanan publik seperti kewenangan Ombudsman RI.
Advertisement
"Seluruh proses rekrutmen, pengembangan karir, hingga purna tugas seorang pegawai merupakan bagian dari manajemen ke-SDM-an dalam suatu organisasi. Demikian halnya pada proses pemberhentian Saudara Endar Priantoro sebagai direktur penyelidikan KPK yang telah selesai masa tugasnya adalah ranah manajemen ke-SDM-an di KPK, bukan pelayanan publik," ujar Cahya dalam keterangannya, Selasa (30/5/2023).
Cahya menyebut, pelayanan publik sebagaimana disebut dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
"Sehingga penyelesaian persoalan ini memedomani hukum administrasi kepegawaian atau pun administrasi pemerintahan sesuai UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang bermuara pada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) bukan di Ombudsman," kata Cahya.
Keputusan KPK Harus Diuji Berdasarkan Wewenang
Cahya mengatakan, dalam mekanismenya, keputusan KPK ini harus diuji berdasarkan aspek wewenang, substansi, maupun prosedur. Apakah terdapat penyalahgunaan wewenang atau maladministrasi baik ditinjau dari peraturan perundang-undangan maupun asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).
Oleh karenanya, atas permintaan klarifikasi oleh Ombudsman tersebut, KPK tidak bisa memenuhinya karena substansi yang hendak diklarifikasi tidak termasuk dalam ranah pelayanan publik yang merupakan kewenangan Ombudsman.
"Namun berdasarkan ketentuan perundangan tersebut, pengujian persoalan kepegawaian lebih tepat ranahnya di PTUN," kata Cahya.
Sebelumnya, Ombudsman Republik Indonesia menyebut pimpinan Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak kooperatif terhadap proses pemeriksaan dugaan pelanggaran maladministrasi dalam pemberhentian Brigjen Endar Priantoro dari jabatan direktur penyelidikan KPK.
Advertisement
Buka Opsi Jemput Paksa
Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng menyebut pihaknya bisa menjemput paksa Firli Bahuri cs jika terus-terusan tak kooperatif terhadap proses administrasi.
Diketahui, Ombudsman melayangkan surat pemanggilan sebanyak dua kali pada 11 Mei dan 22 Mei 2023. Namun, dua panggilan pemeriksaan itu tak diindahkan oleh KPK.
"Kami sampaikan di sana bahwa bila hingga pemanggilan ketiga pihak terlapor tidak juga datang memenuhi permintaan keterangan secara langsung oleh Ombudsman RI, maka sesuai dengan peraturan perundang-undangan, kami punya beberapa opsi," ujar Robert di kantor Ombudsman RI, Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (30/5/2023).
Opsi pertama, kata Robert, jika pihak KPK tak kooperatif, maka akan dianggap tidak menggunakan hak untuk memberikan jawaban atas pelaporan Brigjen Endar. Meski demikian, Ombudsman menyatakan tetap akan melanjutkan proses pemeriksaan.
"Kita kemudian menganggap yang bersangkutan tidak menggunakan haknya, dan ombudsman melanjutkan proses pemeriksaan tanpa keterangan, informasi, dan klarifikasi dari pihak yang bersangkutan. Ini terjadi di sejumlah kasus," ucap Robert.
Opsi kedua, lanjut Robert, Ombudsman RI melakukan upaya jemput paksa sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU 37 Tahun 2008. Ombudsman bisa menghadirkan pihak KPK secara paksa dengan bantuan Polri.
"Pemanggilan paksa dengan bantuan Polri ini diambil ketika kami menilai ketidakhadiran itu karena unsur kesengajaan, apalagi secara terang benderang menyampaikan argumentasi yang justru mempertanyakan kewenangan Ombudsman," kata Robert.