Liputan6.com, Jakarta - Kanker ovarium adalah kanker yang menyerang jaringan indung telur atau ovarium. Menurut The Global Burden of Cancer Study (Globocan) 2020, kanker ovarium merupakan kanker paling mematikan peringkat ketiga di antara perempuan di Indonesia. Total kasusnya mencapai 14.896 dan menyebabkan kematian pada 9.581 perempuan.
Ketua Tim Kerja Penyakit Kanker dan Kelainan Darah P2PTM, Kementerian Kesehatan RI Theresia Sandra Diah Ratih, menjelaskan, setiap tahunnya, kanker ovarium menyerang puluhan ribu perempuan dan merenggut ribuan nyawa.
Advertisement
Jumlah pengidap kanker di Indonesia terus meningkat dan diperkirakan akan menjadi penyebab utama meningkatnya beban ekonomi. Baik bagi individu pasien, keluarga, maupun negara.
Untuk mengendalikan penyakit kanker, Kementerian Kesehatan RI telah melakukan upaya pendekatan pengendalian faktor risiko dan deteksi dini yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) pengendalian kanker tahun 2020 - 2024.
Tujuan dari program ini adalah untuk melakukan deteksi dini kanker pada sekitar 80 persen penduduk usia 30 sampai 50 tahun di 514 kabupaten/kota pada akhir tahun 2024, termasuk kanker ovarium.
"Namun, semua upaya ini tidak akan optimal tanpa dukungan dari seluruh sektor terkait, beserta seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, kami sangat mengapresiasi Kampanye 10 Jari sebagai langkah nyata membantu para penderita kanker ovarium di Indonesia," kata Theresa dalam keterangan pers, Selasa (30/5/2023).
Kampanye 10 Jari
Kampanye 10 Jari adalah upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait enam faktor risiko dan empat gejala kanker ovarium sejak dini.
Yang termasuk dalam enam faktor risiko adalah:
- Memiliki riwayat kista endometriosis
- Memiliki riwayat kanker ovarium dan/atau kanker payudara dalam keluarga
- Mutasi genetik
- Paritas (jumlah melahirkan) rendah
- Gaya hidup yang buruk
- Penuaan.
Sementara itu, empat pertanda kanker ovarium adalah:
- Kembung
- Nafsu makan berkurang
- Sering buang air kecil
- Nyeri panggul atau perut.
Kampanye ini juga dilakukan agar pasien mendapatkan perawatan yang tepat dari tenaga kesehatan serta kualitas hidup yang lebih baik.
Advertisement
Dapat Diturunkan dari Satu Generasi ke Generasi Berikutnya
Dalam keterangan yang sama dokter spesialis ginekologi onkologi Toto Imam Soeparmono mengatakan, kanker ovarium dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
"Terutama jika ada anggota keluarga yang pernah menderita kanker ovarium atau kanker lainnya seperti kanker payudara, prostat, kolorektal, maupun kanker rahim," kata Toto.
Penyakit ini menjadi tantangan terbesar bagi para ahli onkologi ginekologi karena tidak menunjukkan gejala yang spesifik pada stadium awal. Gejala baru muncul pada stadium lanjut di mana sel kanker telah menyebar ke organ lain.
Pasien kanker ovarium yang terdeteksi pada stadium awal hanya ada 20 persen. Padahal, jika pasien terdeteksi di tahap ini maka angka harapan hidup bisa lebih dari lima tahun. Dari 20 persen pasien yang terdeteksi di tahap awal, 94 persennya berhasil mencapai angka harapan hidup tersebut.
Maka dari itu, para perempuan dianjurkan untuk mendeteksi kanker ovarium sejak dini dengan mengenali faktor risiko dan gejala awalnya.
"Selain itu, penting bagi individu yang memiliki riwayat keluarga dengan kanker ovarium atau payudara untuk melakukan pemeriksaan genetik."
Perawatan dan Pengobatan Tepat Beri Peluang Kesembuhan Besar
Perawatan dan pengobatan yang tepat memberikan peluang keberhasilan yang tinggi pada kanker ovarium stadium awal saat penyakit masih terbatas pada organ ovarium.
Ketika seorang pasien didiagnosis menderita kanker ovarium, sangat penting bagi mereka untuk berkonsultasi dengan spesialis medis dan mematuhi pengobatan. Saat ini, terapi yang paling umum untuk kanker ovarium adalah operasi dan kemoterapi.
Dalam pengobatan kanker, kepatuhan menjadi hal utama dalam proses pemulihan yang perlu dilakukan secara konsisten.
Apoteker klinis Yovita Diane Titisari mengatakan bahwa penting bagi pasien kanker ovarium untuk patuh dalam menjalani pengobatan. Dan mengikuti instruksi dokter agar penyakit tidak semakin parah dan kambuh lagi.
“Pasien yang patuh dalam menjalani terapi menunjukkan kualitas hidup yang baik, sedangkan pasien yang tidak patuh menunjukkan hal yang sebaliknya.”
“Banyak faktor yang memengaruhi kepatuhan pasien, salah satunya adalah komunikasi yang baik antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Serta dukungan dari keluarga atau caregiver. Para tenaga kesehatan seperti kami selalu berusaha memberikan dukungan agar pasien merasa lebih optimis untuk sembuh,” tambah Yovita.
Advertisement