Liputan6.com, Jakarta - Mengaku mendapat info A1 alias terpercaya, Mantan Wamenkumham Denny Indrayana mengungkapkan bocoran putusan MK yang akan menetapkan sistem proporsional tertutup. Kabar ini sontak membuat kalang kabut sejumlah pihak, lantaran MK disebut belum mengambil keputusan terkait hal itu.
Menko Polhukam Mahfud Md meminta Polri untuk menyelidikinya karena merupakan salah satu rahasia tingkat tinggi negara. Informasi itu tidak boleh bocor ke publik jika putusan belum dibacakan oleh majelis.
Advertisement
"Putusan MK itu menjadi rahasia ketat sebelum dibacakan, tapi harus terbuka luas setelah diputuskan dengan pengetokan palu vonis di sidang resmi dan terbuka. Saya yang mantan Ketua MK saja tak berani meminta isyarat, apalagi bertanya tentang vonis MK yang belum dibacakan sebagai vonis resmi. MK harus selidiki sumber informasinya," ujar Mahfud dalam cuitannya di akun Twitter @mohmahfudmd, Minggu, 28 Mei 2023.
Mahfud menuturkan info A1, seperti yang diungkapkan oleh Denny Indrayana, biasanya merupakan sumber paling terpercaya. Mahfud menyebut jika benar ada orang dalam MK yang memberikan informasi seperti itu, dapat merusak kredibilitas MK sebagai lembaga penegak hukum.
"Kalau dikatakan ada info A1, info A1 biasanya kalau ilmu intelijen biasanya yang paling terpercaya, kalau info A1 tuh dari siapa dan sebagainya," jelas Mahfud.
"Itu MK-nya sendiri kredibilitasnya rusak kalau ada orang dalam bercerita sesuatu, apalagi tidak benar, yang benar saja tidak boleh diceritakan," sambung Mahfud.
Mahfud menilai bahwa beredarnya isu putusan itu hanyalah pendapat pribadi seseorang yang melihat dari sikap-sikap hakim MK saat ini. Padahal, sidang itu pun akan digelar pada lusa mendatang.
"Itu hanya analisis orang luar yang mungkin melihat sikap-sikap para hakim MK lalu dianalisis sendiri. Tapi sidangnya sendiri secara tertutup baru akan dilakukan besok lusa. Jadi belum ada putusan yang resmi," tegas dia.
Mahfud menegaskan belum ada putusan itu setelah dirinya berkomunikasi dengan pihak MK. "Sudah beredar isu di luar bahwa sudah ada putusan dan sebagainya. Saya memastikan ke MK, apa betul sudah diputuskan? Belum," ungkap Mahfud Md.
Tak hanya Mahfud, kabar tersebut juga menyedot perhatian anggota parlemen di Senayan, Jakarta. Pimpinan delapan fraksi Parlemen dengan tegas menolak sistem pemilu proporsional tertutup. Melalui konferensi pers yang digelar di Kompleks Parlemen Senayan, para ketua dan sekretaris masing-masing fraksi menyampaikan penolakannya.
Kedelapan perwakilan fraksi parpol di parlemen yang menggelar konferensi pers bersama itu adalah Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Anggota Fraksi Gerindra DPR Habibirokhman bahkan mengancam bila Mahkamah Konstitusi (MK) ngotot memutuskan tertutup, maka pihaknya akan mengevaluasi anggaran MK.
"Apabila MK berkeras untuk memutus ini, kami juga akan menggunakan kewenangan kami. Begitu juga dalam konteks budgeting," kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (30/5/2023).
Habiburokhman mengingatkan, DPR juga memiliki kewenangan sehingga MK tidak perlu memamerkan kekuasaan.
"Kita tidak akan saling memamerkan kekuasaan, dan cuma kita juga akan mengingatkan bahwa kami ini legislatif juga punya kewenangan," kata dia.
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Golkar Kahar Muzakir menyebut para caleg pasti akan melakukan protes ke MK bila benar putusan pemilu proporsional tertutup.
"Kita minta sistemnya tetap terbuka, kalau mereka memaksakan mungkin orang-orang itu (caleg) akan minta ganti rugi (ke MK)," kata Kahar.
Kahar menyebut, setidaknya terdapat 300 ribu caleg yang sudah mendaftar ke KPU. Ia menyebut seluruh caleg akan kehilangan haknya apabila proporsional tertutup digelar.
"Mereka ini kehilangan hak konstitusionalnya, sekitar 300 ribu orang (caleg)," kata dia.
Kahar bahkan memprediksi para caleg akan mendemo MK, meski tanpa diperintahkan oleh parpol. "Kalau mereka berbondong-bondong ke MK agak ribet juga," kata Kahar.
"Jadi orang-orang itu akan protes dan kita tidak suruh, tapi karena mereka kehilangan hak konstitusionalnya untuk dipilih," sambungnya.
Turut hadir dalam konpers tersebut di antaranya Ketua Fraksi Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono, Ketua Fraksi PAN Saleh Daulay, Fraksi PAN Habiburokhman, Ketua Fraksi PPP Amir Uskara, Ketua Fraksi NasDem Roberth Rouw, Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini, Sekretaris Fraksi PKS Fathan Subhci.
Ketua DPP PDIP Said Abdullah, menanggapi santai gertakan 8 fraksi DPR apabila MK benar memutuskan pemilu sistem proporsional tertutup.
“Saya pikir apa yang disampaikan oleh kawan kawan tidak akan sejauh itu lah, kawan-kawan kan ngerti rambu rambunya. Itu hanya pernik pernik dari kawan kawan saja. Karena seperti Bapak Habib menyampaikan itu hanya pernik pernik saja,” kata Said di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (31/5/2023).
Said menyebut para anggota DPR mengerti hukum dan pasti menuruti keputusan MK. “Kan orang yang pakar di bidang hukum. Pasti tidak akan melampaui undang undang yang sudah ada di Mahkamah Konstitusi,” kata Said.
Said menyebut semua partai pasti ingin pemilu berjalan lancar dan damai. “Semua itu lanjutannya adalah bagaimana mengawal pemilu yang rutin dilaksanakan tapi kualitasnya semakin meningkat,” kata Said.
Kemunduran Demokrasi
Calon presiden dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Anies Baswedan, mengatakan apabila sistem pemilu di Indonesia akan digelar secara tertutup maka akan mengalami kemunduran dalam demokrasi.
Anies merespons isu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sistem pemilu menjadi proporsional tertutup atau coblos gambar partai politik.
"Kalau ini menjadi tertutup kita kembali ke era prademokrasi, di mana calon legislatif ditentukan oleh partai. Rakyat tidak bisa ikut menentukan orangnya, sebuah kemunduran bagi demokrasi kita," ujar Anies Baswedan saat ditemui di Jakarta Selatan, Selasa (30/5/2023).
Anies menjelaskan, sistem demokrasi di Tanah Air saat ini sudah terbilang maju karena partai menawarkan nama-nama calon kepada rakyat untuk dipilih. Selain itu, masyarakat pun dapat mengetahui siapa sosok yang akan dipilihnya.
"Sehingga rakyat punya kesempatan menentukan siapa orang yang menjadi pilihannya. Itulah sebabnya proporsional terbuka ini menggambarkan kemajuan demokrasi kita," tutur Anies.
Mantan gubernur DKI Jakarta itu juga menekankan agar sistem pemilu sebaiknya tidak diubah, tetap digelar secara terbuka agar masyarakat mendapatkan hak penuh dalam pemilu 2024.
"Jadi sistem proporsional terbuka harus dipertahankan. Kesempatan kepada rakyat untuk menentukan calonnya jangan sampai dihapus. Karena itulah indikator bahwa kekuasaan ada di tangan, gitu ya," ujar Anies.
Sementara itu Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny K Harman menilai, jika sistem pemilu menjadi coblos partai merampas kedaulatan rakyat. Sehingga wajar, jika rakyat mempertahankan kedaulatannya.
"Malah sistem tertutup itu menerror, itu yang menakut-nakuti rakyat, itu yang merampok suara rakyat. Sistem tertutup itu merampok kedaulatan rakyat. Kalau rakyat daulatnya dirampok lalu mereka mempertahankan daulatnya masa enggak boleh," tegasnya.
Sementara itu Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Karjono menyatakan apa pun putusannya semua adalah yang terbaik. Dia memastikan negara tidak akan bubar jika putusan Pemilu kembal menjadi tertutup.
"Jadi, negara ini tidak akan bubar dengan sistem apakah itu terbuka, apakah itu tertutup, dan apakah itu terbuka-terbatas," kata Karjono saat menjawab pertanyaan soal upaya BPIP menjaga spirit Pancasila menyambut pemilu 2024 di Hotel Arya Duta Jakarta, Rabu (31/5/2023).
Karjono menambahkan, Indonesia sudah sangat berpengalaman dengan pelbagai macam sistem pemilu. Sebagai individu yang tumbuh di era Orde Baru, dia mencontohkan, pemilu dengan sistem tertutup membuat masyarakat aman dan senang.
Begitu pun zaman setelahnya, yang menerapkan sistem terbuka. Karena itu, dia percaya pemilu tetap akan damai. "Zaman Orde Baru, semua tertutup, aman-aman saja, senang-senang saja. Sekarang terbuka," ujar Karjono.
Gugatan uji materi nomor 114/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh enam warga negara perseorangan pada akhir 2022 lalu. Para penggugat yang salah satunya kader PDIP meminta MK menyatakan pemilihan legislatif menggunakan sistem proporsional terbuka adalah inkonstitusional. Mereka meminta MK memutuskan pemilihan legislatif menggunakan sistem proporsional tertutup.
Gugatan ini mendapat sorotan publik. Sebab, tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan dengan menggunakan sistem proporsional terbuka.
Advertisement