Liputan6.com, Manila - Permasalahan yang dirasakan masyarakat Filipina adalah sulitnya bercerai karena negara mayoritas Katolik menganggapnya ilegal. Prosesnya memakan waktu bertahun-tahun.
Masyarakat yang merasa dipersulit dengan kondisi tersebut mencoba untuk menyuarakan kesengsaraan mereka.
Advertisement
Melansir CNA, Kamis (1/6/2023), Filipina disebut sebagai satu-satunya negara di luar Vatikan yang melarang perceraian.
Pendukung pro-perceraian berpendapat bahwa larangan itu mempersulit pasangan untuk memutuskan hubungan dan menikah lagi. Akhirnya, banyak dari mereka yang memutuskan melarikan diri dari pasangan yang melakukan kekerasan.
Biaya yang besar juga mesti dikeluarkan. Sebuah kasus perceraian dapat menelan biaya hingga US$10.000 (Rp149,7 juta) atau bisa lebih di negara yang dilanda kemiskinan itu.
Meski biaya yang mahal harus dikeluarkan, tetap tidak ada jaminan keberhasilan proses perceraian. Tak sedikit pula yang akhirnya malah menjadi korban penipuan.
"Saya tidak mengerti mengapa harus sesulit ini," kata Sibonga, warga yang telah menghabiskan 11 tahun mencoba untuk keluar dari pernikahan.
Sibonga menikah karena dipaksa orang tuanya setelah ia hamil. Ia memperjuangkan keinginan bercerai sejak 2012.
Setelah lima tahun dengan biaya hukum sebesar US$3.500 (Rp52,4 juta), hakim akhirnya setuju. Namun, Kejaksaan Agung, berhasil mengajukan banding atas putusan hakim tersebut pada tahun 2019.
Sibonga mengatakan dia meminta Pengadilan Banding untuk membatalkan keputusannya, tetapi ia masih menunggu jawaban.
"Mengapa kami, yang mengalami penderitaan, penelantaran dan pelecehan, dihukum oleh hukum?" kata Sibonga, wanita 45 tahun yang tinggal di dekat Manila.
“Yang kami inginkan hanyalah bebas,” ujar Sibonga yang merasa hukum justru menyulitkan mereka yang mengalami penderitaan, penelantaran, dan pelecehan dalam pernikahan.
Perceraian Ditentang Gereja Katolik
Penentang perceraian yang paling kuat di Filipina adalah Gereja Katolik, yang juga menentang aborsi dan kontrasepsi.
Sekitar 78 persen dari 110 juta penduduk negara itu beragama Katolik, menurut data sensus resmi.
Banyak politikus berhati-hati dalam menentang gereja mengenai isu-isu sosial yang sensitif.
Proposal RUU perceraian pernah sampai ke partai mayoritas dan oposisi di DPR. Itu menjadi perjalanan terjauh, RUU itu berhenti di Senat.
Survei yang dilakukan oleh perusahaan polling Social Weather Stations menunjukkan sikap Filipina terhadap perceraian yang terus berubah.
Pada tahun 2005, 43 persen orang Filipina mendukung pengesahan perceraian, sementara 45 persen tidak setuju.
Survei yang sama pada 2017 menunjukkan 53 persen mendukung, sementara hanya 32 persen tidak setuju.
Sekelompok anggota parlemen sekarang memimpin dorongan baru untuk melegalkan perceraian, dengan beberapa RUU diajukan di DPR dan Senat.
Tujuan RUU itu adalah untuk menyelamatkan mereka yang sengsara hidup dengan suami atau ayah yang kasar dan tidak toleran, tegas Edcel Lagman, anggota kongres dan penulis salah satu RUU.
Advertisement
Marak Penipuan Online dengan Modus Percepat Putusan Cerai
Proses yang memberatkan untuk bercerai melahirkan penipuan online.
Penipuan itu bermodus dapat mempercepat proses untuk mendapatkan putusan yang seharusnya memakan waktu yang cukup lama.
AFP menemukan banyak unggahan di Facebook yang menyebarkan informasi palsu tentang proses hukum pembatalan untuk menarik klien.
Seorang korban mengatakan kepada AFP bahwa dia ditagih sekitar US$2.400 (Rp35,9 juta) untuk sebuah layanan pembatalan yang ternyata palsu.
Warga tersebut kini mempertimbangkan untuk masuk Islam dengan harapan mendapatkan perceraian di bawah hukum Islam.
"Saya benar-benar mencoba setiap opsi," ucapnya.
"Pembatalan memakan waktu lama, sangat mahal dan tidak dijamin, jadi saya mencari cara yang lebih nyaman."
Pakar hukum keluarga, Katrina Legarda, mengatakan bahwa jumlah orang yang terjerumus ke layanan palsu menunjukkan fakta bahwa UU terkait perceraian adalah suatu kebutuhan mendesak.
Namun, pendapat Pastor Jerome Secillano adalah sebaliknya.
Pastor dari Konferensi Waligereja Filipina itu mengatakan bahwa masyarakat Filipina seharusnya “bangga” menjadi satu-satunya negara di luar Vatikan yang “berpegang pada konsep pernikahan tradisional”.
Angka KDRT dan Perceraian Tinggi, Layanan Tes Pra Nikah Online Dirilis
Masalah terkait perceraian tak hanya terjadi di Filipina. Di Indonesia, tingginya angka perceraian dianggap masalah oleh pemerintah.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Indonesia 2022, sebanyak 447.743 kasus perceraian terjadi pada tahun 2021. Angka tersebut mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 291.677 perkara. Data BPS tersebut pun hanya mencakup perceraian untuk orang Islam saja.
Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan konsultasi SDM sekaligus layanan psikologi online, PT Satmaka Raharja Group, merilis layanan assessment pra-nikah dan berbagai assesement lainnya untuk pasangan maupun individu bernama Dalami.id.
Layanan ini akan membantu pasangan yang akan menikah untuk mengetahui kondisi mental, kesiapan mental maupun kesiapan pasangan sebelum memutuskan maju kejenjang lebih serius maupun pernikahan.
Layanan assessment ini akan membantu pasangan mengetahui kondisi kesiapan mental, kepribadian termasuk pola emosi dan juga pola percintaan pasangan nantinya.
Advertisement