Liputan6.com, Jakarta Tingkat inflasi merupakan salah satu variabel yang menjadi pertimbangan utama dalam mengimplementasikan kebijakan makro ekonomi, salah satunya kebijakan penyesuaian harga BBM.
Sampai saat ini penyesuaian harga BBM merupakan salah satu kebijakan yang dilakukan secara hati-hati. Penyesuaian -khususnya menaikkan- harga BBM sering menjadi opsi terakhir ketika berbagai pilihan kebijakan yang tersedia dinilai tidak dapat lagi untuk menyelesaikan permasalahan fiskal yang sedang dihadapi.
Advertisement
Upaya untuk melindungi daya beli masyarakat dan menjaga agar tingkat inflasi lebih terkendali, menjadi penyebab utama kebijakan penyesuaian harga BBM sering menjadi pilihan terakhir.
Termasuk pada tahun anggaran 2023 pemerintah juga tampak akan lebih memilih untuk melakukan pengaturan/pembatasan konsumsi BBM RON 90 (Pertalite) dibandingkan menyesuaikan harga.
Harga BBM dan Inflasi
Berdasarkan review, dampak inflasi yang ditimbulkan dari kebijakan penyesuaian harga BBM tercatat semakin membaik dari waktu ke waktu. Sebagai gambaran, dampak inflasi akibat penyesuan harga BBM selama periode 2022-2023 relatif terkelola.
Inflasi selama periode 2022-2023 tercatat masih berada pada level single digit. Sementara, kebijakan penyesuaian harga BBM yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya pernah tercatat dapat mendorong tingkat inflasi pada level double digit.
Hasil kajian juga menemukan bahwa penyesuaian harga jenis BBM Umum (non subsidi) yang dilakukan oleh badan usaha niaga BBM secara berkala memberikan kontribusi positif terhadap tingkat inflasi yang lebih stabil.
Selain telah berhasil membiasakan konsumen dengan naik dan turunnya harga BBM, kebijakan penyesuaian harga jenis BBM Umum yang dilakukan secara berkala dengan besaran yang terukur juga terpantau memperoleh respon yang baik dari para pelaku usaha dan sektor-sektor ekonomi pengguna BBM.
Data menunjukkan bahwa penyesuaian harga BBM dengan RON yang lebih rendah tercatat memberikan dampak inflasi yang lebih tinggi dibandingkan dampak inflasi dari penyesuaian harga BBM dengan RON yang lebih tinggi.
Hal tersebut salah satunya karena porsi volume konsumsi jenis BBM dengan RON rendah relatif lebih besar jika dibandingkan dengan konsumsi BBM dengan RON yang lebih tinggi.
Sebagai gambaran, realisasi porsi volume konsumsi jenis BBM dengan RON yang lebih rendah yaitu RON 88 dan RON 90 pada tahun 2021 mencapai 81,20 % terhadap total konsumsi BBM jenis gasoline di Indonesia. Data menunjukkan bahwa distribusi konsumsi BBM jenis gasoline di Indonesia pada tahun 2021 adalah RON 88: 10,51 %, RON 90: 70,70%, RON 92: 17,34 %, dan RON 95 + RON 98: 1,46 %.
Untuk BBM jenis solar juga tercatat relatif sama, penyesuaian harga jenis BBM dengan CN yang lebih rendah juga tercatat memberikan dampak inflasi yang lebih tinggi dibandingkan dampak inflasi dari penyesuaian harga BBM dengan CN yang lebih tinggi. Hal tersebut salah satunya juga karena porsi volume konsumsi jenis BBM dengan CN rendah relatif lebih besar.
Relatif sama dengan pola distribusi konsumsi gasoline, distribusi porsi realisasi volume konsumsi BBM jenis Solar dengan CN 48 dan Biosolar pada tahun 2021 juga tercatat sebagai yang terbesar yaitu mencapai 96,89 % terhadap total konsumsi BBM jenis Solar di Indonesia.
Distribusi konsumsi BBM jenis Solar di Indonesia tahun 2021 adalah CN 48 + Biosolar 96,89 %, CN 51: 2,11 % dan CN 53: 1 %.
Hasil kajian menemukan bahwa dampak dari penyesuaian harga BBM yang dilakukan antar pelaku usaha niaga BBM terhadap tingkat inflasi, tidak sepenuhnya sama.
Data menunjukkan tingkat inflasi relatif lebih sensitif terhadap kebijakan penyesuaian harga BBM dengan RON dan CN yang lebih rendah. Hal tersebut salah satunya karena pangsa pasar dari BBM dengan RON dan CN yang lebih rendah relatif besar.
Pola dan periode penyesuaian harga untuk jenis BBM Umum yang dilakukan antar badan usaha niaga BBM tercatat tidak selalu sama.
Ketika pada bulan tertentu terdapat badan usaha niaga BBM yang menaikkan harga, tidak selalu diikuti oleh badan usaha niaga BBM yang lain dengan juga menaikkan harga, bahkan justru ada yang menurunkan harga di periode yang sama. Hal tersebut berpotensi memberikan dampak inflasi yang lebih baik.
Berdasarkan kajian ReforMiner, kebijakan penyesuaian harga BBM yang dilakukan sekaligus dalam prosentase yang lebih besar berpotensi memberikan dampak inflasi yang lebih tinggi dibandingkan penyesuaian harga yang dilakukan secara bertahap.
Dampak inflasi dari kebijakan penyesuaian harga sebesar 30 % yang dilakukan secara bertahap selama enam kali masing-masing sebesar 5 % misalnya, tercatat akan memberikan dampak inflasi yang lebih rendah dibandingkan dengan penyesuaian harga yang langsung dilakukan sekaligus sebesar 30 %.
Kajian ReforMiner juga menemukan bahwa dampak inflasi dari kebijakan penyesuaian harga BBM RON 90 sebesar 30,71 % dan BBM CN 48 sebesar 32 % yang dilakukan pada awal September 2022 tercatat masih menjadi komponen utama penyumbang inflasi sampai dengan April 2023.
Rata-rata kontribusi inflasi dari penyesuaian harga BBM sejak Oktober 2022 – April 2023 tercatat sebesar 1,12 % dari rata-rata total inflasi nasional periode yang sama yang dilaporkan sebesar 5,39 %.
Data Indeks Harga Konsumen (IHK) 90 Kota di Indonesia menunjukkan bahwa respon masing-masing daerah terhadap kebijakan penyesuaian harga BBM tidak selalu sama.
Hal tersebut tercermin dari besaran porsi BBM dalam komponen pembentuk inflasi pada masing-masing wilayah yang tercatat cukup bervariasi.
Mencermati data, informasi, dan temuan yang telah diuraikan tersebut, saya menilai bahwa dampak inflasi dari kebijakan harga BBM akan lebih dapat dikelola jika kebijakan harga BBM dapat dilakukan secara berkala. Termasuk dalam hal ini kebijakan penyesuaian harga untuk jenis BBM Subsidi dan Kompensasi.
Oleh: Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti